MAKALAH 8 ETNIS SUMATERA UTARA



MAKALAH
 ETNIS SUMATERA UTARA
D

I

S

U

S

U

N
OLEH :
NAMA : NANI CHAIRANI LESTARI LUBIS
GURU PEMBIMBING : REFELINA PUSPITA, Spd
NIP : 196812111996032001
SMA NEGERI 1 PLUS MATAULI PANDAN


Kata Pengantar
Puji syukur kehadirat Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa. Bahwa saya masih diberikan nikmat sehat, sehingga saya dapat menyelesaikan makalah ini yang membahas tentang “Etnis di Sumatera Utara”
Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah, selain untuk memenuhi tugas, juga untuk berbagi referensi tentang etnis-etnis di Sumatera Utara.
Saya mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah banyak membantu dan membimbing, sehingga saya dapat menyelesaikan makalah ini dengan lancar.
            Saya menyadari bahwa, makalah ini belum sempurna, maka dari itu kritik dan saran yang membangun sangat saya harapkan untuk perbaikan pembuatan makalah selanjutnya. Mudah-mudahan makalah sederhana ini bermanfaat bagi para pembaca. Terimaksih

Juli 2014
Nani Chairani Lestari Lubis


























PENDAHULUAN
Sebelum kita membahas tentang etnis di SumateraUtara, ada baiknya kita mengetahui sedikit tentang Provinsi Sumatera Utara secara keseluruhan. Berikut ini data mengenai Provinsi Sumatera Utara.
Sumatera Utara
—  Provinsi  —
http://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/thumb/4/42/Maimun_Castle_Medan_Indonesia.JPG/250px-Maimun_Castle_Medan_Indonesia.JPG
Bendera Sumatera Utara
Bendera
http://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/thumb/9/9b/Locator_north_sumatra.png/250px-Locator_north_sumatra.png
Peta lokasi Sumatera Utara
Hari jadi
Dasar hukum
UU 10/1948, UU 24/1956
Ibu kota
0º 50' LS - 4º 40' LU
96º 40' - 100º 50'
BT
Pemerintahan
 • Gubernur
H. Gatot Pujo Nugroho, A.Md, S.T, M.Si
Ir. H. Tengku Erry Nuradi, M.Si
Luas
 • Total
72.981.23 km2 (28,178.21 mil²)
Populasi (2010)[1]
 • Total
12.982.204
 • Kepadatan
180/km2 (460/sq mi)
Demografi
 • Suku bangsa
Batak (41,95%), Jawa (32.62%) Nias (6.36%), Melayu (4,92%), Tionghoa (3,07%), Minangkabau (2,66%), Banjar (0.97%), Lain-lain (7,45%) [2]
 • Agama
Islam (66,09%),Kristen (Protestan/Katolik) (31%),Buddha (2,34%),Hindu (0,11%), Parmalim, Konghucu[3]
 • Bahasa
25
8
325
5.456
Situs web

Provinsi Sumatera Utara dihuni oleh berbagai ragam etnis / suku bangsa, baik sebagai etnis asli, maupun etnis pendatang. Etnis asli Sumatera Utara terdiri dari 8 (delapa) etnis yaitu:

·         Melayu
·         Pakpak
·         Batak toba
·         Batak angkola / Mandailing
·         Pesisir
·         Simalungun
·         Nias.

Sedangkan etnis pendatang terdiri dari etnis :
·         Jawa
·         India
·         Padang
·         Arab
·         Aceh
·         Cloud Callout: Suku--bangsa kesatuan sosial yg dapat dibedakan dr kesatuan sosial lain berdasarkan kesadaran akan identitas perbedaan kebudayaan, khususnya bahasa; 

Tionghoa





Cloud Callout: “et•nik /étnik/ a Antr bertalian dng kelompok sosial dl sistem sosial atau kebudayaan yg mempunyai arti atau kedudukan tertentu krn keturunan, adat, agama, bahasa, dsb; etnis”

 








BAB I
ETNIS MELAYU
Suku Melayu adalah nama yang menunjuk pada suatu kelompok yang ciri utamanya adalah penuturan bahasa Melayu. Suku Melayu bermukim di sebagian besar Malaysia, pesisir timur Sumatera, sekeliling pesisir Kalimantan, Thailand Selatan, serta pulau-pulau kecil yang terbentang sepanjang Selat Malaka dan Selat Karimata. Di Indonesia, jumlah suku Melayu sekitar 15% dari seluruh populasi, yang sebagian besar mendiami propinsi Sumatera Utara,RiauKepulauan RiauJambiSumatera SelatanBangka Belitung, danKalimantan Barat.[9]
Meskipun begitu, banyak pula masyarakat MinangkabauMandailing, danDayak yang berpindah ke wilayah pesisir timur Sumatra dan pantai barat Kalimantan, mengaku sebagai orang Melayu. Selain di Nusantara, suku Melayu juga terdapat di Sri LankaKepulauan Cocos (Keeling) (Cocos Malays), danAfrika Selatan (Cape Malays).

Peta Persebaran Masyarakat Etnik Melayu

A.Kesenian
Dalam masyarakat Melayu, seni dapat dibagi menjadi dua: seni persembahan (tarian, nyanyian, persembahan pentas seperti makyong, wayang kulit, ghazal, hadrah, kuda kepang) dan seni tampak (seni ukir, seni bina, seni hias, pertukangan tangan, tenunan, anyaman dll). Permainan tradisi seperti gasing, wau, congkak, juga termasuk dalam kategori seni persembahan. Kegiatan seni Melayu mempunyai identitas tersendiri yang juga memperlihatkan gabungan berbaga-bagai unsur asli dan luar

  • Tarian
Tari Persembahan adat Melayu
Tari Persembahan adalah Sebuah tari Melayu yang khusus untuk menyambut tamu-tamu, Tak lengkap rasanya bila suatu acara khusus tidak menampilkan tari persembahan ini.
Tari persembahan bisa dibilang tari sekapur sirih. bila rentak irama gendangnya dipercepat,ini  menandakan acara pemberian sirih kepada tamu undangan dimulai, Begitulah sampai para penari beranjak pergi.
  • Nyanyian
Kumpulan Lagu-lagu daerah RiauLagu Daerah Riau – Riau sebagai daerah kaya budaya dan seni sudah pasti memiliki lagu daerah sendiri. Ada banyak lagu-lagu daerah Riau, mulai dari lagu berbahasa Melayu,
Kebanyakan lagu daerah Riau jarang diputar radio-radio kota Pekanbaru, kecuali lagu-lagu sudah sangat populer seperti Lancang Kuning yang memang maestronya lagu daerah Riau.

Lagu Seroja
Lagu Tuanku Tambusai
Lagu Lancang Kuning
Lagu Tanjung Katung
Lagu Selayang Pandang
Lagu Hangtuah
Lagu Bunga Tanjung
Lagu Soleram
Kutang Barendo, Lagu daerah Kampar
Moncik Badasi, Lagu daerah Kampar
Randai Lomak Diurang Katuju di Awak, Lagu daerah Taluk Kuantan, Kuansing
  • Musik tradisional
Gambus Melayu Riau, Seni Musik Tradisional
Gambus Melayu Riau, Seni Musik TradisionalGambus Melayu Riau adalah salah satu jenis instrumental musik tradisional yang terdapat hampir di seluruh kawasan Melayu.Pergeseran nilai spiritual dan kebersamaan dalam masyarakat Melayu di Pekanbaru yang terjadi pada waktu ke waktu menyebabkan perubahan pandangan masyarakat terhadap kesenian Gambus dan Zapin.
kompang              talempong
  • Upacara tradisional
Para ibu-ibu dan tetangga dekat sedang  memasak untuk acara Resepsi Pernikahan, biasanya diadakan di rumah mempelai perempuan.
Di Kabupaten pekanbaru dari zaman ninik mamak terdahulu, apa bila ada saudara sekampung yang hendak menikah, maka keluarga dari mempelai yang hendak menikah harus memanggil para tetangga kampung untuk membantu kegiatan memasak yang dilakukan 3 hari ataupun sehari sebelum acara resepsi pernikahan berlangsung (hitungan ini tergantung dari keluarga mempelai), karena masyarakat kampar sejak dulu dikenal dengan cara bergotong royong ini pula, maka di kampar jarang sekali yang melakukan “catering” untuk acara pernikahan.
- Acara Shalawatan (Badiqiu)
Badiqiu merupakan suatu acara Budaya sakral yang dilakukan oleh para tokoh-tokoh dan sesepuh adat pada malam hari sebelum acara resepsi pernikahan dilakukan, agar acara pernikahan ini berlangsung dengan hikmat dan keluarga yang baru menjadi keluarga yang utuh hingga akhir hayat.
- Acara Pengantaran Pihak Lelaki ke rumah Pihak Perempuan (Ba’aghak)
Dengan dentuman Rebana dari para tokoh adat ini, menambah kehikmatan nilai budaya yang sakral pada acara pengantaran Pihak Lelaki ke rumah Pihak Perempuan, biasanya shalawatan selalu di kumandang kan hingga akhirnya Pihak Lelaki sampai kerumah Pihak Perempuan.
Akhirnya Mempelai Lelaki sampai juga ke rumah Mempelai Perempuan, dan mereka langsung dipertemukan kemudian di persandingkan.
  • Cerita rakyat
Berikut kumpulan cerita rakyat dari berbagai daerah di Riau diantara, Dumai, Indragiri Hilir dan Kota Pekanbaru.
- Cerita Rakyat Riau, Dumai: Putri ujuh
- Cerita Rakyat Riau, Inhil: Batu Batangkup
- Cerita Rakyat Riau: Si Lancang Kuning
- Cerita Rakyat Riau, Kota Pekanbaru – Putri Kaca Mayang
- Cerita Rakyat Riau, Inhil – Batang Tuaka
- Cerita Rakyat Riau, Kuansing – Ombak Nyalo Simutu Olang

  • Permainan rakyat
Permainan Tradisional Daerah Riau, GasingPermainan Tradisonal Riau
Apa permainan tradisional daerah Riau?. Jika Anda adalah orang Riau apalagi orang Melayu pasti sudah tahu, atau pernah memainkan, atau malah membuatnya.
Ya, mianan tradisional Riau, salah satunya, adalah gasing. Tidak jelas kapan pertama kalinya orang-orang memainkan gasing. Memang permainan tradisional di daerah Riau tidak hanya gasing, namun nyatanya gasinglah yang paling populer.
Gasing banyak banyak dimainkan di daerah Riau kepulauan seperti Natuna, Tanjung Pinang, Lingga dan disepanjang pantai timur Sumatra, khususnya orang Melayu.

Permainan Bang Senebu
Permainan ini dimainkan anak dengan jumlah 5-12 anak.Pemainan ini dimulai denga “uang” sejenis hompimpah.lalu dilanjutkan dengan cak gocih.Kemudian baru bermain bang senebu yang selanjutnya dilanjutkan pok-pok pungguk.
  • Peninggalan sejarah
1. Mesjid Raya Pekanbaru
Lokasi : Kecamatan Senapelan
Kotamadya : Pekanbaru
2. Makam Mahrum Bukit Dan Mahrum Pekan
Lokasi : Kecamatan Senapelan
Kotamadya : Pekanbaru
3. Tugu Pahlawan Kerja
Lokasi : Kecamatan Bukit Raya.
Kotamadya : Pekanbaru.
4. Balai Adat Riau
Lokasi : Jalan Pangeran Diponegoro Pekanbaru.
Kotamadya : Pekanbaru.
5. Bukit Batu, Bekas Tapak Kaki Manusia
Lokasi : Sungai Pakning
Kabupaten : Bengkalis.
6. Komplek Istana Kerajaan Siak
Lokasi : Kecamatan Siak Sri Indrapura
Kabupaten : Bengkalis.
7. Makam Marhum Buantan
Lokasi : Kecamatan Siak Sri Indrapura
Kabupaten : Bengkalis.
8. Mesjid Kerajaan
Lokasi : Kecamatan Siak Sri Indrapura
Kabupaten : Bengkalis.
9. Makam Keluaga Raja
Lokasi : Kecamatan Siak Sri Indrapura
Kabupaten : Bengkalis.
  • Makanan
Berikut daftar menu kuliner, masakan Riau beserta resepnya yang-bisa ditemukan di-berbagai tempat Bumi Lancang Kuning :
- Gulai Sayur Lemak Kuah Santan, Kuliner Khas Riau
- Bacah Daging, Kuliner – Makanan Khas Riau
BAB II
ETNIS PAKPAK/DAIRI
Etnik Pakpak adalah salah satu etnik yang terdapat di Pulau Sumatera Indonesia. Tersebar di beberapa kabupaten/kota di Sumatera Utara dan Aceh, yakni di Kabupaten Dairi, Kabupaten Pakpak Bharat, Kabupaten Humbang Hasundutan, Tapanuli Tengah (Sumatera Utara), Kabupaten Aceh Singkil dan Kota Subulussalam (Provinsi Aceh)
Dalam administrasi pemerintahan, suku Pakpak banyak bermukim di wilayah Kabupaten Dairi di Sumatera Utara yang kemudian dimekarkan pada tahun 2003 menjadi dua kabupaten, yakni:
1.      Kabupaten Dairi (ibu kota: Sidikalang)
2.      Kabupaten Pakpak Bharat (ibu kota: Salak)
Etnis Pakpak/Dairi kemungkinan besar berasal dari keturunan tentara kerajaan Chola di India yang menyerang kerajaan Sriwijaya pada abad 11 Masehi.

http://upload.wikimedia.org/wikipedia/id/thumb/a/a3/Batak.png/220px-Batak.pnghttps://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEglFFqtPcBn0-geNzEZLNR6Ff071PH5N9vdppL8sVuTPjEQiJHJ5f752LeSKwtvtshSpgCu4IuTKwMi5L9ZDY_hIVGY2D_-YIuIcVi5QIKaMDavK3xfamwy711EG6J1jY1cdI_URPaL3zU/s320/Suku+Pakpak.jpg

Etnis Pakpak/Dairi terdiri atas 5 subsuku, dalam istilah setempat sering disebut dengan istilah Pakpak Silima Suak yang terdiri dari:
1.      Pakpak Klasen, berdomisili di wilayah Parlilitan yang masuk wilayah kabupaten Humbang Hasundutan dan wilayah Manduamas yang merupakan bagian dari kabupaten Tapanuli Tengah.
2.      Pakpak Simsim, berdiam di kabupaten Pakpak Bharat.
3.      Pakpak Boang, bermukim di propinsi Aceh yaitu di kabupaten Aceh Singkil dan kota Subulussalam. Suku Pakpak Boang ini banyak disalahpahami sebagai suku Singkil.
4.      Pakpak Pegagan, bermukim di Sumbul dan sekitarnya di Kabupaten Dairi.
5.      Pakpak Keppas, bermukim di kota Sidikalang dan sekitarnya di Kabupaten Dairi.

Marga etnis Pakpak/Dairi :

  • Anakampun
  • Angkat
  • Bako
  • Bancin
  • Banurea
  • Berampu
  • Berasa
  • Beringin
  • Berutu
  • Bintang
  • Boang Manalu
  • Capah
  • Cibro
  • Gajah Manik
  • Gajah
  • Kabeaken
  • Kesogihen
  • Kaloko
  • Kombih
  • Kudadiri
  • Lingga
  • Maha
  • Maharaja
  • Manik
  • Matanari
  • Meka
  • Maibang
  • Padang
  • Padang Batanghari (BTH)
  • Pasi
  • Penarik Pinayungan
  • Sambo
  • Saraan
  • Sikettang
  • Sinamo
  • Sitakar
  • Solin
  • Saing
  • Tendang
  • Tinambunan
  • Tinendung
  • Tumangger
  • Turutan
  • Ujung

Etnis Pakpak/Dairi diikat oleh struktur sosial yang dalam istilah setempat dengan sulang silima. Sulang silima terdiri dari lima unsur yakni: 1. Sinina tertua (Perisang-isang (keturunan atau generasi tertua) 2. Sinina penengah (Pertulan tengah (keturunan atau generasi yang di tengah) 3. Sinina terbungsu (perekur-ekur = keturunan terbungsu) 4. Berru (kerabat penerima gadis) 5. Puang (kerabat pemberi gadis)
Ini sangat berperan dalam proses pengambilan keputusan dalam berbagai aspek kehidupan terutama dalam sistem kekerabatan, upacara adat maupun dalam konteks komunitas lebbuh atau kuta. Artinya ke lima unsur ini harus terlibat agar keputusan yang diambil menjadi sah secara adat.
Upacara adat Pakpak dinamakan dengan istilah kerja atau kerja-kerja. Namun saat ini sering juga digunakan istilah pesta. Upacara adat tersebut terbagi atas dua bagian besar yakni: 1. Upacara adat yang terkait dengan suasana hati gembira dinamakan kerja baik; 2. Upacara adat dalam suasana tidak gembira dinamakan kerja jahat.
Contoh kerja baik adalah: merbayo (upacara perkawinan), menanda tahun (upacara menanam padi), merkottas (upacara untuk memulai sesuatu pekerjaan yang beresik0) dan lain-lain. Contoh kerja jahat adalah mengrumbang dan upacara mate ncayur ntua (upacara kematian).
suatu kelompok masyarakat pakpak mengganggap masa balita merupakan masa yang paling berbahaya, yang lainnya menganggap lebih berbahaya pada masa menjelang dewasa yang lainnya lagi mengganggap lebih berbahaya pada masa mati. Untuk itu masa-masa tersebut perlu diantisipasi dengan melakukan berbagai upacara.

Di dalam masyarakat pakpak,jauh sebelum masuknya ajaran agama (Kristen & Islam) mengenal 2 jenis upacara disepanjang hidupnya yang disebut kerja njahat  dan kerja baik. Kerja njahat adalah jenis upacara yang berhubungan dengan upacara duka cita seperti ; kematian (Males bulung simbernaik, males bulung buluh, males bulung sampula), mengokal tulan, menutung tulan. Sedangkan kerja baik mencakup Upacara kehamilan (mere nakan merasa / nakan pagit) upacara kelahiran (mangan balbal  dan mengakeni), masa anak-anak (mengebat, mergosting), masa remaja seperti sunat (mertakil),  masa dewasa seperti perkawinan (merbayo), member makan kepada orang tua (menerbeb).
Setelah masuknya ajaran agama besar (Kristen dan islam) beberapa upacara tersebut sudah tidak dipraktekkan lagi, misalnya sunatan atau mertakil bagi Pakpak Kristen. Sebaliknya dikalangan Pakpak Kristen yang umumnya tinggal diperkotaan dikenal upacara adat baru seperti pendidien/pembaptisan (menjalo gerrar), dan sidi (meluah) dengan mengundang teman, kelompok sulang silima dan tetangga untuk makan bersama.
Namun sekarang ini masih ada pula sekelompok yang masih percaya akan hal menyembah batu yang sering disebut dengan menoto .sebut saja di kecamatan pergetteng getteng sengkut,dimana semua warga tersebut setahun sekali memberikan adat adat berupa ayam,kembal,makanan hasil pertanian,buah buahan,dan lain lain.hal ini dilakukan untuk mengetahui bagaimana situasi pertanian di daerah tersebut untuk tahun yang akan datang.
Upacara ini dilakukan oleh setu orang yang diangap memepunyai ilmu gaib yang akan mewakili semua warga dalam berbicara dengan batu yang mereka sembah.


A. Sejarah Perkembangan dan Persebaran Kelompok Etnis Pakpak/Dairi
Belum ditemukan bukti yang otentik dan pasti tentang asal usul dan sejarah persebarang orang Pakpak. Hasil penelitian yang dilakukan menunjukkan beberapa variasi. Pertama dikatakan bahwa orag Pakpak berasal dari India selanjutnya masuk ke pedalaman dan beranak pinak menjadi orang Pakpa. Versi lain menyatakan orang Pakpak berasal dari etnis Batak Toba dan yang laiin menyatakan orang Pakpak sudah ada sejak dahulu. Mana yang benar menjadi relatif karena kurang didukung oleh fakta-fakta yang objektif. Alasan dari India misalnya hanya didasarkan pada adanya kebiasaan tradisional Pakpak dalam pembakaran tulang-belulang nenek moyang dan Barus sebagai daerah pantai dan pusat perdagangan berbatasan langsung dengan tanoh Pakpak. Alasan Pakpak berasal dari Batak Toba hanya adanya kesamaan struktur sosial dan kemiripan nama-nama marga. Sedangkan alasan ketiga yang menyatakan dari dahulu kala sudah ada orang Pakpak hanya didasarkan pada folklore di mana diceritakan adanya tiga zaman manusia di Tanoh Pakpak, yakni zaman Tuara (Manusia Raksasa). zaman si Aji (manusia primitif) dan zaman manusia (homo sapien).
Berdasarkan dialek dan wilayah persebarannya, Pakpak dapat diklasifikasikan menjadi lima bagian besar yakni: Pakpak Simsim, Pakpak Keppas, Pakpak Pegagan, Pakpak Boang dan Pakpak Kelasen (Coleman, 1983; Berutu, 1994). Masing-masing sub ini dibedakan berdasarkan hak ulayat marga yang secara administratif tidak hanya tinggal atau menetap di wilayah Kabupaten Dairi (sebelum dimekarkan), tetapi ada yang di Aceh Singkil, Humbang Hasundutan (sebelum dimekarkan dari Tapanuli Utara) dan Tapanuli Tengah.
Pakpak Simsim, Pakpak Keppas dan Pegagan secara administratif berada di wilayah kabupaten Dairi dan Pakpak Bharat, sedangkan Pakpak Kelasen berada di kabupaten Humbang Hasundutan, Kabupaten Tapanuli Tengah Khususnya di Kecamatan Parlilitan dan Kecamatan Manduamas. Berbeda lagi dengan Pakpak Boang yang menetap di wilayah kabupaten Singkil, khususnya di Kecamatan Simpang Kiri dan Kecamatan Simpang Kanan.

B. Pengelolaan Lingkungan Pada Masyarakat Pakpak
Hasil-hasil penelitian yang dilakukan membuktikan bahwa masyarakat Pakpak memiliki sejumlah nilai budaya, pengetahuan, aturan, kepercayaan, tabu, sanksi, upacara dan perilaku budaya yang arif dalam pengelolaan lingkunan. Usman Pelly (1987: 269) menyatakan bahwa masyarakat Pakpak sangat menghargai alam dengan adanya tabu-tabuyang selalu dipatuhi. Lebih lanjut Zuraida dkk, (1992) menyatakan bahwa orang Pakpak memiliki aturan-aturan dalam menjaga konservasi alam. Kedua ahli ini belum menjelaskan secara eksplisit tabu-tabu dan aturan-aturan yang kondusif terhadap konservasi alam. Penelitian lebih lanjut oleh penulis membuktikan pernyataan kedua ahli tersebut. Kearifan dalam konservasi alam tersebut terjadi dalam berhubungan dengan alam. Ada yang disadari dan ada pula yang tidak disadari oleh masyarakat Pakpak yang terkandung dalam sejumlah nilai, aturan, tabu dan upacara terutama kegiatan yang berhubungan langsung dengan alamseperti dalam sistem ladang berpindah, mencari damar, berburu, dan meramu dan pengelolaan hutan kemenyaan.
Selain itu berhubungan dengan kepercayaan tradisional di setiap lebuh dan kuta ditemukan atau dikenal adanya area-area yang pantang untuk di ganggu unsur biotik dan abiotik yang ada di dalamnya karena dianggap mempunyai kekuatan gaib antara lain: rabag, gua, daerah pinggiran sungai dan jenis-jenis pohon dan binatang tertentu yang dianggap memiliki mana. Jenis tumbuhan tersebut misalnya pohon ara, Simbernaik (sejenis pohon penyubur tanah). Jenis binatang yang jarang diganggu isalnya monyet, kera dan harimau. Pada awalnya tempat-tempat tersebut dijadikan sebagai tempat persembahan terhadap kekuatan gaib namun saat ini walaupun umumnya mereka telah menganut agama-agama besar seperti Islam danKristen, tetap dianggap keramat dan mempunyai kekuatan sehingga kalau diganggu dapat berakibat terhadap keselamatan baik secaralangsung maupun tidak langsung.

C. Kesenian
Ornamen Pakpak biasanya digunakan pada motif-motif ukiran (okir Pakpak) dan lukisan.Pakpak seperti pada hiasan rumah adat Pakpak dan patung-patung karya seni budaya Pakpak.beberapa alat musik pakpak adalah terbuat dari bahan tradisional seperti kalondang Pakpak yang Posisi musik tradisional sangatlah jelas dan terpandang dalam budaya Pakpak. Pada upacara-upacara tradisi, musik, terutama genderang, mempunyai peranan penting: menjadi bagian dari sebuah kesenian tradisi masyarakat pakpak.Disamping itu,adajuga tarian daerah pakpak yaitu  Tari dalam Bahasa Pakpak disebut “Tatak” .
Tarian tradisional Pakpak sangat erat kaitannya dengan kehidupan sehari-hari, misalnya Tatak Memupu/ Menapu Kopi, Tatak Mendedah, Tatak Renggisa, Tatak Balang Cikua, Tatak Garo-Garo, Tatak Tirismo Lae Bangkuang, Tatak Mersulangat, Tatak Menerser Page, Tatak Muat Page, Tatak Adat, Tatak Mendedohi Takal-Takal, dan lain-lain. Selain itu, dikenal juga seni bela diri yang disebut dengan istilah motcak dan tabbus
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjAeQRcmgg6q6a_lQh9XKkXkUzsf15A3msmReeUk2t9U-bKmf45cR5IUDgWYWtkc7rwwsNhlQIpIhKy9rW-Yb8Wv-9i1rJCwFG1tE9W4tPtf-vXshDOmttG2M3ItDEwMYWanMKFgkysjph3/s1600/pakaian+adat+pakpak.jpg http://dairikab.go.id/photos/Tari_Web.jpg


Seni musik pakpak yaitu seni alat musik dan seni vokal. Seni alat musik misalnya Kalondang, Genderang, Gung Sada Rabaan, Kucapi, Sordam, Lobat, Kettuk, Gerantung, dan lain-lain. Seni vokal diantaranya odong-odong dan nangen. Selain itu, seni vokal juga sudah semakin dikembangkan sekarang ini, diantaranya lagu paling dikenal yaitu Cikala le Pong Pong, delleng sitinjo, lae une,nantampuk emas,dan lain lain.

Lagu Pakpak Kini
Banyak lagu pakpak yang populer merupakan adaptasi dari odong-odong, yaitu lagu-lagu bernada minor dengan lirik yang lazimnya menggambarkan sesuatu yang romantis atau malah menyayat hati, misalnya kecantikan seorang kekasih, rasa kangen perantau terhadap keluarga dan kampung halamannya, hingga ratapan mengenai kemalangan hidup. Para pemeras nira sering menyanyikan odong-odong kala bekerja. Kini, banyak sekali lagu pakpak yang menjadi populer dan diadaptasi secara modern menggunakan instrument yang juga modern seperti keyboard. Lagu-lagu populer Pakpak yang kerap diputar di acara-acara pernikahan ini misalnya Cikala Le Pongpong, Pantar Silang, dan Tangis Anak Melumang. Bahkan, lagu pakpak yang sering terdengar jaman sekarang telah mengadaptasi unsur-unsur musik yang berbeda, misalnya irama Melayu serta nyanyian yang dibawakan grup vokal. Hal ini tak lepas dari kecenderungan pemusik Pakpak kontemporer yang memilih untuk mengikuti tren musik yang lebih cepat berkembang dan populer seperti lagu-lagu daerah Toba dan Karo, yang kini memang banyak mengadaptasi irama serta gaya pelantunan lagu Melayu.

Musik dalam Tradisi Pakpak
Masyarakat Pakpak memiliki dua macam bentuk komposisi musik utama; musik berupa nyanyian dengan vokal serta ensembel alat-alat musik. Jenis yang pertama secara tradisi merupakan sarana untuk bercerita; misalnya, dalam menceritakan kisah khas Pakpak yang berjudul Sitagandera, si pencerita dituntut untuk mampu menyanyikan kisah tersebut dan bukan hanya menuturkannya saja seperti orang berbicara. Sedangkan ensembel alat musik biasanya dibawakan pada saat acara-acara adat atau menyertai peristiwa-peristiwa penting yang membutuhkan iringan musik. Tetapi, secara umum, musik dengan ensembel ini dibagi menjadi dua yaitu musik duka dan musik riang. Alat-alat musik Pakpak terdiri dari perkusi seperti gendang dan gong, serta alat musik melodis seperti kalondang, lobat dan sordam (semacam seruling). Sordam merupakan alat musik yang digunakan dalam banyak peristiwa; dari mengiringi acara pernikahan, mengisi waktu ketika menggembalakan kerbau, hingga berhubungan dengan arwah para leluhur atau bahkan mencari orang yang hilang di hutan.







BAB III
BATAK TOBA
Etnis Batak Toba meliputi Kabupaten Toba Samosir, Kabupaten Humbang Hasundutan, Kabupaten Samosir, Kabupaten Tapanuli Utara, sebagian Kabupaten Dairi, Kabupaten Tapanuli Tengah, Kota Sibolga dan sekitarnya, Batak Toba adalah suatu kesatuan kultural. Batak Toba tidak mesti tinggal diwilayah geografis Toba, meski asal-muasal adalah Toba. Sebagaimana suku-suku bangsa lain, suku bangsa Batak Tobapun bermigrasi kedaerah-daerah yang lebih menjanjikan penghidupan yang labih baik. Contoh, mayoritas penduduk asli Silindung adalah marga-marga Hutabarat, Panggabean, Simorangkir, Hutagalung, Hutapea dan Lumbantobing. Padahal ke-enam marga tersebut adalah turunan Guru Mangaloksa yang adalah salah- seorang anak Raja Hasibuan diwilayah Toba. Demikian pula marga Nasution yang kebanyakan tinggal wilayah Padangsidimpuan adalah saudara marga Siahaan di Balige, tentu kedua marga ini adalah turunan leluhur yang sama. Batak Toba sebagai kesatuan kultural pasti dapat menyebar ke berbagai penjuru melintasi batas-batas geografis asal leluhurnya, si Raja Batak yakni wilayah Toba yang secara spesifik ialah Desa Sianjur Mulamula terletak di lereng Gunung Pusuk Buhit, kira-kira 45 menit berkendara dari Pangururan, Ibukota Kabupaten Samosir, sekarang.

Marga pada suku Batak Toba
Marga atau nama keluarga adalah bagian nama yang merupakan pertanda dari keluarga mana ia berasal.  Orang Batak selalu memiliki nama Marga/keluarga. Nama / marga ini diperoleh dari garis keturunan ayah (patrilinear) yang selanjutnya akan diteruskan kepada keturunannya secara terus menerus. Dikatakan sebagai marga pada suku bangsa BatakToba ialah marga-marga pada suku bangsa Batak yang berkampung halaman (marbona pasogit) di daerah Toba.  Sonak Malela yang mempunyai 3 (tiga) orang putera dan menurunkan 4 (empat) marga, yaitu:Simangungsong, Marpaung, Napitupulu, dan Pardede, merupakan salah satu cotoh marga pada suku bangsa Batak Toba.

Tarombo atau Silsilah
Silsilah atau Tarombo merupakan suatu hal yang sangat penting bagi orang Batak. Bagi mereka yang tidak mengetahui silsilahnya akan dianggap sebagai orang Batak kesasar (nalilu). Orang Batak diwajibkan mengetahui silsilahnya minimal nenek moyangnya yang menurunkan marganya dan teman semarganya (dongan tubu). Hal ini diperlukan agar mengetahui letak kekerabatannya (partuturanna) dalam suatu klan atau marga.
Falsafah dalam adat batak toba
Falasafah adat batak toba dikenal dengan Dalihan Na Tolu yang terdiri dari:
1.   Somba Marhula-hula 
2.    Manat Mardongan Tubu 
3.    Elek Marboru
Hulahula/Mora adalah pihak keluarga dari isteri. Hula-hula ini menempati posisi yang paling dihormati dalam pergaulan dan adat-istiadat Batak (semua sub-suku Batak) sehingga kepada semua orang Batak dipesankan harus hormat kepada Hulahula (Somba marhula-hula).
Dongan Tubu/Hahanggi disebut juga Dongan Sabutuha adalah saudara laki-laki satu marga. Arti harfiahnya lahir dari perut yang sama. Mereka ini seperti batang pohon yang saling berdekatan, saling menopang, walaupun karena saking dekatnya kadang-kadang saling gesek. Namun, pertikaian tidak membuat hubungan satu marga bisa terpisah. Diumpamakan seperti air yang dibelah dengan pisau, kendati dibelah tetapi tetap bersatu. Namun demikian kepada semua orang Batak (berbudaya Batak) dipesankan harus bijaksana kepada saudara semarga. Diistilahkan, manat mardongan tubu.
Boru/Anak Boru adalah pihak keluarga yang mengambil isteri dari suatu marga (keluarga lain). Boru ini menempati posisi paling rendah sebagai ‘parhobas’ atau pelayan, baik dalam pergaulan sehari-hari maupun (terutama) dalam setiap upacara adat. Namun walaupun berfungsi sebagai pelayan bukan berarti bisa diperlakukan dengan semena-mena. Melainkan pihak boru harus diambil hatinya, dibujuk, diistilahkan: Elek marboru




A. Kesenian
- Suara
Musik yang biasa dimainkan,cenderung tergantung dengan upacara-upacara adat yang diadakan, tetapi lebih dominan dengan genderangnya. Musik Batak sudah ada sejak jaman Toba Kuno di jaman dinasti Tuan Sorimangaraja (Pahompu-nya Si Raja Batak) Berawal dari musik Raja-raja. Bukan musik untuk Raja, tetapi musik yang dimainkan oleh Raja. Makanya mainnya boleh berdiri. Lain halnya dengan musik tradisi suku lain seperti Afrika, India, Jawa, dll, yang merupakan musik Rakyat, sehingga kebanyakan bermusiknya sambil duduk.
Musik Batak awalnya diciptakan untuk upacara ritual yang dipimpin pada Datu (dukun) pada masa itu untuk penghormatan leluhur, minta panen yang sukses kepada Mula Jadi Nabolon, dll. Kemudian Berkembang menjadi Musik ritual di Pesta Adat. Pemainnya dinamakan pargonsi (baca Pargosi atau Pargoci) Pargonsi mempunyai kedudukan yang sangat penting, ruma bagian atas. Karena yang memainkannya Raja. Jadi gak heran kalo Batak itu suku yang musikal karena dari jaman dulu Rajanya aja suka main musik ). Musik Batak untuk ritual ini adalah yang disebut Gondang Sabangunan yang terdiri dari 5 Ogung, 5 Gondang, Sarune Bolon lubang 5.
Namun para Rakyat juga ingin main musik, maka berkembanglah musik batak ini di kalangan rakyat dengan format Taganing, Garantung, Hasapi, Seruling dan Sarune Etek. Dengan alat-alat musik inilah tercipta banyak sekali lagu rakyat yang bernuansa pentatonis (Do Re Mi Fa Sol, kadang2 ada juga La) dan susunan nada (licks)-nya sangat khas tidak didapati di musik suku lain.

Lagu-lagu yang dinyanyikan masyarakat etnis batak bercerita tentang pemujaan terhadap kampung halaman, keindahan negeri dan panorama yang indah permai. Sedangkan andung/ratapan adalah salah satu jenis nyanyian yang secara khusus dinyanyikan pada acara dukacita atau menggambarkan suasana hati yang sedang berduka dan sedih.

Alat musik Batak Toba yang digunakan untuk mengiringi tarian tor-tor dan nyanyian juga beranekaragam. Alat musik ini ada yang terbuat dari bahan perunggu, kulit, kayu, dan bambu. Alat musik berbahan perunggu seperti ogung atau gong. Ogung merupakan instrumen 4 jenis gendang yang berlainan bunyi/nada, yaitu oloan, ihutan, doal, dan panggora. Sedangkan alat musik dari bahan kulit, kayu dan bambu meliputi tagading, hesek, hasapi (kecapi), saga-saga, garantung, suling (seruling), sordam dan salohat. Alat musik tagading merupakan seperangkat instrumen yang terdiri dari 1 gondang sebagai bas, 1 odap-odap dan 5 tagading.
Orang Batak Toba juga membedakan peralatan musik ini dalam dua golongan besar yaitu Gondang Bolon (terdiri dari gordang(gendang besar), taganing(gendang ukuran sedang) dengan lima lempeng kayu, odap-odap(gendang kecil) yang kadang-kadang diganti dengan lempengan logam, gong dari tembaga ditambah empat gong perunggu, dan sarune(seruling)) dan Gondang Hasapi (terdiri dari 2 buah hasapi, sarune kecil, suling(seruling), garantung(bumbung kecil) dengan lima lempeng kayu sebagai pengganti taganing).

- Tarian
Tarian yang menjadi ciri khas orang Batak Toba adalah tari Tor-tor dengan berbagai jenis nama tari untuk berbagai jenis kegiatan yang berbeda-beda. Tor-tor atau tari-menari merupakan salah satu kebudayaan Batak yang tertua. Dahulu kala seni tari-menari duhubungkan dengan kepercayaan animisme yang dapat mendatangkan kuasa-kuasa magis. Acara tari-menari diadakan untuk memohon kemenangan, kesehatan, dan kehidupan sejahtera kepada dewa-dewa. Acara tari-menari juga diadakan bilamana ada orang yang lahir, akil balig dan diterima sebagai anggota suku, pada saat menikah, dan pada waktu sudah mati. Namun sekarang tarian tersebut tidak lagi bersifat animisme, tetapi lebih dimaksudkan untuk mempererat hubungan kekerabatan dalam Dalihan Na Tolu
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhU1w-xx-n5ZHkHoS90CY6cldoYJkqx0DrzhcmqvnoNdRP6-JrP57UhMAr4LaAz5t7mMtWWVtOpvYoTe7cF72ziN0Vsb2yGsjaJ7mZInQQShdp_EUmnErA80NTok94LUjbAesozzKb2UWWA/s1600/6.jpg

- Kerajinan
tenunan merupakan seni kerajinan yang menarik dari suku Batak. Contoh tenunan ini adalah kain ulos dan kain songket. Ulos merupakan kain adat Batak yang digunakan dalam upacara-upacara perkawinan, kematian, mendirikan rumah, kesenian,dsb. Bahan kain ulos terbuat dari benang kapas atau rami. Warna ulos biasanya adalah hitam, putih, dan merah yang mempunyai makna tertentu. Sedangkan warna lain merupakan lambang dari variasi kehidupan.
http://v-images2.antarafoto.com/g-ec/1363604711/perajin-ulos-11.jpghttp://www.gosumatra.com/wp-content/uploads/2013/04/Kain-Ulos-Suku-Batak.jpg

BAB IV
BATAK ANGKOLA/MANDAILING
Suku Mandailing adalah suku bangsa yang mendiami Kabupaten Mandailing Natal, Kabupaten Padang Lawas, Kabupaten Padang Lawas Utara, Kabupaten Tapanuli Selatan, Kabupaten Labuhanbatu, Kabupaten Labuhanbatu Utara, Kabupaten Labuhanbatu Selatan, Kabupaten Asahan, dan Kabupaten Batubara di Provinsi Sumatera Utara beserta Kabupaten Pasaman dan Kabupaten Pasaman Barat di Provinsi Sumatera Barat, dan Kabupaten Rokan Hulu di Provinsi Riau. Mandailing merupakan kelompok masyarakat yang berbeda dengan suku, Hal ini terlihat dari perbedaan sistem sosial, asal usul, dan kepercayaan.
Orang Mandailing didefinisikan sebagai mereka yang bermarga Nasution, Lubis, Pulungan, Batubara, Rangkuti, Daulae, Parinduri, Dalimunte, dan Matondang sahaja seperti ketetapan Mahkamah Tertinggi Folks Road Batavia 1926 dan keturunan yang berpecah daripada sembilan marga tadi (i.e. Mardia daripada Rangkuti).
Orang Mandailing adalah berbeda dengan orang Batak yang tinggal di Mandailing atau disebut Batak Mandailing yang terdiri daripada marga seperti Hasibuan, Harahap, dan Siregar. Mereka berasal dari pedalaman pantai barat Sumatera dan Tapanuli Selatan di utara Sumatera, Indonesia.



Lingkungan hidup mereka meliputi gunung-ganang dengan sistem perairan dan dataran rendah persawahan. Mata pencarian mereka termasuk getah, kulit kayu manis, kopi dan melombong emas. Mereka terkenal dengan tradisi persuratan dan sembilan gendang besar yang disebut Gordang Sambilan.
Meskipun Mandailing sering dikaitkan dengan Batak, namun rata-rata orang Mandailing menolak tanggapan ini. hal ini disebabkan karena perbedaan agama, kerana rata-rata orang Batak menganut agama Kristen sedangkan orang Mandailing kebanyakan menganut agama islam.
Patung Sangkalon yang menjadi lambang keadilan dalam masyarakat Mandailing sering disalah anggap oleh masyarakat luar. Patung yang dipanggil 'si pangan anak si pangan boru' yang bermaksud 'si pemakan anak lelaki, si pemakan anak perempuan' ini dijadikan tohmahan bahawa kaum Mandailing adalah kaum pemakan daging manusia. Padahal maksud sebenar perumpamaan ini ialah setiap keadilan mesti ditegakkan meskipun terpaksa membunuh anak sendiri
Mandailing atau Mandahiling diperkirakan berasal dari kata Mandala dan Holing, yang berarti sebuah wilayah Kerajaan Kalinga. Kerajaan Kalingga adalah kerajaan Nusantara yang berdiri sebelum Kerajaan Sriwijaya, dengan raja terakhir Sri Paduka Maharaja Indrawarman yang mendirikan Kesultanan Dharmasraya setelah di-Islamkan oleh utusan Khalifah Utsman bin Affan pada abad ke-7 M. Sri Paduka Maharaja Indrawarman adalah putra dari Ratu Shima. Sri Paduka Maharaja Indrawarman kemudian dibunuh oleh Syailendra, pendiri Kerajaan Sriwijaya pada abad ke-7 itu juga. Pada abad ke-10, Kerajaan Chola dari wilayah Tamil, India Selatan, dengan rajanya Rajendra telah menyerang Kerajaan Sriwijaya dan menduduki wilayah Mandailing, yang kemudian dikenal dengan nama Ang Chola (baca: Angkola). Ang adalah gelar kehormatan untuk Rajendra. Kerajaan India tersebut diperkirakan telah membentuk koloni mereka, yang terbentang dari Portibi hingga Pidoli.[3] Dalam Bahasa Minangkabau, Mandailing diartikan sebagai mande hilang yang bermaksud "ibu yang hilang". Oleh karenanya ada pula anggapan yang mengatakan bahwa masyarakat Mandailing berasal dari Kerajaan Pagaruyung di Minangkabau.
Mandailing ditinjau dari Sejarah Asal Usul Mandailing bukan Batak berdasarkan kitab tua Mpu Prapanca, Negarakertagama. Patut di ingat, catatan ini adalah kitab tertua yang pernah ada di Indonesia dan diakui kebenarannya oleh UNICEF dan dunia ilmiah. Artinya, jika seseorang tidak percaya kebenarannya, secara intelektual ia akan "masuk neraka".

Dalam kitab tersebut Mpu Prapanca (Ompung Prapanca: dalam bahasa mandailing) mencatat banyak hal tentang Majapahit, termasuk negara yang ditaklukkannya. Mpu Prapanca menyebut belahan timur adalah Melayu, termasuk di dalamnya; Mandailing, Pane (Panai), Toba, Barus dan lain-lain. Saat itu Toba, Mandailing dan Barus dikategorikan rumpun Melayu. Tidak ada BATAK pada saat itu. Tidak dijumpai terminologi Batak dalam kosa kata kuno (Sanskerta)atau bahasa yang dikenal dan difahami antar bangsa saat itu. Referensi yang paling diterima dan masuk akal menyebutkan bahwa istilah Batak untuk memanggil satu kaum baru muncul kemudian oleh orang-orang pesisir yang merasa lebih beradab kepada penduduk pedalaman. Tepatnya: BATAK adalah istilah untuk suku orang pedalaman.
            Sekitar tahun 1365 M, peradaban di pedalaman Sumatera masih sangat primitif, dan kanibalisme masih sangat dimungkinkan terjadi (kanibalisme paling mutakhir dicatat dalam sejarah adalah kanibalisme pada Missionaris, kejadian antara Sibolga dan Tarutung. Baca selengkapnya Batak Makan Orang, kumpulan sejarah kanibalisme yang dicatat sejarah.

            Determinasi sejarah: masyarakat tumbuh, berkembang dan berubah. Peradaban manusia di utara bagian Sumatera berpusat di tepian sungai Barumun, dan Sungai Batang Pane. Bayangkan, saat itu kota yang kita kenal bernama Medan masih berupa laut dan rawa, tidak berpenghuni manusia. Toba, Mandailing dan Padang Lawas adalah kawasan segitiga emas pada masa itu dan pusat peradaban dan penyebaran agama ada di Padang Lawas. Itulah logika satu-satunya kenapa banyak terdapat kesamaan bahasa dan budaya.
Dan ada masa dimana Mandailing yang tidak terlalu besar berpusat di Kerajaan Pulungan, atau sebelumnya ada konsentrasi penduduk di tempat yang bernama Mandala Holing tepi Sungai Batang Gadis, atau dimana saja steppa yang luas, tanah yang cocok untuk pertanian yang diakibatkan suburnya tanah yang dibawa Batang Gadis Sungai Barumun dan Batang Pane.

Itulah kenapa semua Candi yang ada di Mandailing Godang dibangun di lapangan terbuka dan tidak jauh dari Sungai-sungai utama. Candi Portibi, Candi Bahal, Candi yang ada di Siabu dan di Pidoli berada di tempat yang layak untuk umum.

Nama Batak tidak diketahui asal usulnya, sejelas Sejarah Asal Usul>Toba, Mandailing, Pane dan Barus. Mandailing untuk menyebutkan wilayah cukup luas yang mendiami tepi Sungai Batang Gadis namun terlalu kecil jika dibanding kerajaan Majapahit di abad 13 M. Hal itu disebabkan hampir semua pulau Sumatera pada saat itu masih tertutup hutan belantara berbanding terbalik dengan pulau Jawa bagian utara yang datar, subur dan cocok untuk tempat tinggal dan pertanian, maka orang Mandailing masa silam masih suka berpindah-pindah. Pedagang Arab yang bermukim di Barus terjadi di masa berikutnya dan bubar setelah diserang Kerajaan Sriwijaya.

Kerajaan Pane langsung berhubungan dengan perdagangan internasional dan Pendeta-pendeta dan pusat penyiaran agama Hindu-Budha berada di Kerajaan Pane banyak yang belajar ke Champa dan India. Beberapa bahasa yang masih diwariskan atau terakulturasi pengaruh Hindu hingga kini antara lain: Mangaraja, Ompung (Opung), Debata, aksara (Surat Tulak Tumbaga) adalah impor berasal dari pengaruh Hindu-Budha.

Mandailing dikemudian hari lebih konsentrasi di Penyabungan dan Pidoli (Piu Delhi) karena Patih Gajah Mada dari Majapahit menghancurkan Kerajaan Pane yang terdapat di Barumun-Padang Bolak. Banyak penduduk, tentara dan aliansi Pane migrasi masuk kepedalaman di Penyabungan. Mereka inilah yang mendiami Huta Siantar dan Siladang. Sejatinya penduduk Siladang adalah tentara Sriwijaya yang dikebiri pasukan Gajah Mada dari Padang Lawas. Hal ini bisa dibuktikan dengan banyaknya persamaan bahasa dan adat istiadat Siladang (Aek Banir)dengan penduduk Palembang di pedalaman seperti cenderung mengunci koloni dari masyarakat luar.Ini juga menjadi penjelasan kenapa bahasa Siladang berbeda dengan bahasa Mandailing pada umumnya. Kerajaan Pane adalah sekutu Kerajaan Sriwijaya. Para pendatang dari Pane dan tentara Sriwijaya ini kemudian lebur menjadi orang Mandailing dan mengadopsi marga setempat. Masa inilah Sibaroar, leluhur Nasution dewasa. Sibaroar bisa mendominasi pengaruh Pulungan karena beraliansi dengan para pendatang ini. Belakangan banyak orang Siladang (Aek Banir) menjadi Nasution, demikian mungkin juga orang Pane yang terusir itu.

Sejarah Asal Usul Mandailing pada akhirnya harus diakui bahwa
apa yang dimaksud Mandailing, kini hanya menunjuk pada wilayah saja. Jika seseorang merasa dirinya punya silsilah yang mengakar ke tanah Toba dan tinggal di Mandailing, maka ia boleh mengklaim diri menjadi orang Mandailing. Mandailing tidak hanya di isi oleh "orang mandailing" saja, tetapi patut di ingat, pendeta Hindu yang berkulit hitam itu menetap di Mandailing dan beranak pinak hingga sekarang. Rombongan dari Aceh (Tapak Tuan) menjadi Rangkuti dan beberapa pedagang Cina menjadi Lubis, atau pulungan, tergantung tempat dan situasi dimana bermukim. Menurut salah satu sumber, Marga Lubis aslinya berasal dari Bugis. Ini membuktikan bahwa Mandailing lebih heterogen dan lebih dinamis dari Toba. Jadi jangan heran kenapa tarombo Toba lebih rapi dari tarombo Mandailing.

Apakah Mandailing itu Batak sekarang tergantung dari mana anda melihatnya. Tapi yang pasti Mandailing tidak berasal dari Batak adalah fakta yang harus di akui. Menjadi seorang Batak atau Mandailing adalah dua pilihan buat penduduk yang berasal dari tanah Mandailing. Saya memilih Mandailing karena istilah ini lebih tua dan mendarah daging.

Mengetahui Sejarah Asal Usul Mandailing, maka kita harus ke masa lalu. Asal usul mandailing dan sejarah mandailing natal harus ditulis berdasarkan data empiris. Asal usul mandailingtidak hanya dicatat berdasar penuturan cerita rakyat. Contohnya seperti Kisah Rakyat Asal Usul Batak plesetan ini.

Cerita rakyat yang dituturkan secara turun temurun dibutuhkan sebagai pelengkap data empiris tadi, tetapi bingkai penulisan sejarah asal usul mandailing tetap harus yang realistis, logis dan sistematis. Sejarah mandailing harus dibebaskan dari sentuhan subjektif, seperti fanatisme keyakinan,dan fatalisme silsilah Raja Batak.
Jika kita sudah menyimpulkan suatu hal, "asal usul mandailing dari batak toba". Maka kita telah berhenti untuk berfikir dan menggali pertanyaan: dari mana asal usul mandailing? Dengan vonis, "asal usul mandailing adalah dari batak toba" kita telah membunuh sejarah asal usul mandailing. Siapa yang tahu pasti asal usul mandailing dari batak toba kecuali nenek moyang mandailing itu sendiri. Dan sayangnya mereka yang telah pergi tidak menitipkan surat wasiat dan catatan yang bisa dimengerti dan jelas mereka berasal dari mana. Jadi seseorang yang hidup di zaman ini tidak punya hak memvonis asal usul mandailing dari batak toba atau tidak. Istilah mandailingnya: "Dont punish if you dont know".

Hanya dengan cara ini asal usul mandailing bisa disingkap, jadi tidak pantas hanya karena seseorang berasal dari batak toba dan punya catatan silsilah (tarombo) menggeneralisir, "asal mandailing dari batak toba", sebaliknya, sesorang yang merasa tidak punya pertalian darah mengatakan, "asal usul mandailing adalah dari vietnam". Jadi mari berfikir logis bahwa asal usul mandailing adalah fakta yang terpisah dari kesimpulan siapapun.

Seseorang boleh berpendapat, tentunya berdasarkan logika yang jernih, tentang asal usul mandailing. Sangat bagus membuat diskursus, tesa anti tesa dan sintesa. Ungkapkanlah data dan fakta serta logika, tentu saja akan memperkaya khasanah perbendaharaan asal usul mandailing. Dengan suatu kesadaran, bahwa mandailing bukan milik seseorang, sebaliknya mandailing memiliki orang mandailing. Tulisan ini hanyalah rintisan untuk generasi ini karena masih banyak fakta masih terkubur di perut bumi, menanti untuk disingkap.

Asal usul mandailing tidak dari batak toba karena tidak mungkin Raja Batak atau siapapun nenek moyang orang batak tiba tiba muncul dari perut bumi atau jatuh dari langit di suatu tempat di tanah toba, lalu beranak pinak menjadi suku batak.
Saya banyak mendengar "lelucon" bahwa pada jaman dahulu kala hiduplah seorang Ompu Mula Di Najadi Nabolon, Raja Batak yang memerintah sendirian dan kesepian, karena tidak seorang pun berada selain dirinya dan keluarganya yang berada di puncak gunung itu. Naif sekali jika seperti itu gagasan seseorang tentang Sejarah Asal Usul Mandailing.

Dalam bayangan saya, orang batak yang mendiami toba yang pertama kali adalah sekelompok keluarga yang punya pemimpin dari keluarga itu sendiri. Migrasi massal adalah fakta sejarah yang tercatat di manapun di tanah batak.
Migrasi disebabkan perpecahan di satu klan, dan kelompok yang kalah akan pindah dan menempati suatu daerah yang baru. Jika tempat itu "milik" marga tertentu, mereka yang jadi pendatang kemudian menjadi "anak boru", tidak menjadi raja, mereka harus hormat pada Raja Nidapot (raja yang tempat menumpang). Jika tempat baru itu kosong tanpa otoritas marga apapun, pemimpin mereka itu pun berubah jadi raja. Demikianlah polanya.

Asal usul mandailing karena itu tidak dari batak toba, karena orang batak pertama kali tiba di tanah batak akan menempati sisi terluar dari pulau, dan kemudian seperti pola di atas akan menyebar hingga ke tanah toba dan padang bolak. Penyebaran penduduk bisa dari dua sisi pulau Sumatera, pesisi barat dan timur. Jika demikian, batak toba punya dua kemungkinan: berasal dari pantai timur atau barat.

Patut diakui bahwa fakta, banyak suku marga yang berasal dari batak toba hidup sebagai orang mandailing. Tetapi itu terjadi pada masa berikutnya dalam kronologi sejarah batak. Patut di ingat, orang mandailing tidak homogen, tetapi percampuran darah dari radius 1000 kilometer. Sutan Mahmud, yang leluhurnya berasal dari minangkabau adalah orang mandailing, dan ia telah menjadi marga lubis. Jimmy yang orang tuanya berasal dari mandailing sekarang telah menjadi orang sunda. Semua bisa lebur menjadi siapapun dan marga apapun mengikuti kronologi sejarah.
Karena itu, tidak tepat, karena seorang siregar, harahap atau daulay punya silsilah rinci mereka berasal dari batak toba lalu ia memfonis: "Asal usul mandailing dari batak toba".




Dalam upacara perkawinan di adat Mandailing, diperlukan perlengkapan dalam upacara adat.
Berikut ini adalah perlengkapan yang diperlukan dalam upacara-upacara adat yang dilaksanakan dengan upacara adat mandailing:
v  Sirih (napuran/ burangir)
v  Sirih
v  Sentang (gambir)
v  Tembakau
v  Soda
v  Pinang
v  Tanda Kebesaran (paragat)
v  Payung rarangan
v  Pedang dan tombak
v  Bendera adat (tonggol)
v  Langit-langit dengan tabir
v  Tempat penyembelihan kerbau
v  Alat musik (uning-uningan)
v  Momongan (gong)
Terdiri dari: tawak-tawak, gong, doal, cenang, talempong, tali sasayak
Gordang sambilan (gendang)
v  Alat tiup
v  Pakaian penganten
v  Pakaian penganten laki-laki
v  Pakaian penganten perempuan
pakaian penganten Mandailing seperti pada gambar :  
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgyAs2odUg1VyDTbCE5Y1DFiWmqwmpmHu9hF_4tVOe2YIr2IYiXjaWLvoVX7pWlQ8Ju5Zh61rgyxmcp8e-wQWFoAxa4YWtlQfkddIEHxASeUuP0ujPkLMxFjipspTsyuuZw_kFm5FH0Cp2s/s1600/adat.jpg
Selama berabad-abad lamanya dan sampai sekarang masyarakat Mandailing mempercayai bahawa Namora Pande Bosi adalah nenek moyang orang-orang Mandailing yang bermarga Lubis.
Menurut legendanya, Namora Pande Bosi berasal dari Bugis di Sulawesi Selatan. Dalam pengembaraannya dia sampai ke satu tempat yang bernama Sigalangan di Tapanuli Selatan. Kemudian dia berkahwin dengan puteri raja di tempat tersebut dan terkenal sebagai pandai besi yang mulia.

            Namora Pande Bosi dan isterinya yang bergelar Nan Tuan Layan Bolan mendapat dua orang anak lelaki yang diberi nama Sutan Borayun dan Sutan Bugis. (Dalam tarombo marga Lubis yang disusun oleh Raja Junjungan pada tahun 1897, ada juga tercatat bahawa nama isteri Namora Pande Bosi ialah Boru Dalimunte Naparila, artinya puteri Dalimnte yang pemalu).
Pada suatu ketika Namora Pande Bosi pergi meyumpit burung ke tengah hutan dan di sana dia bertemu dengan seorang puteri orang bunian dan mengahwininya. Menurut satu cerita, wanita itu adalah orang Lubu (orang asli). Dari perkahwinannya itu, Namora Pande Bosi mendapat dua orang anak lelaki kembar yang masing-masing diberi nama Si Langkitang dan Si Baitang. Ketika kedua anak tersebut masih dalam kandungan, Namora Pande Bosi meninggalkan isterinya dan kembali ke Hatongga.
Menjelang dewasa Si Langkitang dan Si Baitang pergi mencari bapa mereka dan menemukannya di Hatongga. Lalu mereka tinggal bersama keluarga bapa mereka di tempat tersebut.
Tidak beberapa lama kemudian, terjadilah perselisihan antara anak-anak Namora Pande Bosi itu dengan anak-anaknya bersama puteri raja Sigalangan.
Maka Namora Pande Bosi menyuruh anaknya Si Langkitang dan Si Baitang meninggalkan Hatongga. Mereka disuruhnya pergi ke daerah Mandailing dan jika mereka menemukan tempat di mana terdapat dua sungai yang mengalir dari dua arah yang tepat bertentangan (dalam bahasa Mandailing dinamakan muara patontang) di situlah mereka membuka tempat pemukiman baru.
Setelah lama mengembara akhirnya Si Langkitang dan Si Baitang menemukan muara patontang, lantas mereka membuka pemukiman baru di tempat itu.
Tidak lama setelah ditinggalkan anaknya Si Langkitang dan Si Baitang, Namora Pande Bosi meninggal dunia dan dimakamkan di Hatongga. Makam tersebutlah yang akan dipugar. Isterinya Nan Tuan Layan Bolon yang meninggal kemudian dimakamkan di satu tempat yang bernama Hombang Bide, kurang lebih 2km dari Hatongga. Makamnya masih ada di situ sampai sekarang.
Semua keturunan Si Langkitang dan Si Baitang yang menyebar di seluruh tanah Mandailing dan di tempat-tempat lain dikenali sebagai orang-orang Mandailing yang bermarga Lubis.
;Pada tahun 1963, makam Namora Pande Bosi ditemukan di Hatongga, dengan petunjuk dari keturunan Raja Sigalangan. Makam tokoh legendaris yang sangat terkenal itu terletak di tengah persawahan penduduk setempat.
Makam tersebut berada kurang lebih 2km jauhnya dari Jalan Raya Lintas Sumatra yang melalui desa Sigalangan, kurang lebih 14km jauhnya dari kota Padang Sidimpuan (ibu kota Kabupaten Tapanuli Selatan).
Atas usaha sejumlah orang Mandailing bermarga Lubis, kurang lebih 1.6km panjangnya jalan dari desa Sigalangan ke arah makam Namora Pande Bosi sudah dibangunkan sehingga dapat ditempuh dengan kenderaan bermotor (kereta). Tetapi jalan menuju ke makam tersebut, yang panjangnya kurang lebih 232 meter masih harus dibangun supaya dapat dilalui dengan berjalan kaki atau dengan menggunakan kenderaan.
Jika jalan yang panjangnya kurang lebih 232 meter tersebut sudah dibangun, maka para penziarah yang selalu banyak berdatangan mengunjungi Namora Pande Bosi, di antaranya dari Malaysia, akan mudah mendatangi makam yang dimuliakan itu. Menurut rencana jalan yang panjangnya 232 meter itu akan dibangun dengan lebar 3 meter.

Berikut ini diuraikan secara ringkas tiga jenis tari tradisional Mandailig, yaitu Sarama (Sarama Datu dan Sarama babiat), Moncak, dan Tortor.
1.      Sarama (Sarama Datu Dan Sarama Babiat
Dalam upacara ritual seperti paturun sibaso (marsibaso) atau disebut juga pasusur begu, tarian sarama diiringi oleh ensambel musik Gordang Sambilan, sedangkan penarinya satu orang yang dinamakan Sibaso, adalah tokoh Shaman dalam religi lama orang Mandailing yang disebut Si Pelebegu. Di masa lalu, upacara ritual paturun sibaso diselenggarakan manakala pada suatu huta atau banua terjadi musibah besar seperti mewabahnya penyakit kolera, dan musim kemarau atau sebaliknya musim penghujan yang berkepanjangan sehingga mengganggu aktivitas pertanian penduduk setempat, yang pada akhirnya akan menimbulkan kelaparan karena habisnya persediaan padi (beras) sebagai makanan pokok mereka Untuk mengatasi bala na godang (bencana besar) tersebut, mereka meminta pertolongan begu, yaitu roh-roh leluhur, melalui perantaraan sibaso karena menurut keyakinan mereka dahulu hanya sibaso inilah yang dapat berkomunikasi dengan begu. Upacara ritual paturun sibaso dahulu dilaksanakan di alaman bolak (halaman luas) dari Bagas Godang (istana raja), yang dihadiri oleh Raja, Namora Natoras, Si Tuan Najaji (penduduk setempat), dan seorang tokoh supranatural bernama Datu yang sangat besar peranannya, terutama untuk memimpin pelaksanaan upacara-upacara ritual.
Ketika itu, datu dipandang sebagai “gudang ilmu” karena ia memiliki berbagai macam kearifan tradisional (traditional wisdom) yang sangat dibutuhkan untuk kesempurnaan hidup komunitas huta atau banua.
Dalam upacara ritual paturun sibaso disediakan makanan khusus untuk sibaso, yaitu parlaslas, yang diletakkan di atas sebuah nampan antara lain berisi garing (ikan jurung) yang dibakar dan pege (lengkuas), serta ngiro (air nira) di dalam tanduk ni orbo (wadah yang terbuat dari tanduk kerbau). Setelah gordang sambilan dimainkan dengan gondang (repertoar musik) khusus bernama Mamele Begu, sibaso pun menari-nari dan kemudian mengalami kesurupan (trance). Dalam keadaan kesurupan ini, Si Baso meminta makan dan minum.
Setelah makan dan minum, Si Baso kembali menari-nari. Tidak lama kemudian, sang datu menghampiri sibaso untuk memberitahukan adanya suatu peristiwa bala na godang (musibah besar) yang sedang melanda penduduk, dan memohon kepada sibaso agar berkenan menanyakan apa penyebab dan bagaimana solusinya kepada begu karena penduduk sudah tidak mampu lagi untuk mengatasinya. Setelah itu, sibaso memberitahukan apa penyebab dan bagaimana caranya mengatasi musibah besar itu kepada sang datu. Setelah itu, sibaso pun terjatuh, lalu tidak sadarkan diri (pingsan). Beberapa saat kemudian ia pun sadar kembali seperti semula, yakni keadaannya sebelum upacara ritual tersebut dimulai.

2.      Moncak
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhHR1dyMpwpz4-GIpNwO_nW4pOq5R-s427qWo6Yb2FRBJAlLIBgJB9X9tQ_i7R4aJkMpDWLe6-ijuBjyKZ86LhXCcR-Xdog_GZqBETfeQXKfl1S4ougpIhJS6su7JaPiMXCc3x944PaWx8/s320/moncak.jpg
Pencak silat di Mandailing dinamakan Moncak, namun adakalnya disebut juga dengan istilah Cilek yang artinya “silat”. Baik di Mandailing Godang maupun Mandailing Julu cukup banyak perguruan silat. Di daerah Batang Natal (Mandailing Godang) terdapat satu perguruan silat yang cukup terkenal karena guru dan murid-muridnya pemain silat yang tangguh dan hebat dengan jurus-jurus yang mematikan. Mereka dilatih oleh sang guru di suatu tempat bernama Dolok Sigantang. Oleh sebab itulah mereka disebut Parsigantang dan nama jurus-jurus silatnya dinamakan pula Si Gantang.
Sementara di Mandailing Julu pun terdapat banyak perguruan silat. Dua diantaranya yang cukup kesohor adalah perguruan silat yang ada di Saba Garabak (Huta Pungkut Jae) dan Muara Pungkut. Di samping marmoncak (bermain silat) dengan tangan kosong, murid-murid yang belajar pencak silat di Saba Garabak juga menggunakan podang (pedang) dan oris (keris). Sementara perguruan pencak silat yang ada di Muara Pungkut cukup terkenal pula karena para muridnya diajari jurus-jurus silat khusus yang disebut Linto (artinya "lintah"), dimana gerakan-gerakan kaki mereka sewaktu bermain pencak silat mirip seperti lintah (pacet). Selain itu, murid-murid dari kedua perguruan pencak silat tersebut juga mempelajari ilmu kebatinan, yaitu “aji-aji” (jampi-jampi) tertentu, yang "diamalkan" dalam suatu pertandingan atau pertarungan untuk dapat mengalahkan pihak lawan. 

3.      Tortor
Kalau diperhatikan keadaan alam sekitar kawasan Mandailing, di bagian utara terdapat dataran rendah yang cukup luas dan dijadikan areal persawahan oleh penduduk setempat, sedangkan di bagian selatan umumnya daerah perbukitan (dataran tinggi), adalah bagian dari Bukit Barisan yang ada di sepanjang Pulau Sumatera. Di sana sebuah bukit dinamakan tor, dan bukit-bukit itu mereka beri nama, seperti Tor Sijanggut di Huta Pungkut dan Tor Siojo di sebelah barat dari Pasar Kotanopan. Bagian lembah (dataran rendah) dari Tor Siojo tersebut merupakan areal persawahan yang cukup luas dan di daerah-daerah tertentu digunakan sebagai tempat-tempat pemukiman oleh penduduk setempat. Seperti Aek Kapesong, Ranggasoli, Jambur Tarutung, Sindang Laya dan Sawahan, adalah tempat-tempat pemikiman yang tergolong banjar.
Berdasarkan luas dan kepadatan penduduknya, tempat-tempat pemukiman di Mandailing mulai dari yang terkecil disebut pagaran, lebih besar dari pagaran dinamakan banjar, dan yang lebih besar dari banjar dinamakan lumban. Kesemua jenis tempat-tempat pemukiman tersebut terdapat dalam satu kesatuan wilayah yang dinamakan huta atau banua. Di Mandailing, setiap huta memiliki kesatuan wilayahnya sendiri dan memiliki sistem pemerintahan sendiri (otonom) di bawah kepemimpinan Namora Natoras yang dikepalai seorang raja yaitu Raja Pamusuk.  
Sedangkan gabungan dari beberapa huta, yang masing-masing awalnya berasal dari dan direstui pembentukannya oleh huta induk (mother village) dengan suatu “persekutuan hukum” (adattrechts gemeenschap, istilah dalam bahasa Mandailing adalah Janjian). Gabungan dari beberapa huta atau banua (Janjian) ini juga dipimpin oleh Namora Natoras namun dikepalai seorang raja yang bergelar Raja Panusunan Bulung. Di masa lalu, gabungan dari beberapa huta yang dikepalai oleh Raja Panusunan Bulung (Janjian) tersebut, adalah “kerajaan-kerajaan kecil” yang cukup banyak terdapat di Mandailing, baik di kawasan Mandailing Godang maupun Mandailing Julu.

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjlYWzFat5PVqAfvOA80v0V8TPmNSxyNwSlwYiPFjNGGiPt-WGR5Dx-L6s3MSuKhnp2EssUWgYXulYizVBTBCQbgI8z_Se5eh_yzBccYNPrdwYjsW-K6mflwmfGGn0CiySMqBGioOMrPi0/s320/tortor+tamiang.jpg
Suku-bangsa Mandailing memiliki sistem sosial yang dinamakan Dalian Na Tolo, yang menumpukan kehidupannya kepada tiga kelompok kekerabatan yang bersifat fungsional yaitu mora, kahanggi, dan anakboru. Dalam hal ini, mora adalah “pihak yang memberikan anak gadis” dan sebaliknya anakboru adalah “pihak yang menerima anak gadis”, sedangkan kahanggi adalah orang-orang yang bermarga sama (disebut juga sisolkot) karena berasal dari satu ompu persadaan (nenek moyang) yang sama. Seperti marga Nasution memiliki ompu parsadaan bernama Si Baroar, dan Namora Pande Bosi adalah ompu parsadaan dari orang-orang Mandailing yang bermarga Lubis.
Selain memiliki sistem kekerabatan yang terpola dengan menganut penarikan garis keturunan berdasarkan ayah (patrilineal), di dalam masyarakat Mandailing juga terdapat stratifikasi (pelapisan) sosial yang telah berlangsung secara turun-temurun dalam tiga lapisan. Pertama, Namora-mora adalah golongan bangsawan. Kedua, alak na jaji atau si tuan na jaji adalah orang kebanyakan atau rakyat biasa. Ketiga, hatoban atau partangga bulu adalah hamba sahaya. Mereka yang tergolong hatoban disebabkan oleh beberapa hal, antara lain karena tidak mampu membayar utang, sengaja dibeli untuk diperhamba, dan takluk (kalah) dalam peperangan. Namun di beberapa huta dan janjian terdapat satu lapisan lagi yang disebut natoras-toras, adalah pemuka-pemuka masyarakat (kaum cerdik-pandai) yang tidak berstatus sebagai kaum bangsawan (namora-mora), dan bukan pula rakyat biasa (alak na jaji). Kaum bangsawan di Mandailing mudah dikenali karena mereka menyandang gelar Raja, Sutan, Mangaraja, atau Baginda. Di samping itu, tempat tinggal (rumah) mereka disebut bagas na martanduk atau bagas na marbolang karena dihiasi dengan ornamen-ornamen tradisional yang khas, sehingga tampak jelas berbeda dengan rumah-rumah penduduk biasa di suatu huta.
Seni tari yang disebut tortor memiliki keterkaitan yang sangat erat sekali dengan sistem religi kuno orang Mandailing, yaitu Si Pelebegu. Hal ini ditunjukkan dengan adanya satu ungkapan tradisional (istilah), yaitu somba do mulo ni tortor, yang secara harafiah artinya “asal-mula tortor adalah sembah”.
Dalam hal ini, somba (sembah) atau persembahan ditujukan kepada roh-roh leluhur (begu) yang dipercayai memiliki kekuatan gaib dan berpengaruh besar terhadap berbagai aspek kehidupan mereka. Di masa lalu, roh-roh para leluhur (begu) tersebut diyakini ada yang bersemayam di tempat-tempat tertentu di dalam hutan (naborgo-borgo), goa (guo), di gunung, perbukitan (tor), pohon-pohon besar (ayu ara), dan sebagainya. Namun, sistem religi Si Pelebegu ini sekarang tidak banyak lagi yang diketahui oleh orang-orang Mandailing sendiri, terlebih-lebih lagi mengingat sebagian besar orang Mandailing sudah sejak lama menganut agama Islam dan membuang kepercayaan lama tersebut karena bertentangan dengan ajaran-ajaran agama mereka. Begitupun, kepercayaan kuno tersebut masih meninggalkan bekas-bekasnya, seperti adanya istilah Si Pelebegu, ungkapan somba do mulo ni tortor, patung yang terbuat dari batu atau kayu bernama tagor dan sangkalon, repertoar musik dalam ritus pasusur begu bernama gondang mamele begu, dan lain-lain.
Mengapa salah satu tari tradisional mereka ini dinamakan tortor? Jawabanya tidak diketahui secara pasti. Begitu pula kalau perkataan tortor ditinjau dari segi arti harafiahnya.
Sementara perkataan “tortor” pun tidak banyak ditemukan dalam “perbendaharaan kata” bahasa Mandailing. Namun ada yang mengatakan bahwa istilah “tortor” yang digunakan sebagai nama dari salah satu tari tradisional itu diduga berasal dari kata “tor tu tor”, artinya “dari satu bukit ke bukit-bukit yang lainnya”, yang kemudian berubah (disingkat) menjadi  “tortor”. Dalam hal ini, mungkin dapat ditafsirkan dari sudut pandang lain, bukan berdasarkan arti harafiahnya. Karena sebagaimana diketahui bahwa di dataran tinggi Mandailing, terutama di kawasan Mandailing Julu, terdapat banyak tor dan masing-masing memiliki nama sendiri. Kalau diperhatikan istilah “tor tu tor” tersebut, juga dapat mengandung pengertian yang melukiskan suatu keadaan atau hal-hal tertentu, di mana dari bukit yang satu ke bukit-bikit lainnya kelihatan tampak seperti “garis” yang turun-naik, berbentuk sejumlah “segi-tiga” yang berjejer, yang pada dasarnya mirip seperti salah satu gerakan dalam tortor. Sewaktu para penari sedang manortor (menarikan tortor), tubuh mereka tampak seperti “naik-turun”, dengan cara menekuk kaki untuk mengikuti irama gondang (gendang), dan seirama pula dengan gerakan dari kedua belah tangan masing-masing seperti orang yang sedang marsomba (menyembah).

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj0tyH6yzleZTuvHspx8xcYY32rfzFz5BsKDvmpM1XDHgy8MdIWp0mHN3mVgAh0v4jCtmD_t1EZJhkXZT6NnU2C7lu2wFEKtuqOoEOL8Otj7fecuYT4ovjgVfVSUpQV_6TFEaJanaF4rvE/s320/tortor3.jpg   
Dalam setiap kegiatan manortor terdapat dua kelompok yang masing-masing orang berpasangan. Kelompok pertama berjejer di barisan terdepan, sedangkan kelompok kedua berjejer pula tepat di belakang kelompok pertama. Kelompok kedua ini disebut “pangayapi” atau “panyembar”, dan kelompok pertama disebut “na iayapi” atau “na isembar”. Kelompok pertama yang berada di barisan terdepan ini merupakan orang-orang atau kelompok kekerabatan yang dihormati oleh orang-orang yang berada di barisan belakang (kelompok kedua). Sesuai dengan ketentuan adat masyarakat Mandailing, ada beberapa jenis tortor yang didasarkan kepada status atau kedudukan sosial dari orang-orang yang manortor yaitu: (1) Tortor Raja Panulusan Bulung; (2) Tortor Raja-Raja; (3) Tortor Suhut; (4) Tortor Kahanggi Suhut; (5) Tortor Mora; (6) Tortor Anakboru; (7) Tortor Namorapule; dan (8) Tortor Naposo Nauli Bulung.
Pelaksanaan Tortor Mora dalam upacara adat perkawinan (Haroan Boru) misalnya, yang manortor di barisan terdepan (kelompok pertama, na iayapi) adalah orang-orang yang berstatus sebagai Mora dari pihak yang melaksanakan upacara adat perkawinan (disebut Suhut), sedangkan di barisan belakang (kelompok kedua, pangayapi) adalah Suhut yang ketika itu berstatus sebagai Anakboru.

Kalau dalam Tortor Anakboru, di barisan terdepan (na iayapi) adalah orang-orang yang berstatus sebagai Anakboru dalam pelaksaanaan ucapara adat perkawinan tersebut, maka orang-orang yang berada di barisan belakang (pangayapi) adalah “Anakboru ni Anakboru” (Anakboru dari Anakboru itu sendiri) yang disebut Kijang Jorat. Dalam pelaksanaan kedua jenis tortor ini, kesemuanya adalah kaum laki-laki. Namun lain halnya dengan pelaksanaan Tortor Naposo Nauli Bulung, yang di barisan terdepan (na isembar) adalah para anak gadis yang memiliki marga yang sama misalnya Nasution, maka di barisan belakang (pangayapi) adalah para pemuda yang (harus) bermarga lain misalnya Lubis, atau sebaliknya para anak gadis di barisan depan (na isembar) bermarga Nasution, sedangkan dibarisan belakang (panyembar) harus bermarga Lubis, atau marga-marga lain seperti Rangkuti, Pulungan, Matondang, Daulae, dan Batubara. Pokoknya para pemuda dan pemudi yang manortor secara berpasang-pasangan tersebut tidak boleh memiliki marga (clan) yang sama. Idealnya, nauli bulung (anak gadis) sebagai pasangan naposo bulung (pemuda) adalah boru tulang yaitu anak gadis dari mora (calon mertua) si pemuda.
Gerakan kaki antara kelompok kedua (pangayapi) dan kelompok pertama (na iayapi) tampak sangat jelas berbeda ketika manortor. Kelompok pertama (barisan terdepan) bergerak ke arah kanan atau kiri dengan menggerakkan ujung jari-jari kaki yang disebut manyerser, sedangkan kelompok kedua (barisan belakang) bergerak dengan cara melangkah yang disebut mangalangka. Kalau kelompok pertama (na isembar) bersikap seperti orang yang sedang menyembah (marsomba) ketika manortor, sementara masing-masing orang dari kelompok kedua (panyembar) bersikap seperti alihi (burung elang) yang seakan-akan sedang “melindungi” (memuliakan) pasangannya yang bergerak ke arah samping kiri ataupun kanan, di mana kedua belah tangannya “terbuka di depan dada” yang tingginya di bawah bahu, yang terkadang “oleng” ke kiri dan ke kanan untuk mengikuti arah gerakan kelompok pertama (na isembar). Dalam kegiatan manortor ini, para panortor terlebih dahulu manortor di tempat dengan menghadap ke arah depan. Setelah itu, mereka bergerak ke arah samping kanan, lalu kembali manortor ke arah depan. Kemudian bergerak ke arah samping kiri, dan kembali lagi ke formasi awal, yaitu manortor di tempat dengan menghadap ke arah depan. Biasanya, gerakan manortor ke arah kanan dan kiri tersebut dilakukan sebanyak tiga kali, dan setelah itu mereka kemudian membentuk formasi baru yaitu “melingkar” dan beberapa saat kemudian kembali lagi ke formasi semula, lalu bergerak lagi ke arah samping kanan dan kiri. Selanjutnya kembali lagi ke formasi awal, dan akhirnya kegiatan manortor pun usai.

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhux27RVmBdxMYkRCSUH2cDzJGurFTu0SoO-FD0P2RFM1EJhOFHyUCFzwUO3D4EOm1x2aQMUGUocVrYH0i8153jy8HrBWzAYvdXpYtvuMEkCg79oK4CPCr7L18fIRWczsBKVhOYiY6d27o/s320/tortor1.jpg   
Kegiatan manortor dalam Orja Siriaon (upacara adat perkawinan) dan Orja Siluluton (upacara adat kematian) menggunakan dua jenis gondang (repertoar musik) yang berbeda, yaitu gondang sabe-sabe yang bertempo cepat (isar) digunakan sebagai “pembuka” kegiatan manortor, dan gondang tortor yang bertempo lambat (erer) digunakan untuk mengiringi kegiatan manortor selanjutnya. Ketika gondang sabe-sabe dimainkan, di galanggang panortoran (tempat khusus untuk manortor) hadir seorang laki-laki dengan gerakan sarama (manyarama) mendekati para panortor dengan membawa sehelai “kait adat” (Abit Sende atau Patani) yang direntangkan pada kedua belah tangannya. Setelah berada di dekat panortor, barulah “kain adat” tersebut diletakkannya pada bagian pundak dari salah seorang panortor. Hal ini dilakukannya kepada semua orang yang akan manortor. Setelah selesai untuk itu, barulah gondang tortor dimainkan, dan tindak lama kemudian kegiatan manortor pun dimulai.


Sewaktu manortor ini berlangsung, seorang laki-laki yang bertindak sebagai Panjeir menyanyikan sebuah lagu khusus untuk tortor, yaitu Jeir. Dan pada akhir kegiatan manortor, para panortor selalu meneriakkan kata Horas, yang kemudian disambut pula oleh orang-orang yang hadir berkumpul di situ dengan teriakan kata yang sama.
 
BAB V
ETNIS PESISIR
Etnis Batak Pesisir disebut juga sebagai etnis Pasisi atau etnis Pesisi, adalah salah satu etnis yang terdapat di kota Sibolga dan Tapanuli Tengah. Masyarakat etnis Batak Pesisir ini, hidup di sepanjang pesisir pantai sebelah barat Sibolga dan Tapanuli Tengah.
Etnis Batak Pesisir ini sebenarnya berawal dari suku Batak Toba, Mandailing dan Angkola yang telah menetap di Sibolga dan Tapanuli Tengah, sejak beratus-ratus tahun yang lalu. Setelah sekian lama terjadi pembauran dari ketiga suku Batak ini, maka datanglah imigran lain yang berasal dari Minangkabau dan Melayu dari pesisir Timur Sumatra, lalu terjadi perkawinan-campur di antara ke 5 suku bangsa ini.  Dari percampuran ke 5 suku bangsa ini lah terbentuk suatu komunitas yang disebut sebagai suku Pesisir. Pada awalnya mereka berbicara menggunakan bahasa Batak, tetapi setelah berabad-abad tercampur dengan budaya Minang dan Melayu, maka akhirnya bahasa merekapun berubah dan berganti menjadi bahasa Pesisir, seperti yang mereka ucapkan sehari-hari saat ini.


Adat dan kebudayaan yang diamalkan oleh suku Batak Pesisir ini, lebih banyak dipengaruh budaya Melayu. Pada awalnya suku Batak Pesisir ini lebih suka kalau disebut sebagai orang Melayu Pesisir saja, tetapi belakangan ini, tidak sedikit dari mereka yang tidak menolak disebut sebagai suku Batak Pesisir. Bahkan belakangan ini sebagian dari masyarakat suku Pesisir ini mulai mencantumkan kembali marga-marga lamanya seperti Pohan, Siregar, Sitompul, Tanjung, Pasaribu dan lain-lain. (salah satu putra dari suku Batak Pesisir ini adalah Pak Akbar Tanjung).

Bahasa Pesisir adalah bahasa yang dipergunakan masyarakat Batak Pesisir di Tapanuli Tengah dan Sibolga, yang menjadi bahasa percakapan dalam pergaulan sehari-hari. Bahasa Pesisir ini agak unik, karena bahasa Pesisir ini adalah hasil gabungan dari 3 bahasa, yaitu dari bahasa Batak Mandailing, Minangkabau dan Melayu. Jadi suku Pesisir ini sebenarnya adalah orang Batak yang berbahasa Melayu. Hal ini mirip seperti masyarakat Batak di Rokan Hulu provinsi Riau atau masyarakat Rao di kabupaten Pasaman Sumatra Barat.
Keberadaan suku Pesisir ini, mungkin belum banyak dikenal oleh masyarakat lain di pulau Jawa
atau daerah-daerah lain di luar provinsi Sumatra Utara. Tetapi sebenarnya, suku Pesisir ini telah eksis selama beratus-ratus tahun di wilayah Sibolga dan Tapanuli Tengah, dan berdiri sejajar dengan etnis-etnis lain seperti suku Toba, Mandailing, Angkola, Minangkabau dan Melayu.

Kehidupan masyarakat Pesisir pada umumnya adalah sebagai nelayan. Tetapi tidak sedikit yang telah bekerja di sektor pemerintahan dan swasta. Selain itu pada sektor pendidikan juga banyak yang telah berhasil mencapai Universitas. Kehidupan lain yang dijalani oleh masyarakat suku Pesisir ini, adalah sebagai guru, pedagang, wiraswasta dan lain-lain.

Berikut beberapa etnis Melayu Pesisir Timur.
  • Etnis Melayu Pesisir Langkat,
    berbaur dengan suku Karo, Malaysia dan Aceh. Kebanyakan suku ini terdapat di kecamatan Stabat dan Tanjung Pura di kabupaten Langkat.
    Saat ini suku ini tergabung dalam kelompok suku Melayu Langkat.
    Berbicara menggunakan bahasa Melayu dialek "e"
  • Etnis Melayu Pesisir Deli,
    berbaur dengan suku Karo, Toba, Arab, Malaysia. Kebanyakan suku ini terdapat di kabupaten Deli Serdang.
    Saat ini suku ini tergabung dalam kelompok suku Melayu Deli.
    Berbicara menggunakan bahasa Melayu, yang mirip dengan bahasa Indonesia, hanya lebih cepat dan singkat.
  • Etnis Melayu Pesisir Serdang,
    berbaur dengan suku Toba dan Minang. Kebanyakan suku ini terdapat di kecamatan Perbaungan dan Pantai Cermin.
    Berbicara menggunakan bahasa Melayu dialek "o".
  • Etnis Melayu Pesisir Tebing Tinggi,
    berbaur dengan suku Simalungun, Karo, Toba dan Minang, kebanyakan berada di wilayah Tebing Tinggi.
    Berbicara menggunakan bahasa Melayu dialek "o"
  • Etnis Melayu Pesisir Asahan,
    berbaur dengan suku-suku Toba, Mandailing, Minang. Kebanyakan suku ini terdapat di kotamadya Tanjung Balai, Kisaran, desa Simpang Tiga kecamatan Labuhan Ruku, desa Lima Laras dan desa Ujung Kubu kecamatan Tanjung Tiram.
    Berbicara menggunakan bahasa Melayu dialek "o".
  • Etnis Melayu Pesisir Labuhan Batu,
    berbaur dengan suku-suku Toba, Mandailing, Lubu, Rao, Minang dan Riau. Kebanyakan suku ini terdapat di daerah Rantau Prapat, Tanjung Medan, Kota Pinang dan Negeri Lama kecamatan Bilah.
    Berbicara menggunakan bahasa Melayu dialek "o", tapi dengan ragam bahasa yang agak berbeda.
Etnis Batak Pesisir ini memiliki beberapa kesenian budaya yang cukup populer di kalangan masyarakat di Sumatra Utara, yaitu:
  • Dampeng
  • Tari Payung
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi6WVGRzFhyphenhyphen216haK_BZTyAp-twlBm2bci0W9xVBAJ-BE2DxJ9BBORphTj9L-W6ttPqnYlK6PGyy3sP6kdByNl80sjD31v4nfi5AY-4NgAB0TQ3rKD7IR8z5Lb9E9PxjxdsTZr8-omSVH-S/s1600/batak+singkil+-+dampeng.jpghttps://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgk5PGe-Ox9NIrDq8inXeQo_jObrvPWQSD9FqTOjmEwsk8xLnLC8QE4a3w6V9OdrfwhCKdFKcTmKWP0eneZcBzyAajyejotnSTeojkudTNwoXz3looPYT5O_HS1YQtUk94MYPxxuQLfPzbi/s1600/Tari+Pesisir+Payung.jpg


BAB VI
ETNIS SIMALUNGUN
Etnis Simalungun adalah salah etnis yang berada di provinsi Sumatera Utara, Indonesia, yang menetap di Kabupaten Simalungun dan sekitarnya. Beberapa sumber menyatakan bahwa leluhur etnis ini berasal dari daerah India Selatan. Sepanjang sejarah etnis ini terbagi ke dalam beberapa kerajaan. Marga asli penduduk Simalungun adalah Damanik, dan 3 marga pendatang yaitu, Saragih, Sinaga, dan Purba. Kemudian marga marga (nama keluarga) tersebut menjadi 4 marga besar di Simalungun.
Orang Batak menyebut suku ini sebagai suku "Si Balungu" dari legenda hantu yang menimbulkan wabah penyakit di daerah tersebut, sedangkan orang Karo menyebutnya Timur karena bertempat di sebelah timur mereka

Asal-usul
Terdapat berbagai sumber mengenai asal usul Etnis Simalungun, tetapi sebagian besar menceritakan bahwa nenek moyang etnis Simalungun berasal dari luar Indonesia.
Kedatangan ini terbagi dalam 2 gelombang :
1.      Gelombang pertama (Simalungun Proto ), diperkirakan datang dari Nagore (India Selatan) dan pegunungan Assam (India Timur) di sekitar abad ke-5, menyusuri Myanmar, ke Siam dan Malaka untuk selanjutnya menyeberang ke Sumatera Timur dan mendirikan kerajaan Nagur dari Raja dinasti Damanik.
2.      Gelombang kedua (Simalungun Deutero), datang dari suku-suku di sekitar Simalungun yang bertetangga dengan suku asli Simalungun.
Pada gelombang Proto Simalungun di atas, Tuan Taralamsyah Saragih menceritakan bahwa rombongan yang terdiri dari keturunan dari 4 Raja-raja besar dari Siam dan India ini bergerak dari Sumatera Timur ke daerah Aceh, Langkat, daerah Bangun Purba, hingga ke Bandar Kalifah sampai Batubara.
Kemudian mereka didesak oleh suku setempat hingga bergerak ke daerah pinggiran danau Toba dan Samosir.
Pustaha Parpandanan Na Bolag (pustaka Simalungun kuno) mengisahkan bahwa Parpandanan Na Bolag (cikal bakal daerah Simalungun) merupakan kerajaan tertua di Sumatera Timur yang wilayahnya bermula dari Jayu (pesisir Selat Malaka) hingga ke Toba. Sebagian sumber lain menyebutkan bahwa wilayahnya meliputi Gayo dan Alas di Aceh hingga perbatasan sungai Rokan di Riau.
Kini, di Kabupaten Simalungun sendiri, Akibat derasnya imigrasi, suku Simalungun hanya menjadi mayoritas di daerah Simalungun Atas.
Sistem mata pencaharian orang Simalungun yaitu bercocok tanam dengan padi dan jagung, karena padi adalah makanan pokok sehari-hari dan jagung adalah makanan tambahan jika hasil padi tidak mencukupi. Jual-beli diadakan dengan barter, bahasa yang dipakai adalah bahasa dialek. "Marga" memegang peranan penting dalam soal adat Simalungun. Jika dibandingkan dengan keadaan Simalungun dengan suku Batak yang lainnya sudah jauh berbeda.

A. Kesenian/Kebudayaan
Toping-toping dan tangis tangis adalah jenis tarian tradisional dari suku Batak Simalungun yang dilaksanakan pada acara duka cita di kalangan keluarga Kerajaan. Toping-toping atau huda-huda ini terdiri dari 3 (tiga)m bagian, bagian pertama yaitu huda-huda yang dibuat dari kain dan memiliki paruh burung enggang yang menyerupai kepala burung enggang yang konon menurut cerita orang tua bahwa burung enggang inilah yang akan membawa roh yang telah meninggal untuk menghadap yang kuasa, bagian yang kedua adalah manusia memakai topeng yang disebut topeng dalahi dan topeng ini dipakai oleh kaum laki-laki dan wajah topeng juga menyerupai wajah laki-laki dan kemudia topeng daboru dan yang memakai topeng ini adalh perempuan karena topeng ini menyerupai wajah perempuan (daboru). Pada tanggal 06 s/d 08 Agustus 2009 tepatnya di Kota Perdagangan Pematang Siantar diadakan acara yang disebut dengan Pasta Rondang Bintang, acara ini dilaksanakan secara rutin setiap tahunnya. Dalam acara ini digelar berbagai kegiatan seni dan budaya diantaranya berbagai jenias tari daerah Simalungun, Festival Lagu daerah, permainan tradisional (Jelengkat atau enggrang) dan Festival Toping-toping dan tangis-tangis.
Festival toping-toping dan tangis-tangis ini diadakan pada acara Pesta Rondang Bintang dengan tujuan untuk mengangkat dan mengembangkan kembali peranan toping-toping atau tangis-tangis yang biasanya dilaksanakan pada saat acara duka cita di daerah Simalungun. Pada Zaman dahulu penampilan huda-huda atau toping-toping dan tangis-tangis hanya dilaksanakan dikalangan keluarga kerajaan saja dan karena sekarang keberadaannya sudah tidak ada lagi, maka akan diaktifkan kembali dalam kehidupan sehari hari. Dari sekian lama Pesta Rondang Bintang dilaksanakan baru kali ini diadakan festival toping-toping dan tangis-tangis karena dari pengamatan dan pantauan dilapangan sudah sangat jarang dan biasanya acara ini juga dilaksanakan jika orang yang punya hajatan adalah orang yang sudah saur matua atau orang yang sudah lengkap anak, cucu dari masa tuanya.










Dengan keragaman budaya yang ada di Indonesia, tentanya kebudayaan ini sangatlah penting arti dan manfaatnya dimasa mendatang, oleh sebab itu diharapkan hendaklah kita dapat melestarikan budaya peninggalan nenek moyang kita yang diwariskan kepada kita dan anak cucu kita. Kalau ditinjau dari segi jenis tarian dan kebudayaan, tari toping-toping dan tangis-tangis ini tidak dapat kita jumpai dimanapun terkecuali di daerah Simalungun dan ini akan menjadi aset atau kekayaan budaya daerah Simalungun khususnya dan Sumatera Utara juga Indonesia pada umumnya, oleh sebab itu marilah kita menjaga dan mengembangkan kekayaan budaya yang kita miliki.

Tangis-tangis (mangandung/menangisi orang yang telah maninggal)topingtoping dan tangistangisPeralatan musik pada acara pestaTari Toping-toping


BAB VII
ETNIS NIAS
Etnis Nias adalah kelompok masyarakat yang hidup di pulau Nias. Dalam bahasa aslinya, orang Nias menamakan diri mereka "Ono Niha" (Ono = anak/keturunan; Niha = manusia) dan pulau Nias sebagai "Tanö Niha" (Tanö = tanah).
Masyarakat Nias adalah masyarakat yang hidup dalam lingkungan adat dan kebudayaan yang masih tinggi. Hukum adat Nias secara umum disebut fondrakö yang mengatur segala segi kehidupan mulai dari kelahiran sampai kematian. Masyarakat Nias kuno hidup dalam budaya megalitik dibuktikan oleh peninggalan sejarah berupa ukiran pada batu-batu besar yang masih ditemukan di wilayah pedalaman pulau ini sampai sekarang. Kasta : Suku Nias mengenal sistem kasta(12 tingkatan Kasta). Dimana tingkatan kasta yang tertinggi adalah "Balugu". Untuk mencapai tingkatan ini seseorang harus mampu melakukan pesta besar dengan mengundang ribuan orang dan menyembelih ribuan ekor.

Makanan Khas

  • Gowi Nihandro (Gowi Nitutu ; Ubi tumbuk)
  • Harinake (daging babi cincang dengan cacahan yang tipis dan kecil-kecil)
  • Godo-godo (ubi / singkong yang diparut, dibentuk bulat-bulat kemudian direbus setelah matang di taburi dengan kelapa yang sudah di parut)
  • Köfö-köfö(daging ikan yang dihancurkan, dibentuk bulat dan dijemur/dikeringkan/diasap)
  • Ni'owuru (daging babi yang sengaja diasinkan agar bisa bertahan lama)
  • Rakigae (pisang goreng)
  • Tamböyö (ketupat)
  • löma (beras ketan yang dimasak dengan menggunakan buku bambu)
  • gae nibogö (pisang bakar)
  • Kazimone (terbuat dari sagu)
  • Wawayasö (nasi pulut)
  • Gulo-Gulo Farö (manisan dari hasil sulingan santan kelapa)
  • Bato (daging kepiting yang dipadatkan dalam bentuk bulat agar dapat bertahan lama; terdapat di Kepulauan Hinako)
  • Nami (telur kepiting dapat berupa nami segar atau yang telah diasinkan agar awet, dapat bertahan hingga berbulan-bulan tergantung kadar garam yang ditambahkan)

Peralatan Rumah Tangga di Nias

  • Bowoa tanö - periuk dari tanah liat, alat masak tradisional
  • Figa lae - daun pisang yang dipakai untuk menjadi alas makanan
  • Halu (alat menumbuk padi) - Alu
  • Lösu - lesung
  • Gala - dari kayu seperti talam
  • Sole mbanio - tempat minum dari tempurung
  • Katidi - anyaman dari bambu
  • Niru (Alat untuk menapik beras untuk memisahkan dedak)

Amaedola Nias

  • Hulö ni femanga mao, ihene zinga (Bagaikan kucing yang sedang makan di mulai dari pinggiran) Artinya: Dalam melakukan sesuatu hal, di mulai dengan hal yang mudah ke yang sulit.
  • Hulö la'ewa nidanö ba ifuli fahalö-halö (Bagaikan air di potong-potong tetap bersatu kembali) Artinya: Sesuatu yang tidak bisa untuk di pisahkan.
  • Abakha zokho safuria moroi ba zi oföna (Lebih dalam luka terakhir dari pada luka yang pertama) Artinya: Sesuatu tindakan akan sangat terasa pada akhirnya.

Minuman

  • Tuo nifarö (tuak) adalah minuman yang berasal dari air sadapan pohon nira (dalam bahasa Nias "Pohon Nira" = "töla nakhe" dan pohon kelapa (dalam bahasa Nias "Pohon Kelapa" = "töla nohi") yang telah diolah dengan cara penyulingan. Umumnya Tuo nifarö mempunyai beberapa tingkatan (bisa sampai 3 (tiga) tingkatan kadar alkohol). Dimana Tuo nifarö No. 1 bisa mencapai kadar alkohol 43%.
  • Tuo mbanua (minuman tuak mentah yang berasal dari air sadapan pohon kelapa atau pohon nira yang telah diberi 'laru' berupa akar-akar tumbuhan tertentu untuk memberikan kadar alkohol)
Budaya Nias
·         Fahombo (Lompat Batu)
·         Fatele/Foluaya(Tari Perang)
·         Maena (Tari berkoelompok)
·         Tari Moyo (Tari Elang)
·         Tari Mogaele
·         Fangowai (Tari sekapur sirih/penyambutan tamu)
·         Fame Ono nihalõ (Pernikahan)
·         Omo Hada (Rumah Adat)

Fame'e Tõi Nono Nihalõ (Pemberian nama bagi perempuan yang sudah menikah)
Fasösö Lewuö (Menggunakan adu bambu untuk menguji kekuatan pemuda Nias)
Dalam budaya Ono Niha (Nias) terdapat cita-cita atau tujuan rohani hidup bersama yang termakna dalam salam “Ya’ahowu” (dalam terjemahan bebas bahasa Indonesia “semoga diberkati”). Dari arti Ya’ahowu tersebut terkandung makna: memperhatikan kebahagiaan orang lain dan diharapkan diberkati oleh Yang Lebih Kuasa. Dengan kata lain Ya’ahowu menampilkan sikap-sikap: perhatian, tanggungjawab, rasa hormat, dan pengetahuan. Jika seseorang bersikap demikian, berarti orang tersebut memperhatikan perkembangan dan kebahagiaan orang lain : tidak hanya menonton, tanggap, dan bertanggungjawab akan kebutuhan orang lain (yang diucapkan : Selamat – Ya’ahowu), termasuk yang tidak terungkap, serta menghormatinya sebagai sesama manusia sebagaimana adanya. Jadi makna yang terkandung dalam “Ya’ahowu” tidak lain adalah persaudaraan (dalam damai) yang sungguh dibutuhkan sebagai wahana kebersamaan dalam pembangunan untuk pengembangan hidup bersama.

Bab VIII
Etnis Karo
Karo mendiami Dataran Tinggi Karo, Sumatera Utara, Indonesia. Etnis ini merupakan salah satu etnis terbesar dalam Sumatera Utara. Nama etnis ini dijadikan salah satu nama Kabupaten di salah satu wilayah yang mereka diami (dataran tinggi Karo) yaitu Tanah Karo. Suku ini memiliki bahasa sendiri yang disebut Bahasa Karo atau Cakap Karo. Pakaian adat etnis Karo didominasi dengan warna merah serta hitam dan penuh dengan perhiasan emas.
Karo dianggap sebagai bagian dari suku kekerabatan Batak, seperti kekerabatan Batak Toba, Batak Mandailing, Batak Simalungun, Batak Pak-Pak atau Dairi, dan Batak Karo. Namun kebanyakan masyarakat suku Karo menggap bahwa mereka bukanlah bagian dari kekerabatan Batak tersebut, tetapi Karo adalah suku yang berdiri sendiri.
Marga
Suku Karo memiliki sistem kemasyarakatan atau adat yang dikenal dengan nama merga silima, tutur siwaluh, dan rakut sitelu. Masyarakat Karo mempunyai sistem marga (klan). Marga atau dalam bahasa Karo disebut merga tersebut disebut untuk laki-laki, sedangkan untuk perempuan yang disebut beru. Merga atau beru ini disandang di belakang nama seseorang. Merga dalam masyarakat Karo terdiri dari lima kelompok, yang disebut dengan merga silima, yang berarti marga yang lima. Kelima merga tersebut adalah:
1. Karo-karo
2. Tarigan
3. Ginting
4. Sembiring
5. Perangin-angin

Kelima merga ini masih mempunyai submerga masing-masing. Setiap orang Karo mempunyai salah satu dari merga tersebut. Merga diperoleh secara otomatis dari ayah. Merga ayah juga merga anak. Orang yang mempunyai merga atau beru yang sama, dianggap bersaudara dalam arti mempunyai nenek moyang yang sama. Kalau laki-laki bermarga sama, maka mereka disebut (b)ersenina, demikian juga antara perempuan dengan perempuan yang mempunyai beru sama, maka mereka disebut juga (b)ersenina. Namun antara seorang laki-laki dengan perempuan yang bermerga sama, mereka disebut erturang, sehingga dilarang melakukan perkawinan, kecuali pada merga Sembiring dan Peranginangin ada yang dapat menikah diantara mereka.

Aksara Karo
Aksara Karo ini adalah aksara kuno yang dipergunakan oleh masyarakat Karo, akan tetapi pada saat ini penggunaannya sangat terbatas sekali bahkan hampir tidak pernah digunakan lagi.guna melengkapi cara penulisan perlu dilengkapi dengan anak huruf seperti o= ketolongen, x= sikurun, ketelengen dan pemantek
Tari tradisional
Suku Karo mempunyai beberapa tari tradisional, di antaranya:
• Piso Surit
• Lima Serangkai
• Terang Bulan

Kegiatan Budaya
• Merdang merdem = "kerja tahun" yang disertai "Gendang guro-guro aron".
• Mahpah = "kerja tahun" yang disertai "Gendang guro-guro aron".
• Mengket Rumah Mbaru - Pesta memasuki rumah (adat - ibadat) baru.
• Mbesur-mbesuri - "Ngerires" - membuat lemang waktu padi mulai bunting.
• Ndilo Udan - memanggil hujan.




• Rebu-rebu - mirip pesta "kerja tahun".
• Ngumbung - hari jeda "aron" (kumpulan pekerja di desa).
• Erpangir Ku Lau - Buang Sial.
• Raleng Tendi - "Ngicik Tendi" = memanggil jiwa setelah seseorang kurang tenang karena terkejut secara suatu kejadian yang tidak disangka-sangka.
• Motong Rambai - Pesta kecil keluarga - handai taulan untuk memanggkas habis rambut bayi (balita) yang terjalin dan tidak rapi.
• Ngaloken Cincin Upah Tendi - Upacara keluarga pemberian cincin permintaan dari keponakan (dari Mama ke Bere-bere atau dari Bibi ke Permain).
• Ngaloken Rawit - Upacara keluarga pemberian pisau (tumbuk lada) atau belati atau celurit kecil yang berupa permintaan dari keponakan (dari Mama ke Bere-bere) - keponakan laki-laki.

http://1.bp.blogspot.com/-cmG-ik2qgs0/T3xoYF_eJVI/AAAAAAAAABc/RpX53nhRKL8/s758/26522_341864244381_45072959381_3388948_919319_n.jpg


MAKALAH
 ETNIS SUMATERA UTARA
D

I

S

U

S

U

N
OLEH :
NAMA : NANI CHAIRANI LESTARI LUBIS
GURU PEMBIMBING : REFELINA PUSPITA, Spd
NIP : 196812111996032001
SMA NEGERI 1 PLUS MATAULI PANDAN


Kata Pengantar
Puji syukur kehadirat Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa. Bahwa saya masih diberikan nikmat sehat, sehingga saya dapat menyelesaikan makalah ini yang membahas tentang “Etnis di Sumatera Utara”
Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah, selain untuk memenuhi tugas, juga untuk berbagi referensi tentang etnis-etnis di Sumatera Utara.
Saya mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah banyak membantu dan membimbing, sehingga saya dapat menyelesaikan makalah ini dengan lancar.
            Saya menyadari bahwa, makalah ini belum sempurna, maka dari itu kritik dan saran yang membangun sangat saya harapkan untuk perbaikan pembuatan makalah selanjutnya. Mudah-mudahan makalah sederhana ini bermanfaat bagi para pembaca. Terimaksih

Juli 2014
Nani Chairani Lestari Lubis


























PENDAHULUAN
Sebelum kita membahas tentang etnis di SumateraUtara, ada baiknya kita mengetahui sedikit tentang Provinsi Sumatera Utara secara keseluruhan. Berikut ini data mengenai Provinsi Sumatera Utara.
Sumatera Utara
—  Provinsi  —
http://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/thumb/4/42/Maimun_Castle_Medan_Indonesia.JPG/250px-Maimun_Castle_Medan_Indonesia.JPG
Bendera Sumatera Utara
Bendera
http://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/thumb/9/9b/Locator_north_sumatra.png/250px-Locator_north_sumatra.png
Peta lokasi Sumatera Utara
Hari jadi
Dasar hukum
UU 10/1948, UU 24/1956
Ibu kota
0º 50' LS - 4º 40' LU
96º 40' - 100º 50'
BT
Pemerintahan
 • Gubernur
H. Gatot Pujo Nugroho, A.Md, S.T, M.Si
Ir. H. Tengku Erry Nuradi, M.Si
Luas
 • Total
72.981.23 km2 (28,178.21 mil²)
Populasi (2010)[1]
 • Total
12.982.204
 • Kepadatan
180/km2 (460/sq mi)
Demografi
 • Suku bangsa
Batak (41,95%), Jawa (32.62%) Nias (6.36%), Melayu (4,92%), Tionghoa (3,07%), Minangkabau (2,66%), Banjar (0.97%), Lain-lain (7,45%) [2]
 • Agama
Islam (66,09%),Kristen (Protestan/Katolik) (31%),Buddha (2,34%),Hindu (0,11%), Parmalim, Konghucu[3]
 • Bahasa
25
8
325
5.456
Situs web

Provinsi Sumatera Utara dihuni oleh berbagai ragam etnis / suku bangsa, baik sebagai etnis asli, maupun etnis pendatang. Etnis asli Sumatera Utara terdiri dari 8 (delapa) etnis yaitu:

·         Melayu
·         Pakpak
·         Batak toba
·         Batak angkola / Mandailing
·         Pesisir
·         Simalungun
·         Nias.

Sedangkan etnis pendatang terdiri dari etnis :
·         Jawa
·         India
·         Padang
·         Arab
·         Aceh
·         Cloud Callout: Suku--bangsa kesatuan sosial yg dapat dibedakan dr kesatuan sosial lain berdasarkan kesadaran akan identitas perbedaan kebudayaan, khususnya bahasa; 

Tionghoa





Cloud Callout: “et•nik /étnik/ a Antr bertalian dng kelompok sosial dl sistem sosial atau kebudayaan yg mempunyai arti atau kedudukan tertentu krn keturunan, adat, agama, bahasa, dsb; etnis”

 








BAB I
ETNIS MELAYU
Suku Melayu adalah nama yang menunjuk pada suatu kelompok yang ciri utamanya adalah penuturan bahasa Melayu. Suku Melayu bermukim di sebagian besar Malaysia, pesisir timur Sumatera, sekeliling pesisir Kalimantan, Thailand Selatan, serta pulau-pulau kecil yang terbentang sepanjang Selat Malaka dan Selat Karimata. Di Indonesia, jumlah suku Melayu sekitar 15% dari seluruh populasi, yang sebagian besar mendiami propinsi Sumatera Utara,RiauKepulauan RiauJambiSumatera SelatanBangka Belitung, danKalimantan Barat.[9]
Meskipun begitu, banyak pula masyarakat MinangkabauMandailing, danDayak yang berpindah ke wilayah pesisir timur Sumatra dan pantai barat Kalimantan, mengaku sebagai orang Melayu. Selain di Nusantara, suku Melayu juga terdapat di Sri LankaKepulauan Cocos (Keeling) (Cocos Malays), danAfrika Selatan (Cape Malays).

Peta Persebaran Masyarakat Etnik Melayu

A.Kesenian
Dalam masyarakat Melayu, seni dapat dibagi menjadi dua: seni persembahan (tarian, nyanyian, persembahan pentas seperti makyong, wayang kulit, ghazal, hadrah, kuda kepang) dan seni tampak (seni ukir, seni bina, seni hias, pertukangan tangan, tenunan, anyaman dll). Permainan tradisi seperti gasing, wau, congkak, juga termasuk dalam kategori seni persembahan. Kegiatan seni Melayu mempunyai identitas tersendiri yang juga memperlihatkan gabungan berbaga-bagai unsur asli dan luar

  • Tarian
Tari Persembahan adat Melayu
Tari Persembahan adalah Sebuah tari Melayu yang khusus untuk menyambut tamu-tamu, Tak lengkap rasanya bila suatu acara khusus tidak menampilkan tari persembahan ini.
Tari persembahan bisa dibilang tari sekapur sirih. bila rentak irama gendangnya dipercepat,ini  menandakan acara pemberian sirih kepada tamu undangan dimulai, Begitulah sampai para penari beranjak pergi.
  • Nyanyian
Kumpulan Lagu-lagu daerah RiauLagu Daerah Riau – Riau sebagai daerah kaya budaya dan seni sudah pasti memiliki lagu daerah sendiri. Ada banyak lagu-lagu daerah Riau, mulai dari lagu berbahasa Melayu,
Kebanyakan lagu daerah Riau jarang diputar radio-radio kota Pekanbaru, kecuali lagu-lagu sudah sangat populer seperti Lancang Kuning yang memang maestronya lagu daerah Riau.

Lagu Seroja
Lagu Tuanku Tambusai
Lagu Lancang Kuning
Lagu Tanjung Katung
Lagu Selayang Pandang
Lagu Hangtuah
Lagu Bunga Tanjung
Lagu Soleram
Kutang Barendo, Lagu daerah Kampar
Moncik Badasi, Lagu daerah Kampar
Randai Lomak Diurang Katuju di Awak, Lagu daerah Taluk Kuantan, Kuansing
  • Musik tradisional
Gambus Melayu Riau, Seni Musik Tradisional
Gambus Melayu Riau, Seni Musik TradisionalGambus Melayu Riau adalah salah satu jenis instrumental musik tradisional yang terdapat hampir di seluruh kawasan Melayu.Pergeseran nilai spiritual dan kebersamaan dalam masyarakat Melayu di Pekanbaru yang terjadi pada waktu ke waktu menyebabkan perubahan pandangan masyarakat terhadap kesenian Gambus dan Zapin.
kompang              talempong
  • Upacara tradisional
Para ibu-ibu dan tetangga dekat sedang  memasak untuk acara Resepsi Pernikahan, biasanya diadakan di rumah mempelai perempuan.
Di Kabupaten pekanbaru dari zaman ninik mamak terdahulu, apa bila ada saudara sekampung yang hendak menikah, maka keluarga dari mempelai yang hendak menikah harus memanggil para tetangga kampung untuk membantu kegiatan memasak yang dilakukan 3 hari ataupun sehari sebelum acara resepsi pernikahan berlangsung (hitungan ini tergantung dari keluarga mempelai), karena masyarakat kampar sejak dulu dikenal dengan cara bergotong royong ini pula, maka di kampar jarang sekali yang melakukan “catering” untuk acara pernikahan.
- Acara Shalawatan (Badiqiu)
Badiqiu merupakan suatu acara Budaya sakral yang dilakukan oleh para tokoh-tokoh dan sesepuh adat pada malam hari sebelum acara resepsi pernikahan dilakukan, agar acara pernikahan ini berlangsung dengan hikmat dan keluarga yang baru menjadi keluarga yang utuh hingga akhir hayat.
- Acara Pengantaran Pihak Lelaki ke rumah Pihak Perempuan (Ba’aghak)
Dengan dentuman Rebana dari para tokoh adat ini, menambah kehikmatan nilai budaya yang sakral pada acara pengantaran Pihak Lelaki ke rumah Pihak Perempuan, biasanya shalawatan selalu di kumandang kan hingga akhirnya Pihak Lelaki sampai kerumah Pihak Perempuan.
Akhirnya Mempelai Lelaki sampai juga ke rumah Mempelai Perempuan, dan mereka langsung dipertemukan kemudian di persandingkan.
  • Cerita rakyat
Berikut kumpulan cerita rakyat dari berbagai daerah di Riau diantara, Dumai, Indragiri Hilir dan Kota Pekanbaru.
- Cerita Rakyat Riau, Dumai: Putri ujuh
- Cerita Rakyat Riau, Inhil: Batu Batangkup
- Cerita Rakyat Riau: Si Lancang Kuning
- Cerita Rakyat Riau, Kota Pekanbaru – Putri Kaca Mayang
- Cerita Rakyat Riau, Inhil – Batang Tuaka
- Cerita Rakyat Riau, Kuansing – Ombak Nyalo Simutu Olang

  • Permainan rakyat
Permainan Tradisional Daerah Riau, GasingPermainan Tradisonal Riau
Apa permainan tradisional daerah Riau?. Jika Anda adalah orang Riau apalagi orang Melayu pasti sudah tahu, atau pernah memainkan, atau malah membuatnya.
Ya, mianan tradisional Riau, salah satunya, adalah gasing. Tidak jelas kapan pertama kalinya orang-orang memainkan gasing. Memang permainan tradisional di daerah Riau tidak hanya gasing, namun nyatanya gasinglah yang paling populer.
Gasing banyak banyak dimainkan di daerah Riau kepulauan seperti Natuna, Tanjung Pinang, Lingga dan disepanjang pantai timur Sumatra, khususnya orang Melayu.

Permainan Bang Senebu
Permainan ini dimainkan anak dengan jumlah 5-12 anak.Pemainan ini dimulai denga “uang” sejenis hompimpah.lalu dilanjutkan dengan cak gocih.Kemudian baru bermain bang senebu yang selanjutnya dilanjutkan pok-pok pungguk.
  • Peninggalan sejarah
1. Mesjid Raya Pekanbaru
Lokasi : Kecamatan Senapelan
Kotamadya : Pekanbaru
2. Makam Mahrum Bukit Dan Mahrum Pekan
Lokasi : Kecamatan Senapelan
Kotamadya : Pekanbaru
3. Tugu Pahlawan Kerja
Lokasi : Kecamatan Bukit Raya.
Kotamadya : Pekanbaru.
4. Balai Adat Riau
Lokasi : Jalan Pangeran Diponegoro Pekanbaru.
Kotamadya : Pekanbaru.
5. Bukit Batu, Bekas Tapak Kaki Manusia
Lokasi : Sungai Pakning
Kabupaten : Bengkalis.
6. Komplek Istana Kerajaan Siak
Lokasi : Kecamatan Siak Sri Indrapura
Kabupaten : Bengkalis.
7. Makam Marhum Buantan
Lokasi : Kecamatan Siak Sri Indrapura
Kabupaten : Bengkalis.
8. Mesjid Kerajaan
Lokasi : Kecamatan Siak Sri Indrapura
Kabupaten : Bengkalis.
9. Makam Keluaga Raja
Lokasi : Kecamatan Siak Sri Indrapura
Kabupaten : Bengkalis.
  • Makanan
Berikut daftar menu kuliner, masakan Riau beserta resepnya yang-bisa ditemukan di-berbagai tempat Bumi Lancang Kuning :
- Gulai Sayur Lemak Kuah Santan, Kuliner Khas Riau
- Bacah Daging, Kuliner – Makanan Khas Riau
BAB II
ETNIS PAKPAK/DAIRI
Etnik Pakpak adalah salah satu etnik yang terdapat di Pulau Sumatera Indonesia. Tersebar di beberapa kabupaten/kota di Sumatera Utara dan Aceh, yakni di Kabupaten Dairi, Kabupaten Pakpak Bharat, Kabupaten Humbang Hasundutan, Tapanuli Tengah (Sumatera Utara), Kabupaten Aceh Singkil dan Kota Subulussalam (Provinsi Aceh)
Dalam administrasi pemerintahan, suku Pakpak banyak bermukim di wilayah Kabupaten Dairi di Sumatera Utara yang kemudian dimekarkan pada tahun 2003 menjadi dua kabupaten, yakni:
1.      Kabupaten Dairi (ibu kota: Sidikalang)
2.      Kabupaten Pakpak Bharat (ibu kota: Salak)
Etnis Pakpak/Dairi kemungkinan besar berasal dari keturunan tentara kerajaan Chola di India yang menyerang kerajaan Sriwijaya pada abad 11 Masehi.

http://upload.wikimedia.org/wikipedia/id/thumb/a/a3/Batak.png/220px-Batak.pnghttps://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEglFFqtPcBn0-geNzEZLNR6Ff071PH5N9vdppL8sVuTPjEQiJHJ5f752LeSKwtvtshSpgCu4IuTKwMi5L9ZDY_hIVGY2D_-YIuIcVi5QIKaMDavK3xfamwy711EG6J1jY1cdI_URPaL3zU/s320/Suku+Pakpak.jpg

Etnis Pakpak/Dairi terdiri atas 5 subsuku, dalam istilah setempat sering disebut dengan istilah Pakpak Silima Suak yang terdiri dari:
1.      Pakpak Klasen, berdomisili di wilayah Parlilitan yang masuk wilayah kabupaten Humbang Hasundutan dan wilayah Manduamas yang merupakan bagian dari kabupaten Tapanuli Tengah.
2.      Pakpak Simsim, berdiam di kabupaten Pakpak Bharat.
3.      Pakpak Boang, bermukim di propinsi Aceh yaitu di kabupaten Aceh Singkil dan kota Subulussalam. Suku Pakpak Boang ini banyak disalahpahami sebagai suku Singkil.
4.      Pakpak Pegagan, bermukim di Sumbul dan sekitarnya di Kabupaten Dairi.
5.      Pakpak Keppas, bermukim di kota Sidikalang dan sekitarnya di Kabupaten Dairi.

Marga etnis Pakpak/Dairi :

  • Anakampun
  • Angkat
  • Bako
  • Bancin
  • Banurea
  • Berampu
  • Berasa
  • Beringin
  • Berutu
  • Bintang
  • Boang Manalu
  • Capah
  • Cibro
  • Gajah Manik
  • Gajah
  • Kabeaken
  • Kesogihen
  • Kaloko
  • Kombih
  • Kudadiri
  • Lingga
  • Maha
  • Maharaja
  • Manik
  • Matanari
  • Meka
  • Maibang
  • Padang
  • Padang Batanghari (BTH)
  • Pasi
  • Penarik Pinayungan
  • Sambo
  • Saraan
  • Sikettang
  • Sinamo
  • Sitakar
  • Solin
  • Saing
  • Tendang
  • Tinambunan
  • Tinendung
  • Tumangger
  • Turutan
  • Ujung

Etnis Pakpak/Dairi diikat oleh struktur sosial yang dalam istilah setempat dengan sulang silima. Sulang silima terdiri dari lima unsur yakni: 1. Sinina tertua (Perisang-isang (keturunan atau generasi tertua) 2. Sinina penengah (Pertulan tengah (keturunan atau generasi yang di tengah) 3. Sinina terbungsu (perekur-ekur = keturunan terbungsu) 4. Berru (kerabat penerima gadis) 5. Puang (kerabat pemberi gadis)
Ini sangat berperan dalam proses pengambilan keputusan dalam berbagai aspek kehidupan terutama dalam sistem kekerabatan, upacara adat maupun dalam konteks komunitas lebbuh atau kuta. Artinya ke lima unsur ini harus terlibat agar keputusan yang diambil menjadi sah secara adat.
Upacara adat Pakpak dinamakan dengan istilah kerja atau kerja-kerja. Namun saat ini sering juga digunakan istilah pesta. Upacara adat tersebut terbagi atas dua bagian besar yakni: 1. Upacara adat yang terkait dengan suasana hati gembira dinamakan kerja baik; 2. Upacara adat dalam suasana tidak gembira dinamakan kerja jahat.
Contoh kerja baik adalah: merbayo (upacara perkawinan), menanda tahun (upacara menanam padi), merkottas (upacara untuk memulai sesuatu pekerjaan yang beresik0) dan lain-lain. Contoh kerja jahat adalah mengrumbang dan upacara mate ncayur ntua (upacara kematian).
suatu kelompok masyarakat pakpak mengganggap masa balita merupakan masa yang paling berbahaya, yang lainnya menganggap lebih berbahaya pada masa menjelang dewasa yang lainnya lagi mengganggap lebih berbahaya pada masa mati. Untuk itu masa-masa tersebut perlu diantisipasi dengan melakukan berbagai upacara.

Di dalam masyarakat pakpak,jauh sebelum masuknya ajaran agama (Kristen & Islam) mengenal 2 jenis upacara disepanjang hidupnya yang disebut kerja njahat  dan kerja baik. Kerja njahat adalah jenis upacara yang berhubungan dengan upacara duka cita seperti ; kematian (Males bulung simbernaik, males bulung buluh, males bulung sampula), mengokal tulan, menutung tulan. Sedangkan kerja baik mencakup Upacara kehamilan (mere nakan merasa / nakan pagit) upacara kelahiran (mangan balbal  dan mengakeni), masa anak-anak (mengebat, mergosting), masa remaja seperti sunat (mertakil),  masa dewasa seperti perkawinan (merbayo), member makan kepada orang tua (menerbeb).
Setelah masuknya ajaran agama besar (Kristen dan islam) beberapa upacara tersebut sudah tidak dipraktekkan lagi, misalnya sunatan atau mertakil bagi Pakpak Kristen. Sebaliknya dikalangan Pakpak Kristen yang umumnya tinggal diperkotaan dikenal upacara adat baru seperti pendidien/pembaptisan (menjalo gerrar), dan sidi (meluah) dengan mengundang teman, kelompok sulang silima dan tetangga untuk makan bersama.
Namun sekarang ini masih ada pula sekelompok yang masih percaya akan hal menyembah batu yang sering disebut dengan menoto .sebut saja di kecamatan pergetteng getteng sengkut,dimana semua warga tersebut setahun sekali memberikan adat adat berupa ayam,kembal,makanan hasil pertanian,buah buahan,dan lain lain.hal ini dilakukan untuk mengetahui bagaimana situasi pertanian di daerah tersebut untuk tahun yang akan datang.
Upacara ini dilakukan oleh setu orang yang diangap memepunyai ilmu gaib yang akan mewakili semua warga dalam berbicara dengan batu yang mereka sembah.


A. Sejarah Perkembangan dan Persebaran Kelompok Etnis Pakpak/Dairi
Belum ditemukan bukti yang otentik dan pasti tentang asal usul dan sejarah persebarang orang Pakpak. Hasil penelitian yang dilakukan menunjukkan beberapa variasi. Pertama dikatakan bahwa orag Pakpak berasal dari India selanjutnya masuk ke pedalaman dan beranak pinak menjadi orang Pakpa. Versi lain menyatakan orang Pakpak berasal dari etnis Batak Toba dan yang laiin menyatakan orang Pakpak sudah ada sejak dahulu. Mana yang benar menjadi relatif karena kurang didukung oleh fakta-fakta yang objektif. Alasan dari India misalnya hanya didasarkan pada adanya kebiasaan tradisional Pakpak dalam pembakaran tulang-belulang nenek moyang dan Barus sebagai daerah pantai dan pusat perdagangan berbatasan langsung dengan tanoh Pakpak. Alasan Pakpak berasal dari Batak Toba hanya adanya kesamaan struktur sosial dan kemiripan nama-nama marga. Sedangkan alasan ketiga yang menyatakan dari dahulu kala sudah ada orang Pakpak hanya didasarkan pada folklore di mana diceritakan adanya tiga zaman manusia di Tanoh Pakpak, yakni zaman Tuara (Manusia Raksasa). zaman si Aji (manusia primitif) dan zaman manusia (homo sapien).
Berdasarkan dialek dan wilayah persebarannya, Pakpak dapat diklasifikasikan menjadi lima bagian besar yakni: Pakpak Simsim, Pakpak Keppas, Pakpak Pegagan, Pakpak Boang dan Pakpak Kelasen (Coleman, 1983; Berutu, 1994). Masing-masing sub ini dibedakan berdasarkan hak ulayat marga yang secara administratif tidak hanya tinggal atau menetap di wilayah Kabupaten Dairi (sebelum dimekarkan), tetapi ada yang di Aceh Singkil, Humbang Hasundutan (sebelum dimekarkan dari Tapanuli Utara) dan Tapanuli Tengah.
Pakpak Simsim, Pakpak Keppas dan Pegagan secara administratif berada di wilayah kabupaten Dairi dan Pakpak Bharat, sedangkan Pakpak Kelasen berada di kabupaten Humbang Hasundutan, Kabupaten Tapanuli Tengah Khususnya di Kecamatan Parlilitan dan Kecamatan Manduamas. Berbeda lagi dengan Pakpak Boang yang menetap di wilayah kabupaten Singkil, khususnya di Kecamatan Simpang Kiri dan Kecamatan Simpang Kanan.

B. Pengelolaan Lingkungan Pada Masyarakat Pakpak
Hasil-hasil penelitian yang dilakukan membuktikan bahwa masyarakat Pakpak memiliki sejumlah nilai budaya, pengetahuan, aturan, kepercayaan, tabu, sanksi, upacara dan perilaku budaya yang arif dalam pengelolaan lingkunan. Usman Pelly (1987: 269) menyatakan bahwa masyarakat Pakpak sangat menghargai alam dengan adanya tabu-tabuyang selalu dipatuhi. Lebih lanjut Zuraida dkk, (1992) menyatakan bahwa orang Pakpak memiliki aturan-aturan dalam menjaga konservasi alam. Kedua ahli ini belum menjelaskan secara eksplisit tabu-tabu dan aturan-aturan yang kondusif terhadap konservasi alam. Penelitian lebih lanjut oleh penulis membuktikan pernyataan kedua ahli tersebut. Kearifan dalam konservasi alam tersebut terjadi dalam berhubungan dengan alam. Ada yang disadari dan ada pula yang tidak disadari oleh masyarakat Pakpak yang terkandung dalam sejumlah nilai, aturan, tabu dan upacara terutama kegiatan yang berhubungan langsung dengan alamseperti dalam sistem ladang berpindah, mencari damar, berburu, dan meramu dan pengelolaan hutan kemenyaan.
Selain itu berhubungan dengan kepercayaan tradisional di setiap lebuh dan kuta ditemukan atau dikenal adanya area-area yang pantang untuk di ganggu unsur biotik dan abiotik yang ada di dalamnya karena dianggap mempunyai kekuatan gaib antara lain: rabag, gua, daerah pinggiran sungai dan jenis-jenis pohon dan binatang tertentu yang dianggap memiliki mana. Jenis tumbuhan tersebut misalnya pohon ara, Simbernaik (sejenis pohon penyubur tanah). Jenis binatang yang jarang diganggu isalnya monyet, kera dan harimau. Pada awalnya tempat-tempat tersebut dijadikan sebagai tempat persembahan terhadap kekuatan gaib namun saat ini walaupun umumnya mereka telah menganut agama-agama besar seperti Islam danKristen, tetap dianggap keramat dan mempunyai kekuatan sehingga kalau diganggu dapat berakibat terhadap keselamatan baik secaralangsung maupun tidak langsung.

C. Kesenian
Ornamen Pakpak biasanya digunakan pada motif-motif ukiran (okir Pakpak) dan lukisan.Pakpak seperti pada hiasan rumah adat Pakpak dan patung-patung karya seni budaya Pakpak.beberapa alat musik pakpak adalah terbuat dari bahan tradisional seperti kalondang Pakpak yang Posisi musik tradisional sangatlah jelas dan terpandang dalam budaya Pakpak. Pada upacara-upacara tradisi, musik, terutama genderang, mempunyai peranan penting: menjadi bagian dari sebuah kesenian tradisi masyarakat pakpak.Disamping itu,adajuga tarian daerah pakpak yaitu  Tari dalam Bahasa Pakpak disebut “Tatak” .
Tarian tradisional Pakpak sangat erat kaitannya dengan kehidupan sehari-hari, misalnya Tatak Memupu/ Menapu Kopi, Tatak Mendedah, Tatak Renggisa, Tatak Balang Cikua, Tatak Garo-Garo, Tatak Tirismo Lae Bangkuang, Tatak Mersulangat, Tatak Menerser Page, Tatak Muat Page, Tatak Adat, Tatak Mendedohi Takal-Takal, dan lain-lain. Selain itu, dikenal juga seni bela diri yang disebut dengan istilah motcak dan tabbus
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjAeQRcmgg6q6a_lQh9XKkXkUzsf15A3msmReeUk2t9U-bKmf45cR5IUDgWYWtkc7rwwsNhlQIpIhKy9rW-Yb8Wv-9i1rJCwFG1tE9W4tPtf-vXshDOmttG2M3ItDEwMYWanMKFgkysjph3/s1600/pakaian+adat+pakpak.jpg http://dairikab.go.id/photos/Tari_Web.jpg


Seni musik pakpak yaitu seni alat musik dan seni vokal. Seni alat musik misalnya Kalondang, Genderang, Gung Sada Rabaan, Kucapi, Sordam, Lobat, Kettuk, Gerantung, dan lain-lain. Seni vokal diantaranya odong-odong dan nangen. Selain itu, seni vokal juga sudah semakin dikembangkan sekarang ini, diantaranya lagu paling dikenal yaitu Cikala le Pong Pong, delleng sitinjo, lae une,nantampuk emas,dan lain lain.

Lagu Pakpak Kini
Banyak lagu pakpak yang populer merupakan adaptasi dari odong-odong, yaitu lagu-lagu bernada minor dengan lirik yang lazimnya menggambarkan sesuatu yang romantis atau malah menyayat hati, misalnya kecantikan seorang kekasih, rasa kangen perantau terhadap keluarga dan kampung halamannya, hingga ratapan mengenai kemalangan hidup. Para pemeras nira sering menyanyikan odong-odong kala bekerja. Kini, banyak sekali lagu pakpak yang menjadi populer dan diadaptasi secara modern menggunakan instrument yang juga modern seperti keyboard. Lagu-lagu populer Pakpak yang kerap diputar di acara-acara pernikahan ini misalnya Cikala Le Pongpong, Pantar Silang, dan Tangis Anak Melumang. Bahkan, lagu pakpak yang sering terdengar jaman sekarang telah mengadaptasi unsur-unsur musik yang berbeda, misalnya irama Melayu serta nyanyian yang dibawakan grup vokal. Hal ini tak lepas dari kecenderungan pemusik Pakpak kontemporer yang memilih untuk mengikuti tren musik yang lebih cepat berkembang dan populer seperti lagu-lagu daerah Toba dan Karo, yang kini memang banyak mengadaptasi irama serta gaya pelantunan lagu Melayu.

Musik dalam Tradisi Pakpak
Masyarakat Pakpak memiliki dua macam bentuk komposisi musik utama; musik berupa nyanyian dengan vokal serta ensembel alat-alat musik. Jenis yang pertama secara tradisi merupakan sarana untuk bercerita; misalnya, dalam menceritakan kisah khas Pakpak yang berjudul Sitagandera, si pencerita dituntut untuk mampu menyanyikan kisah tersebut dan bukan hanya menuturkannya saja seperti orang berbicara. Sedangkan ensembel alat musik biasanya dibawakan pada saat acara-acara adat atau menyertai peristiwa-peristiwa penting yang membutuhkan iringan musik. Tetapi, secara umum, musik dengan ensembel ini dibagi menjadi dua yaitu musik duka dan musik riang. Alat-alat musik Pakpak terdiri dari perkusi seperti gendang dan gong, serta alat musik melodis seperti kalondang, lobat dan sordam (semacam seruling). Sordam merupakan alat musik yang digunakan dalam banyak peristiwa; dari mengiringi acara pernikahan, mengisi waktu ketika menggembalakan kerbau, hingga berhubungan dengan arwah para leluhur atau bahkan mencari orang yang hilang di hutan.







BAB III
BATAK TOBA
Etnis Batak Toba meliputi Kabupaten Toba Samosir, Kabupaten Humbang Hasundutan, Kabupaten Samosir, Kabupaten Tapanuli Utara, sebagian Kabupaten Dairi, Kabupaten Tapanuli Tengah, Kota Sibolga dan sekitarnya, Batak Toba adalah suatu kesatuan kultural. Batak Toba tidak mesti tinggal diwilayah geografis Toba, meski asal-muasal adalah Toba. Sebagaimana suku-suku bangsa lain, suku bangsa Batak Tobapun bermigrasi kedaerah-daerah yang lebih menjanjikan penghidupan yang labih baik. Contoh, mayoritas penduduk asli Silindung adalah marga-marga Hutabarat, Panggabean, Simorangkir, Hutagalung, Hutapea dan Lumbantobing. Padahal ke-enam marga tersebut adalah turunan Guru Mangaloksa yang adalah salah- seorang anak Raja Hasibuan diwilayah Toba. Demikian pula marga Nasution yang kebanyakan tinggal wilayah Padangsidimpuan adalah saudara marga Siahaan di Balige, tentu kedua marga ini adalah turunan leluhur yang sama. Batak Toba sebagai kesatuan kultural pasti dapat menyebar ke berbagai penjuru melintasi batas-batas geografis asal leluhurnya, si Raja Batak yakni wilayah Toba yang secara spesifik ialah Desa Sianjur Mulamula terletak di lereng Gunung Pusuk Buhit, kira-kira 45 menit berkendara dari Pangururan, Ibukota Kabupaten Samosir, sekarang.

Marga pada suku Batak Toba
Marga atau nama keluarga adalah bagian nama yang merupakan pertanda dari keluarga mana ia berasal.  Orang Batak selalu memiliki nama Marga/keluarga. Nama / marga ini diperoleh dari garis keturunan ayah (patrilinear) yang selanjutnya akan diteruskan kepada keturunannya secara terus menerus. Dikatakan sebagai marga pada suku bangsa BatakToba ialah marga-marga pada suku bangsa Batak yang berkampung halaman (marbona pasogit) di daerah Toba.  Sonak Malela yang mempunyai 3 (tiga) orang putera dan menurunkan 4 (empat) marga, yaitu:Simangungsong, Marpaung, Napitupulu, dan Pardede, merupakan salah satu cotoh marga pada suku bangsa Batak Toba.

Tarombo atau Silsilah
Silsilah atau Tarombo merupakan suatu hal yang sangat penting bagi orang Batak. Bagi mereka yang tidak mengetahui silsilahnya akan dianggap sebagai orang Batak kesasar (nalilu). Orang Batak diwajibkan mengetahui silsilahnya minimal nenek moyangnya yang menurunkan marganya dan teman semarganya (dongan tubu). Hal ini diperlukan agar mengetahui letak kekerabatannya (partuturanna) dalam suatu klan atau marga.
Falsafah dalam adat batak toba
Falasafah adat batak toba dikenal dengan Dalihan Na Tolu yang terdiri dari:
1.   Somba Marhula-hula 
2.    Manat Mardongan Tubu 
3.    Elek Marboru
Hulahula/Mora adalah pihak keluarga dari isteri. Hula-hula ini menempati posisi yang paling dihormati dalam pergaulan dan adat-istiadat Batak (semua sub-suku Batak) sehingga kepada semua orang Batak dipesankan harus hormat kepada Hulahula (Somba marhula-hula).
Dongan Tubu/Hahanggi disebut juga Dongan Sabutuha adalah saudara laki-laki satu marga. Arti harfiahnya lahir dari perut yang sama. Mereka ini seperti batang pohon yang saling berdekatan, saling menopang, walaupun karena saking dekatnya kadang-kadang saling gesek. Namun, pertikaian tidak membuat hubungan satu marga bisa terpisah. Diumpamakan seperti air yang dibelah dengan pisau, kendati dibelah tetapi tetap bersatu. Namun demikian kepada semua orang Batak (berbudaya Batak) dipesankan harus bijaksana kepada saudara semarga. Diistilahkan, manat mardongan tubu.
Boru/Anak Boru adalah pihak keluarga yang mengambil isteri dari suatu marga (keluarga lain). Boru ini menempati posisi paling rendah sebagai ‘parhobas’ atau pelayan, baik dalam pergaulan sehari-hari maupun (terutama) dalam setiap upacara adat. Namun walaupun berfungsi sebagai pelayan bukan berarti bisa diperlakukan dengan semena-mena. Melainkan pihak boru harus diambil hatinya, dibujuk, diistilahkan: Elek marboru




A. Kesenian
- Suara
Musik yang biasa dimainkan,cenderung tergantung dengan upacara-upacara adat yang diadakan, tetapi lebih dominan dengan genderangnya. Musik Batak sudah ada sejak jaman Toba Kuno di jaman dinasti Tuan Sorimangaraja (Pahompu-nya Si Raja Batak) Berawal dari musik Raja-raja. Bukan musik untuk Raja, tetapi musik yang dimainkan oleh Raja. Makanya mainnya boleh berdiri. Lain halnya dengan musik tradisi suku lain seperti Afrika, India, Jawa, dll, yang merupakan musik Rakyat, sehingga kebanyakan bermusiknya sambil duduk.
Musik Batak awalnya diciptakan untuk upacara ritual yang dipimpin pada Datu (dukun) pada masa itu untuk penghormatan leluhur, minta panen yang sukses kepada Mula Jadi Nabolon, dll. Kemudian Berkembang menjadi Musik ritual di Pesta Adat. Pemainnya dinamakan pargonsi (baca Pargosi atau Pargoci) Pargonsi mempunyai kedudukan yang sangat penting, ruma bagian atas. Karena yang memainkannya Raja. Jadi gak heran kalo Batak itu suku yang musikal karena dari jaman dulu Rajanya aja suka main musik ). Musik Batak untuk ritual ini adalah yang disebut Gondang Sabangunan yang terdiri dari 5 Ogung, 5 Gondang, Sarune Bolon lubang 5.
Namun para Rakyat juga ingin main musik, maka berkembanglah musik batak ini di kalangan rakyat dengan format Taganing, Garantung, Hasapi, Seruling dan Sarune Etek. Dengan alat-alat musik inilah tercipta banyak sekali lagu rakyat yang bernuansa pentatonis (Do Re Mi Fa Sol, kadang2 ada juga La) dan susunan nada (licks)-nya sangat khas tidak didapati di musik suku lain.

Lagu-lagu yang dinyanyikan masyarakat etnis batak bercerita tentang pemujaan terhadap kampung halaman, keindahan negeri dan panorama yang indah permai. Sedangkan andung/ratapan adalah salah satu jenis nyanyian yang secara khusus dinyanyikan pada acara dukacita atau menggambarkan suasana hati yang sedang berduka dan sedih.

Alat musik Batak Toba yang digunakan untuk mengiringi tarian tor-tor dan nyanyian juga beranekaragam. Alat musik ini ada yang terbuat dari bahan perunggu, kulit, kayu, dan bambu. Alat musik berbahan perunggu seperti ogung atau gong. Ogung merupakan instrumen 4 jenis gendang yang berlainan bunyi/nada, yaitu oloan, ihutan, doal, dan panggora. Sedangkan alat musik dari bahan kulit, kayu dan bambu meliputi tagading, hesek, hasapi (kecapi), saga-saga, garantung, suling (seruling), sordam dan salohat. Alat musik tagading merupakan seperangkat instrumen yang terdiri dari 1 gondang sebagai bas, 1 odap-odap dan 5 tagading.
Orang Batak Toba juga membedakan peralatan musik ini dalam dua golongan besar yaitu Gondang Bolon (terdiri dari gordang(gendang besar), taganing(gendang ukuran sedang) dengan lima lempeng kayu, odap-odap(gendang kecil) yang kadang-kadang diganti dengan lempengan logam, gong dari tembaga ditambah empat gong perunggu, dan sarune(seruling)) dan Gondang Hasapi (terdiri dari 2 buah hasapi, sarune kecil, suling(seruling), garantung(bumbung kecil) dengan lima lempeng kayu sebagai pengganti taganing).

- Tarian
Tarian yang menjadi ciri khas orang Batak Toba adalah tari Tor-tor dengan berbagai jenis nama tari untuk berbagai jenis kegiatan yang berbeda-beda. Tor-tor atau tari-menari merupakan salah satu kebudayaan Batak yang tertua. Dahulu kala seni tari-menari duhubungkan dengan kepercayaan animisme yang dapat mendatangkan kuasa-kuasa magis. Acara tari-menari diadakan untuk memohon kemenangan, kesehatan, dan kehidupan sejahtera kepada dewa-dewa. Acara tari-menari juga diadakan bilamana ada orang yang lahir, akil balig dan diterima sebagai anggota suku, pada saat menikah, dan pada waktu sudah mati. Namun sekarang tarian tersebut tidak lagi bersifat animisme, tetapi lebih dimaksudkan untuk mempererat hubungan kekerabatan dalam Dalihan Na Tolu
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhU1w-xx-n5ZHkHoS90CY6cldoYJkqx0DrzhcmqvnoNdRP6-JrP57UhMAr4LaAz5t7mMtWWVtOpvYoTe7cF72ziN0Vsb2yGsjaJ7mZInQQShdp_EUmnErA80NTok94LUjbAesozzKb2UWWA/s1600/6.jpg

- Kerajinan
tenunan merupakan seni kerajinan yang menarik dari suku Batak. Contoh tenunan ini adalah kain ulos dan kain songket. Ulos merupakan kain adat Batak yang digunakan dalam upacara-upacara perkawinan, kematian, mendirikan rumah, kesenian,dsb. Bahan kain ulos terbuat dari benang kapas atau rami. Warna ulos biasanya adalah hitam, putih, dan merah yang mempunyai makna tertentu. Sedangkan warna lain merupakan lambang dari variasi kehidupan.
http://v-images2.antarafoto.com/g-ec/1363604711/perajin-ulos-11.jpghttp://www.gosumatra.com/wp-content/uploads/2013/04/Kain-Ulos-Suku-Batak.jpg

BAB IV
BATAK ANGKOLA/MANDAILING
Suku Mandailing adalah suku bangsa yang mendiami Kabupaten Mandailing Natal, Kabupaten Padang Lawas, Kabupaten Padang Lawas Utara, Kabupaten Tapanuli Selatan, Kabupaten Labuhanbatu, Kabupaten Labuhanbatu Utara, Kabupaten Labuhanbatu Selatan, Kabupaten Asahan, dan Kabupaten Batubara di Provinsi Sumatera Utara beserta Kabupaten Pasaman dan Kabupaten Pasaman Barat di Provinsi Sumatera Barat, dan Kabupaten Rokan Hulu di Provinsi Riau. Mandailing merupakan kelompok masyarakat yang berbeda dengan suku, Hal ini terlihat dari perbedaan sistem sosial, asal usul, dan kepercayaan.
Orang Mandailing didefinisikan sebagai mereka yang bermarga Nasution, Lubis, Pulungan, Batubara, Rangkuti, Daulae, Parinduri, Dalimunte, dan Matondang sahaja seperti ketetapan Mahkamah Tertinggi Folks Road Batavia 1926 dan keturunan yang berpecah daripada sembilan marga tadi (i.e. Mardia daripada Rangkuti).
Orang Mandailing adalah berbeda dengan orang Batak yang tinggal di Mandailing atau disebut Batak Mandailing yang terdiri daripada marga seperti Hasibuan, Harahap, dan Siregar. Mereka berasal dari pedalaman pantai barat Sumatera dan Tapanuli Selatan di utara Sumatera, Indonesia.



Lingkungan hidup mereka meliputi gunung-ganang dengan sistem perairan dan dataran rendah persawahan. Mata pencarian mereka termasuk getah, kulit kayu manis, kopi dan melombong emas. Mereka terkenal dengan tradisi persuratan dan sembilan gendang besar yang disebut Gordang Sambilan.
Meskipun Mandailing sering dikaitkan dengan Batak, namun rata-rata orang Mandailing menolak tanggapan ini. hal ini disebabkan karena perbedaan agama, kerana rata-rata orang Batak menganut agama Kristen sedangkan orang Mandailing kebanyakan menganut agama islam.
Patung Sangkalon yang menjadi lambang keadilan dalam masyarakat Mandailing sering disalah anggap oleh masyarakat luar. Patung yang dipanggil 'si pangan anak si pangan boru' yang bermaksud 'si pemakan anak lelaki, si pemakan anak perempuan' ini dijadikan tohmahan bahawa kaum Mandailing adalah kaum pemakan daging manusia. Padahal maksud sebenar perumpamaan ini ialah setiap keadilan mesti ditegakkan meskipun terpaksa membunuh anak sendiri
Mandailing atau Mandahiling diperkirakan berasal dari kata Mandala dan Holing, yang berarti sebuah wilayah Kerajaan Kalinga. Kerajaan Kalingga adalah kerajaan Nusantara yang berdiri sebelum Kerajaan Sriwijaya, dengan raja terakhir Sri Paduka Maharaja Indrawarman yang mendirikan Kesultanan Dharmasraya setelah di-Islamkan oleh utusan Khalifah Utsman bin Affan pada abad ke-7 M. Sri Paduka Maharaja Indrawarman adalah putra dari Ratu Shima. Sri Paduka Maharaja Indrawarman kemudian dibunuh oleh Syailendra, pendiri Kerajaan Sriwijaya pada abad ke-7 itu juga. Pada abad ke-10, Kerajaan Chola dari wilayah Tamil, India Selatan, dengan rajanya Rajendra telah menyerang Kerajaan Sriwijaya dan menduduki wilayah Mandailing, yang kemudian dikenal dengan nama Ang Chola (baca: Angkola). Ang adalah gelar kehormatan untuk Rajendra. Kerajaan India tersebut diperkirakan telah membentuk koloni mereka, yang terbentang dari Portibi hingga Pidoli.[3] Dalam Bahasa Minangkabau, Mandailing diartikan sebagai mande hilang yang bermaksud "ibu yang hilang". Oleh karenanya ada pula anggapan yang mengatakan bahwa masyarakat Mandailing berasal dari Kerajaan Pagaruyung di Minangkabau.
Mandailing ditinjau dari Sejarah Asal Usul Mandailing bukan Batak berdasarkan kitab tua Mpu Prapanca, Negarakertagama. Patut di ingat, catatan ini adalah kitab tertua yang pernah ada di Indonesia dan diakui kebenarannya oleh UNICEF dan dunia ilmiah. Artinya, jika seseorang tidak percaya kebenarannya, secara intelektual ia akan "masuk neraka".

Dalam kitab tersebut Mpu Prapanca (Ompung Prapanca: dalam bahasa mandailing) mencatat banyak hal tentang Majapahit, termasuk negara yang ditaklukkannya. Mpu Prapanca menyebut belahan timur adalah Melayu, termasuk di dalamnya; Mandailing, Pane (Panai), Toba, Barus dan lain-lain. Saat itu Toba, Mandailing dan Barus dikategorikan rumpun Melayu. Tidak ada BATAK pada saat itu. Tidak dijumpai terminologi Batak dalam kosa kata kuno (Sanskerta)atau bahasa yang dikenal dan difahami antar bangsa saat itu. Referensi yang paling diterima dan masuk akal menyebutkan bahwa istilah Batak untuk memanggil satu kaum baru muncul kemudian oleh orang-orang pesisir yang merasa lebih beradab kepada penduduk pedalaman. Tepatnya: BATAK adalah istilah untuk suku orang pedalaman.
            Sekitar tahun 1365 M, peradaban di pedalaman Sumatera masih sangat primitif, dan kanibalisme masih sangat dimungkinkan terjadi (kanibalisme paling mutakhir dicatat dalam sejarah adalah kanibalisme pada Missionaris, kejadian antara Sibolga dan Tarutung. Baca selengkapnya Batak Makan Orang, kumpulan sejarah kanibalisme yang dicatat sejarah.

            Determinasi sejarah: masyarakat tumbuh, berkembang dan berubah. Peradaban manusia di utara bagian Sumatera berpusat di tepian sungai Barumun, dan Sungai Batang Pane. Bayangkan, saat itu kota yang kita kenal bernama Medan masih berupa laut dan rawa, tidak berpenghuni manusia. Toba, Mandailing dan Padang Lawas adalah kawasan segitiga emas pada masa itu dan pusat peradaban dan penyebaran agama ada di Padang Lawas. Itulah logika satu-satunya kenapa banyak terdapat kesamaan bahasa dan budaya.
Dan ada masa dimana Mandailing yang tidak terlalu besar berpusat di Kerajaan Pulungan, atau sebelumnya ada konsentrasi penduduk di tempat yang bernama Mandala Holing tepi Sungai Batang Gadis, atau dimana saja steppa yang luas, tanah yang cocok untuk pertanian yang diakibatkan suburnya tanah yang dibawa Batang Gadis Sungai Barumun dan Batang Pane.

Itulah kenapa semua Candi yang ada di Mandailing Godang dibangun di lapangan terbuka dan tidak jauh dari Sungai-sungai utama. Candi Portibi, Candi Bahal, Candi yang ada di Siabu dan di Pidoli berada di tempat yang layak untuk umum.

Nama Batak tidak diketahui asal usulnya, sejelas Sejarah Asal Usul>Toba, Mandailing, Pane dan Barus. Mandailing untuk menyebutkan wilayah cukup luas yang mendiami tepi Sungai Batang Gadis namun terlalu kecil jika dibanding kerajaan Majapahit di abad 13 M. Hal itu disebabkan hampir semua pulau Sumatera pada saat itu masih tertutup hutan belantara berbanding terbalik dengan pulau Jawa bagian utara yang datar, subur dan cocok untuk tempat tinggal dan pertanian, maka orang Mandailing masa silam masih suka berpindah-pindah. Pedagang Arab yang bermukim di Barus terjadi di masa berikutnya dan bubar setelah diserang Kerajaan Sriwijaya.

Kerajaan Pane langsung berhubungan dengan perdagangan internasional dan Pendeta-pendeta dan pusat penyiaran agama Hindu-Budha berada di Kerajaan Pane banyak yang belajar ke Champa dan India. Beberapa bahasa yang masih diwariskan atau terakulturasi pengaruh Hindu hingga kini antara lain: Mangaraja, Ompung (Opung), Debata, aksara (Surat Tulak Tumbaga) adalah impor berasal dari pengaruh Hindu-Budha.

Mandailing dikemudian hari lebih konsentrasi di Penyabungan dan Pidoli (Piu Delhi) karena Patih Gajah Mada dari Majapahit menghancurkan Kerajaan Pane yang terdapat di Barumun-Padang Bolak. Banyak penduduk, tentara dan aliansi Pane migrasi masuk kepedalaman di Penyabungan. Mereka inilah yang mendiami Huta Siantar dan Siladang. Sejatinya penduduk Siladang adalah tentara Sriwijaya yang dikebiri pasukan Gajah Mada dari Padang Lawas. Hal ini bisa dibuktikan dengan banyaknya persamaan bahasa dan adat istiadat Siladang (Aek Banir)dengan penduduk Palembang di pedalaman seperti cenderung mengunci koloni dari masyarakat luar.Ini juga menjadi penjelasan kenapa bahasa Siladang berbeda dengan bahasa Mandailing pada umumnya. Kerajaan Pane adalah sekutu Kerajaan Sriwijaya. Para pendatang dari Pane dan tentara Sriwijaya ini kemudian lebur menjadi orang Mandailing dan mengadopsi marga setempat. Masa inilah Sibaroar, leluhur Nasution dewasa. Sibaroar bisa mendominasi pengaruh Pulungan karena beraliansi dengan para pendatang ini. Belakangan banyak orang Siladang (Aek Banir) menjadi Nasution, demikian mungkin juga orang Pane yang terusir itu.

Sejarah Asal Usul Mandailing pada akhirnya harus diakui bahwa
apa yang dimaksud Mandailing, kini hanya menunjuk pada wilayah saja. Jika seseorang merasa dirinya punya silsilah yang mengakar ke tanah Toba dan tinggal di Mandailing, maka ia boleh mengklaim diri menjadi orang Mandailing. Mandailing tidak hanya di isi oleh "orang mandailing" saja, tetapi patut di ingat, pendeta Hindu yang berkulit hitam itu menetap di Mandailing dan beranak pinak hingga sekarang. Rombongan dari Aceh (Tapak Tuan) menjadi Rangkuti dan beberapa pedagang Cina menjadi Lubis, atau pulungan, tergantung tempat dan situasi dimana bermukim. Menurut salah satu sumber, Marga Lubis aslinya berasal dari Bugis. Ini membuktikan bahwa Mandailing lebih heterogen dan lebih dinamis dari Toba. Jadi jangan heran kenapa tarombo Toba lebih rapi dari tarombo Mandailing.

Apakah Mandailing itu Batak sekarang tergantung dari mana anda melihatnya. Tapi yang pasti Mandailing tidak berasal dari Batak adalah fakta yang harus di akui. Menjadi seorang Batak atau Mandailing adalah dua pilihan buat penduduk yang berasal dari tanah Mandailing. Saya memilih Mandailing karena istilah ini lebih tua dan mendarah daging.

Mengetahui Sejarah Asal Usul Mandailing, maka kita harus ke masa lalu. Asal usul mandailing dan sejarah mandailing natal harus ditulis berdasarkan data empiris. Asal usul mandailingtidak hanya dicatat berdasar penuturan cerita rakyat. Contohnya seperti Kisah Rakyat Asal Usul Batak plesetan ini.

Cerita rakyat yang dituturkan secara turun temurun dibutuhkan sebagai pelengkap data empiris tadi, tetapi bingkai penulisan sejarah asal usul mandailing tetap harus yang realistis, logis dan sistematis. Sejarah mandailing harus dibebaskan dari sentuhan subjektif, seperti fanatisme keyakinan,dan fatalisme silsilah Raja Batak.
Jika kita sudah menyimpulkan suatu hal, "asal usul mandailing dari batak toba". Maka kita telah berhenti untuk berfikir dan menggali pertanyaan: dari mana asal usul mandailing? Dengan vonis, "asal usul mandailing adalah dari batak toba" kita telah membunuh sejarah asal usul mandailing. Siapa yang tahu pasti asal usul mandailing dari batak toba kecuali nenek moyang mandailing itu sendiri. Dan sayangnya mereka yang telah pergi tidak menitipkan surat wasiat dan catatan yang bisa dimengerti dan jelas mereka berasal dari mana. Jadi seseorang yang hidup di zaman ini tidak punya hak memvonis asal usul mandailing dari batak toba atau tidak. Istilah mandailingnya: "Dont punish if you dont know".

Hanya dengan cara ini asal usul mandailing bisa disingkap, jadi tidak pantas hanya karena seseorang berasal dari batak toba dan punya catatan silsilah (tarombo) menggeneralisir, "asal mandailing dari batak toba", sebaliknya, sesorang yang merasa tidak punya pertalian darah mengatakan, "asal usul mandailing adalah dari vietnam". Jadi mari berfikir logis bahwa asal usul mandailing adalah fakta yang terpisah dari kesimpulan siapapun.

Seseorang boleh berpendapat, tentunya berdasarkan logika yang jernih, tentang asal usul mandailing. Sangat bagus membuat diskursus, tesa anti tesa dan sintesa. Ungkapkanlah data dan fakta serta logika, tentu saja akan memperkaya khasanah perbendaharaan asal usul mandailing. Dengan suatu kesadaran, bahwa mandailing bukan milik seseorang, sebaliknya mandailing memiliki orang mandailing. Tulisan ini hanyalah rintisan untuk generasi ini karena masih banyak fakta masih terkubur di perut bumi, menanti untuk disingkap.

Asal usul mandailing tidak dari batak toba karena tidak mungkin Raja Batak atau siapapun nenek moyang orang batak tiba tiba muncul dari perut bumi atau jatuh dari langit di suatu tempat di tanah toba, lalu beranak pinak menjadi suku batak.
Saya banyak mendengar "lelucon" bahwa pada jaman dahulu kala hiduplah seorang Ompu Mula Di Najadi Nabolon, Raja Batak yang memerintah sendirian dan kesepian, karena tidak seorang pun berada selain dirinya dan keluarganya yang berada di puncak gunung itu. Naif sekali jika seperti itu gagasan seseorang tentang Sejarah Asal Usul Mandailing.

Dalam bayangan saya, orang batak yang mendiami toba yang pertama kali adalah sekelompok keluarga yang punya pemimpin dari keluarga itu sendiri. Migrasi massal adalah fakta sejarah yang tercatat di manapun di tanah batak.
Migrasi disebabkan perpecahan di satu klan, dan kelompok yang kalah akan pindah dan menempati suatu daerah yang baru. Jika tempat itu "milik" marga tertentu, mereka yang jadi pendatang kemudian menjadi "anak boru", tidak menjadi raja, mereka harus hormat pada Raja Nidapot (raja yang tempat menumpang). Jika tempat baru itu kosong tanpa otoritas marga apapun, pemimpin mereka itu pun berubah jadi raja. Demikianlah polanya.

Asal usul mandailing karena itu tidak dari batak toba, karena orang batak pertama kali tiba di tanah batak akan menempati sisi terluar dari pulau, dan kemudian seperti pola di atas akan menyebar hingga ke tanah toba dan padang bolak. Penyebaran penduduk bisa dari dua sisi pulau Sumatera, pesisi barat dan timur. Jika demikian, batak toba punya dua kemungkinan: berasal dari pantai timur atau barat.

Patut diakui bahwa fakta, banyak suku marga yang berasal dari batak toba hidup sebagai orang mandailing. Tetapi itu terjadi pada masa berikutnya dalam kronologi sejarah batak. Patut di ingat, orang mandailing tidak homogen, tetapi percampuran darah dari radius 1000 kilometer. Sutan Mahmud, yang leluhurnya berasal dari minangkabau adalah orang mandailing, dan ia telah menjadi marga lubis. Jimmy yang orang tuanya berasal dari mandailing sekarang telah menjadi orang sunda. Semua bisa lebur menjadi siapapun dan marga apapun mengikuti kronologi sejarah.
Karena itu, tidak tepat, karena seorang siregar, harahap atau daulay punya silsilah rinci mereka berasal dari batak toba lalu ia memfonis: "Asal usul mandailing dari batak toba".




Dalam upacara perkawinan di adat Mandailing, diperlukan perlengkapan dalam upacara adat.
Berikut ini adalah perlengkapan yang diperlukan dalam upacara-upacara adat yang dilaksanakan dengan upacara adat mandailing:
v  Sirih (napuran/ burangir)
v  Sirih
v  Sentang (gambir)
v  Tembakau
v  Soda
v  Pinang
v  Tanda Kebesaran (paragat)
v  Payung rarangan
v  Pedang dan tombak
v  Bendera adat (tonggol)
v  Langit-langit dengan tabir
v  Tempat penyembelihan kerbau
v  Alat musik (uning-uningan)
v  Momongan (gong)
Terdiri dari: tawak-tawak, gong, doal, cenang, talempong, tali sasayak
Gordang sambilan (gendang)
v  Alat tiup
v  Pakaian penganten
v  Pakaian penganten laki-laki
v  Pakaian penganten perempuan
pakaian penganten Mandailing seperti pada gambar :  
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgyAs2odUg1VyDTbCE5Y1DFiWmqwmpmHu9hF_4tVOe2YIr2IYiXjaWLvoVX7pWlQ8Ju5Zh61rgyxmcp8e-wQWFoAxa4YWtlQfkddIEHxASeUuP0ujPkLMxFjipspTsyuuZw_kFm5FH0Cp2s/s1600/adat.jpg
Selama berabad-abad lamanya dan sampai sekarang masyarakat Mandailing mempercayai bahawa Namora Pande Bosi adalah nenek moyang orang-orang Mandailing yang bermarga Lubis.
Menurut legendanya, Namora Pande Bosi berasal dari Bugis di Sulawesi Selatan. Dalam pengembaraannya dia sampai ke satu tempat yang bernama Sigalangan di Tapanuli Selatan. Kemudian dia berkahwin dengan puteri raja di tempat tersebut dan terkenal sebagai pandai besi yang mulia.

            Namora Pande Bosi dan isterinya yang bergelar Nan Tuan Layan Bolan mendapat dua orang anak lelaki yang diberi nama Sutan Borayun dan Sutan Bugis. (Dalam tarombo marga Lubis yang disusun oleh Raja Junjungan pada tahun 1897, ada juga tercatat bahawa nama isteri Namora Pande Bosi ialah Boru Dalimunte Naparila, artinya puteri Dalimnte yang pemalu).
Pada suatu ketika Namora Pande Bosi pergi meyumpit burung ke tengah hutan dan di sana dia bertemu dengan seorang puteri orang bunian dan mengahwininya. Menurut satu cerita, wanita itu adalah orang Lubu (orang asli). Dari perkahwinannya itu, Namora Pande Bosi mendapat dua orang anak lelaki kembar yang masing-masing diberi nama Si Langkitang dan Si Baitang. Ketika kedua anak tersebut masih dalam kandungan, Namora Pande Bosi meninggalkan isterinya dan kembali ke Hatongga.
Menjelang dewasa Si Langkitang dan Si Baitang pergi mencari bapa mereka dan menemukannya di Hatongga. Lalu mereka tinggal bersama keluarga bapa mereka di tempat tersebut.
Tidak beberapa lama kemudian, terjadilah perselisihan antara anak-anak Namora Pande Bosi itu dengan anak-anaknya bersama puteri raja Sigalangan.
Maka Namora Pande Bosi menyuruh anaknya Si Langkitang dan Si Baitang meninggalkan Hatongga. Mereka disuruhnya pergi ke daerah Mandailing dan jika mereka menemukan tempat di mana terdapat dua sungai yang mengalir dari dua arah yang tepat bertentangan (dalam bahasa Mandailing dinamakan muara patontang) di situlah mereka membuka tempat pemukiman baru.
Setelah lama mengembara akhirnya Si Langkitang dan Si Baitang menemukan muara patontang, lantas mereka membuka pemukiman baru di tempat itu.
Tidak lama setelah ditinggalkan anaknya Si Langkitang dan Si Baitang, Namora Pande Bosi meninggal dunia dan dimakamkan di Hatongga. Makam tersebutlah yang akan dipugar. Isterinya Nan Tuan Layan Bolon yang meninggal kemudian dimakamkan di satu tempat yang bernama Hombang Bide, kurang lebih 2km dari Hatongga. Makamnya masih ada di situ sampai sekarang.
Semua keturunan Si Langkitang dan Si Baitang yang menyebar di seluruh tanah Mandailing dan di tempat-tempat lain dikenali sebagai orang-orang Mandailing yang bermarga Lubis.
;Pada tahun 1963, makam Namora Pande Bosi ditemukan di Hatongga, dengan petunjuk dari keturunan Raja Sigalangan. Makam tokoh legendaris yang sangat terkenal itu terletak di tengah persawahan penduduk setempat.
Makam tersebut berada kurang lebih 2km jauhnya dari Jalan Raya Lintas Sumatra yang melalui desa Sigalangan, kurang lebih 14km jauhnya dari kota Padang Sidimpuan (ibu kota Kabupaten Tapanuli Selatan).
Atas usaha sejumlah orang Mandailing bermarga Lubis, kurang lebih 1.6km panjangnya jalan dari desa Sigalangan ke arah makam Namora Pande Bosi sudah dibangunkan sehingga dapat ditempuh dengan kenderaan bermotor (kereta). Tetapi jalan menuju ke makam tersebut, yang panjangnya kurang lebih 232 meter masih harus dibangun supaya dapat dilalui dengan berjalan kaki atau dengan menggunakan kenderaan.
Jika jalan yang panjangnya kurang lebih 232 meter tersebut sudah dibangun, maka para penziarah yang selalu banyak berdatangan mengunjungi Namora Pande Bosi, di antaranya dari Malaysia, akan mudah mendatangi makam yang dimuliakan itu. Menurut rencana jalan yang panjangnya 232 meter itu akan dibangun dengan lebar 3 meter.

Berikut ini diuraikan secara ringkas tiga jenis tari tradisional Mandailig, yaitu Sarama (Sarama Datu dan Sarama babiat), Moncak, dan Tortor.
1.      Sarama (Sarama Datu Dan Sarama Babiat
Dalam upacara ritual seperti paturun sibaso (marsibaso) atau disebut juga pasusur begu, tarian sarama diiringi oleh ensambel musik Gordang Sambilan, sedangkan penarinya satu orang yang dinamakan Sibaso, adalah tokoh Shaman dalam religi lama orang Mandailing yang disebut Si Pelebegu. Di masa lalu, upacara ritual paturun sibaso diselenggarakan manakala pada suatu huta atau banua terjadi musibah besar seperti mewabahnya penyakit kolera, dan musim kemarau atau sebaliknya musim penghujan yang berkepanjangan sehingga mengganggu aktivitas pertanian penduduk setempat, yang pada akhirnya akan menimbulkan kelaparan karena habisnya persediaan padi (beras) sebagai makanan pokok mereka Untuk mengatasi bala na godang (bencana besar) tersebut, mereka meminta pertolongan begu, yaitu roh-roh leluhur, melalui perantaraan sibaso karena menurut keyakinan mereka dahulu hanya sibaso inilah yang dapat berkomunikasi dengan begu. Upacara ritual paturun sibaso dahulu dilaksanakan di alaman bolak (halaman luas) dari Bagas Godang (istana raja), yang dihadiri oleh Raja, Namora Natoras, Si Tuan Najaji (penduduk setempat), dan seorang tokoh supranatural bernama Datu yang sangat besar peranannya, terutama untuk memimpin pelaksanaan upacara-upacara ritual.
Ketika itu, datu dipandang sebagai “gudang ilmu” karena ia memiliki berbagai macam kearifan tradisional (traditional wisdom) yang sangat dibutuhkan untuk kesempurnaan hidup komunitas huta atau banua.
Dalam upacara ritual paturun sibaso disediakan makanan khusus untuk sibaso, yaitu parlaslas, yang diletakkan di atas sebuah nampan antara lain berisi garing (ikan jurung) yang dibakar dan pege (lengkuas), serta ngiro (air nira) di dalam tanduk ni orbo (wadah yang terbuat dari tanduk kerbau). Setelah gordang sambilan dimainkan dengan gondang (repertoar musik) khusus bernama Mamele Begu, sibaso pun menari-nari dan kemudian mengalami kesurupan (trance). Dalam keadaan kesurupan ini, Si Baso meminta makan dan minum.
Setelah makan dan minum, Si Baso kembali menari-nari. Tidak lama kemudian, sang datu menghampiri sibaso untuk memberitahukan adanya suatu peristiwa bala na godang (musibah besar) yang sedang melanda penduduk, dan memohon kepada sibaso agar berkenan menanyakan apa penyebab dan bagaimana solusinya kepada begu karena penduduk sudah tidak mampu lagi untuk mengatasinya. Setelah itu, sibaso memberitahukan apa penyebab dan bagaimana caranya mengatasi musibah besar itu kepada sang datu. Setelah itu, sibaso pun terjatuh, lalu tidak sadarkan diri (pingsan). Beberapa saat kemudian ia pun sadar kembali seperti semula, yakni keadaannya sebelum upacara ritual tersebut dimulai.

2.      Moncak
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhHR1dyMpwpz4-GIpNwO_nW4pOq5R-s427qWo6Yb2FRBJAlLIBgJB9X9tQ_i7R4aJkMpDWLe6-ijuBjyKZ86LhXCcR-Xdog_GZqBETfeQXKfl1S4ougpIhJS6su7JaPiMXCc3x944PaWx8/s320/moncak.jpg
Pencak silat di Mandailing dinamakan Moncak, namun adakalnya disebut juga dengan istilah Cilek yang artinya “silat”. Baik di Mandailing Godang maupun Mandailing Julu cukup banyak perguruan silat. Di daerah Batang Natal (Mandailing Godang) terdapat satu perguruan silat yang cukup terkenal karena guru dan murid-muridnya pemain silat yang tangguh dan hebat dengan jurus-jurus yang mematikan. Mereka dilatih oleh sang guru di suatu tempat bernama Dolok Sigantang. Oleh sebab itulah mereka disebut Parsigantang dan nama jurus-jurus silatnya dinamakan pula Si Gantang.
Sementara di Mandailing Julu pun terdapat banyak perguruan silat. Dua diantaranya yang cukup kesohor adalah perguruan silat yang ada di Saba Garabak (Huta Pungkut Jae) dan Muara Pungkut. Di samping marmoncak (bermain silat) dengan tangan kosong, murid-murid yang belajar pencak silat di Saba Garabak juga menggunakan podang (pedang) dan oris (keris). Sementara perguruan pencak silat yang ada di Muara Pungkut cukup terkenal pula karena para muridnya diajari jurus-jurus silat khusus yang disebut Linto (artinya "lintah"), dimana gerakan-gerakan kaki mereka sewaktu bermain pencak silat mirip seperti lintah (pacet). Selain itu, murid-murid dari kedua perguruan pencak silat tersebut juga mempelajari ilmu kebatinan, yaitu “aji-aji” (jampi-jampi) tertentu, yang "diamalkan" dalam suatu pertandingan atau pertarungan untuk dapat mengalahkan pihak lawan. 

3.      Tortor
Kalau diperhatikan keadaan alam sekitar kawasan Mandailing, di bagian utara terdapat dataran rendah yang cukup luas dan dijadikan areal persawahan oleh penduduk setempat, sedangkan di bagian selatan umumnya daerah perbukitan (dataran tinggi), adalah bagian dari Bukit Barisan yang ada di sepanjang Pulau Sumatera. Di sana sebuah bukit dinamakan tor, dan bukit-bukit itu mereka beri nama, seperti Tor Sijanggut di Huta Pungkut dan Tor Siojo di sebelah barat dari Pasar Kotanopan. Bagian lembah (dataran rendah) dari Tor Siojo tersebut merupakan areal persawahan yang cukup luas dan di daerah-daerah tertentu digunakan sebagai tempat-tempat pemukiman oleh penduduk setempat. Seperti Aek Kapesong, Ranggasoli, Jambur Tarutung, Sindang Laya dan Sawahan, adalah tempat-tempat pemikiman yang tergolong banjar.
Berdasarkan luas dan kepadatan penduduknya, tempat-tempat pemukiman di Mandailing mulai dari yang terkecil disebut pagaran, lebih besar dari pagaran dinamakan banjar, dan yang lebih besar dari banjar dinamakan lumban. Kesemua jenis tempat-tempat pemukiman tersebut terdapat dalam satu kesatuan wilayah yang dinamakan huta atau banua. Di Mandailing, setiap huta memiliki kesatuan wilayahnya sendiri dan memiliki sistem pemerintahan sendiri (otonom) di bawah kepemimpinan Namora Natoras yang dikepalai seorang raja yaitu Raja Pamusuk.  
Sedangkan gabungan dari beberapa huta, yang masing-masing awalnya berasal dari dan direstui pembentukannya oleh huta induk (mother village) dengan suatu “persekutuan hukum” (adattrechts gemeenschap, istilah dalam bahasa Mandailing adalah Janjian). Gabungan dari beberapa huta atau banua (Janjian) ini juga dipimpin oleh Namora Natoras namun dikepalai seorang raja yang bergelar Raja Panusunan Bulung. Di masa lalu, gabungan dari beberapa huta yang dikepalai oleh Raja Panusunan Bulung (Janjian) tersebut, adalah “kerajaan-kerajaan kecil” yang cukup banyak terdapat di Mandailing, baik di kawasan Mandailing Godang maupun Mandailing Julu.

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjlYWzFat5PVqAfvOA80v0V8TPmNSxyNwSlwYiPFjNGGiPt-WGR5Dx-L6s3MSuKhnp2EssUWgYXulYizVBTBCQbgI8z_Se5eh_yzBccYNPrdwYjsW-K6mflwmfGGn0CiySMqBGioOMrPi0/s320/tortor+tamiang.jpg
Suku-bangsa Mandailing memiliki sistem sosial yang dinamakan Dalian Na Tolo, yang menumpukan kehidupannya kepada tiga kelompok kekerabatan yang bersifat fungsional yaitu mora, kahanggi, dan anakboru. Dalam hal ini, mora adalah “pihak yang memberikan anak gadis” dan sebaliknya anakboru adalah “pihak yang menerima anak gadis”, sedangkan kahanggi adalah orang-orang yang bermarga sama (disebut juga sisolkot) karena berasal dari satu ompu persadaan (nenek moyang) yang sama. Seperti marga Nasution memiliki ompu parsadaan bernama Si Baroar, dan Namora Pande Bosi adalah ompu parsadaan dari orang-orang Mandailing yang bermarga Lubis.
Selain memiliki sistem kekerabatan yang terpola dengan menganut penarikan garis keturunan berdasarkan ayah (patrilineal), di dalam masyarakat Mandailing juga terdapat stratifikasi (pelapisan) sosial yang telah berlangsung secara turun-temurun dalam tiga lapisan. Pertama, Namora-mora adalah golongan bangsawan. Kedua, alak na jaji atau si tuan na jaji adalah orang kebanyakan atau rakyat biasa. Ketiga, hatoban atau partangga bulu adalah hamba sahaya. Mereka yang tergolong hatoban disebabkan oleh beberapa hal, antara lain karena tidak mampu membayar utang, sengaja dibeli untuk diperhamba, dan takluk (kalah) dalam peperangan. Namun di beberapa huta dan janjian terdapat satu lapisan lagi yang disebut natoras-toras, adalah pemuka-pemuka masyarakat (kaum cerdik-pandai) yang tidak berstatus sebagai kaum bangsawan (namora-mora), dan bukan pula rakyat biasa (alak na jaji). Kaum bangsawan di Mandailing mudah dikenali karena mereka menyandang gelar Raja, Sutan, Mangaraja, atau Baginda. Di samping itu, tempat tinggal (rumah) mereka disebut bagas na martanduk atau bagas na marbolang karena dihiasi dengan ornamen-ornamen tradisional yang khas, sehingga tampak jelas berbeda dengan rumah-rumah penduduk biasa di suatu huta.
Seni tari yang disebut tortor memiliki keterkaitan yang sangat erat sekali dengan sistem religi kuno orang Mandailing, yaitu Si Pelebegu. Hal ini ditunjukkan dengan adanya satu ungkapan tradisional (istilah), yaitu somba do mulo ni tortor, yang secara harafiah artinya “asal-mula tortor adalah sembah”.
Dalam hal ini, somba (sembah) atau persembahan ditujukan kepada roh-roh leluhur (begu) yang dipercayai memiliki kekuatan gaib dan berpengaruh besar terhadap berbagai aspek kehidupan mereka. Di masa lalu, roh-roh para leluhur (begu) tersebut diyakini ada yang bersemayam di tempat-tempat tertentu di dalam hutan (naborgo-borgo), goa (guo), di gunung, perbukitan (tor), pohon-pohon besar (ayu ara), dan sebagainya. Namun, sistem religi Si Pelebegu ini sekarang tidak banyak lagi yang diketahui oleh orang-orang Mandailing sendiri, terlebih-lebih lagi mengingat sebagian besar orang Mandailing sudah sejak lama menganut agama Islam dan membuang kepercayaan lama tersebut karena bertentangan dengan ajaran-ajaran agama mereka. Begitupun, kepercayaan kuno tersebut masih meninggalkan bekas-bekasnya, seperti adanya istilah Si Pelebegu, ungkapan somba do mulo ni tortor, patung yang terbuat dari batu atau kayu bernama tagor dan sangkalon, repertoar musik dalam ritus pasusur begu bernama gondang mamele begu, dan lain-lain.
Mengapa salah satu tari tradisional mereka ini dinamakan tortor? Jawabanya tidak diketahui secara pasti. Begitu pula kalau perkataan tortor ditinjau dari segi arti harafiahnya.
Sementara perkataan “tortor” pun tidak banyak ditemukan dalam “perbendaharaan kata” bahasa Mandailing. Namun ada yang mengatakan bahwa istilah “tortor” yang digunakan sebagai nama dari salah satu tari tradisional itu diduga berasal dari kata “tor tu tor”, artinya “dari satu bukit ke bukit-bukit yang lainnya”, yang kemudian berubah (disingkat) menjadi  “tortor”. Dalam hal ini, mungkin dapat ditafsirkan dari sudut pandang lain, bukan berdasarkan arti harafiahnya. Karena sebagaimana diketahui bahwa di dataran tinggi Mandailing, terutama di kawasan Mandailing Julu, terdapat banyak tor dan masing-masing memiliki nama sendiri. Kalau diperhatikan istilah “tor tu tor” tersebut, juga dapat mengandung pengertian yang melukiskan suatu keadaan atau hal-hal tertentu, di mana dari bukit yang satu ke bukit-bikit lainnya kelihatan tampak seperti “garis” yang turun-naik, berbentuk sejumlah “segi-tiga” yang berjejer, yang pada dasarnya mirip seperti salah satu gerakan dalam tortor. Sewaktu para penari sedang manortor (menarikan tortor), tubuh mereka tampak seperti “naik-turun”, dengan cara menekuk kaki untuk mengikuti irama gondang (gendang), dan seirama pula dengan gerakan dari kedua belah tangan masing-masing seperti orang yang sedang marsomba (menyembah).

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj0tyH6yzleZTuvHspx8xcYY32rfzFz5BsKDvmpM1XDHgy8MdIWp0mHN3mVgAh0v4jCtmD_t1EZJhkXZT6NnU2C7lu2wFEKtuqOoEOL8Otj7fecuYT4ovjgVfVSUpQV_6TFEaJanaF4rvE/s320/tortor3.jpg   
Dalam setiap kegiatan manortor terdapat dua kelompok yang masing-masing orang berpasangan. Kelompok pertama berjejer di barisan terdepan, sedangkan kelompok kedua berjejer pula tepat di belakang kelompok pertama. Kelompok kedua ini disebut “pangayapi” atau “panyembar”, dan kelompok pertama disebut “na iayapi” atau “na isembar”. Kelompok pertama yang berada di barisan terdepan ini merupakan orang-orang atau kelompok kekerabatan yang dihormati oleh orang-orang yang berada di barisan belakang (kelompok kedua). Sesuai dengan ketentuan adat masyarakat Mandailing, ada beberapa jenis tortor yang didasarkan kepada status atau kedudukan sosial dari orang-orang yang manortor yaitu: (1) Tortor Raja Panulusan Bulung; (2) Tortor Raja-Raja; (3) Tortor Suhut; (4) Tortor Kahanggi Suhut; (5) Tortor Mora; (6) Tortor Anakboru; (7) Tortor Namorapule; dan (8) Tortor Naposo Nauli Bulung.
Pelaksanaan Tortor Mora dalam upacara adat perkawinan (Haroan Boru) misalnya, yang manortor di barisan terdepan (kelompok pertama, na iayapi) adalah orang-orang yang berstatus sebagai Mora dari pihak yang melaksanakan upacara adat perkawinan (disebut Suhut), sedangkan di barisan belakang (kelompok kedua, pangayapi) adalah Suhut yang ketika itu berstatus sebagai Anakboru.

Kalau dalam Tortor Anakboru, di barisan terdepan (na iayapi) adalah orang-orang yang berstatus sebagai Anakboru dalam pelaksaanaan ucapara adat perkawinan tersebut, maka orang-orang yang berada di barisan belakang (pangayapi) adalah “Anakboru ni Anakboru” (Anakboru dari Anakboru itu sendiri) yang disebut Kijang Jorat. Dalam pelaksanaan kedua jenis tortor ini, kesemuanya adalah kaum laki-laki. Namun lain halnya dengan pelaksanaan Tortor Naposo Nauli Bulung, yang di barisan terdepan (na isembar) adalah para anak gadis yang memiliki marga yang sama misalnya Nasution, maka di barisan belakang (pangayapi) adalah para pemuda yang (harus) bermarga lain misalnya Lubis, atau sebaliknya para anak gadis di barisan depan (na isembar) bermarga Nasution, sedangkan dibarisan belakang (panyembar) harus bermarga Lubis, atau marga-marga lain seperti Rangkuti, Pulungan, Matondang, Daulae, dan Batubara. Pokoknya para pemuda dan pemudi yang manortor secara berpasang-pasangan tersebut tidak boleh memiliki marga (clan) yang sama. Idealnya, nauli bulung (anak gadis) sebagai pasangan naposo bulung (pemuda) adalah boru tulang yaitu anak gadis dari mora (calon mertua) si pemuda.
Gerakan kaki antara kelompok kedua (pangayapi) dan kelompok pertama (na iayapi) tampak sangat jelas berbeda ketika manortor. Kelompok pertama (barisan terdepan) bergerak ke arah kanan atau kiri dengan menggerakkan ujung jari-jari kaki yang disebut manyerser, sedangkan kelompok kedua (barisan belakang) bergerak dengan cara melangkah yang disebut mangalangka. Kalau kelompok pertama (na isembar) bersikap seperti orang yang sedang menyembah (marsomba) ketika manortor, sementara masing-masing orang dari kelompok kedua (panyembar) bersikap seperti alihi (burung elang) yang seakan-akan sedang “melindungi” (memuliakan) pasangannya yang bergerak ke arah samping kiri ataupun kanan, di mana kedua belah tangannya “terbuka di depan dada” yang tingginya di bawah bahu, yang terkadang “oleng” ke kiri dan ke kanan untuk mengikuti arah gerakan kelompok pertama (na isembar). Dalam kegiatan manortor ini, para panortor terlebih dahulu manortor di tempat dengan menghadap ke arah depan. Setelah itu, mereka bergerak ke arah samping kanan, lalu kembali manortor ke arah depan. Kemudian bergerak ke arah samping kiri, dan kembali lagi ke formasi awal, yaitu manortor di tempat dengan menghadap ke arah depan. Biasanya, gerakan manortor ke arah kanan dan kiri tersebut dilakukan sebanyak tiga kali, dan setelah itu mereka kemudian membentuk formasi baru yaitu “melingkar” dan beberapa saat kemudian kembali lagi ke formasi semula, lalu bergerak lagi ke arah samping kanan dan kiri. Selanjutnya kembali lagi ke formasi awal, dan akhirnya kegiatan manortor pun usai.

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhux27RVmBdxMYkRCSUH2cDzJGurFTu0SoO-FD0P2RFM1EJhOFHyUCFzwUO3D4EOm1x2aQMUGUocVrYH0i8153jy8HrBWzAYvdXpYtvuMEkCg79oK4CPCr7L18fIRWczsBKVhOYiY6d27o/s320/tortor1.jpg   
Kegiatan manortor dalam Orja Siriaon (upacara adat perkawinan) dan Orja Siluluton (upacara adat kematian) menggunakan dua jenis gondang (repertoar musik) yang berbeda, yaitu gondang sabe-sabe yang bertempo cepat (isar) digunakan sebagai “pembuka” kegiatan manortor, dan gondang tortor yang bertempo lambat (erer) digunakan untuk mengiringi kegiatan manortor selanjutnya. Ketika gondang sabe-sabe dimainkan, di galanggang panortoran (tempat khusus untuk manortor) hadir seorang laki-laki dengan gerakan sarama (manyarama) mendekati para panortor dengan membawa sehelai “kait adat” (Abit Sende atau Patani) yang direntangkan pada kedua belah tangannya. Setelah berada di dekat panortor, barulah “kain adat” tersebut diletakkannya pada bagian pundak dari salah seorang panortor. Hal ini dilakukannya kepada semua orang yang akan manortor. Setelah selesai untuk itu, barulah gondang tortor dimainkan, dan tindak lama kemudian kegiatan manortor pun dimulai.


Sewaktu manortor ini berlangsung, seorang laki-laki yang bertindak sebagai Panjeir menyanyikan sebuah lagu khusus untuk tortor, yaitu Jeir. Dan pada akhir kegiatan manortor, para panortor selalu meneriakkan kata Horas, yang kemudian disambut pula oleh orang-orang yang hadir berkumpul di situ dengan teriakan kata yang sama.
 
BAB V
ETNIS PESISIR
Etnis Batak Pesisir disebut juga sebagai etnis Pasisi atau etnis Pesisi, adalah salah satu etnis yang terdapat di kota Sibolga dan Tapanuli Tengah. Masyarakat etnis Batak Pesisir ini, hidup di sepanjang pesisir pantai sebelah barat Sibolga dan Tapanuli Tengah.
Etnis Batak Pesisir ini sebenarnya berawal dari suku Batak Toba, Mandailing dan Angkola yang telah menetap di Sibolga dan Tapanuli Tengah, sejak beratus-ratus tahun yang lalu. Setelah sekian lama terjadi pembauran dari ketiga suku Batak ini, maka datanglah imigran lain yang berasal dari Minangkabau dan Melayu dari pesisir Timur Sumatra, lalu terjadi perkawinan-campur di antara ke 5 suku bangsa ini.  Dari percampuran ke 5 suku bangsa ini lah terbentuk suatu komunitas yang disebut sebagai suku Pesisir. Pada awalnya mereka berbicara menggunakan bahasa Batak, tetapi setelah berabad-abad tercampur dengan budaya Minang dan Melayu, maka akhirnya bahasa merekapun berubah dan berganti menjadi bahasa Pesisir, seperti yang mereka ucapkan sehari-hari saat ini.


Adat dan kebudayaan yang diamalkan oleh suku Batak Pesisir ini, lebih banyak dipengaruh budaya Melayu. Pada awalnya suku Batak Pesisir ini lebih suka kalau disebut sebagai orang Melayu Pesisir saja, tetapi belakangan ini, tidak sedikit dari mereka yang tidak menolak disebut sebagai suku Batak Pesisir. Bahkan belakangan ini sebagian dari masyarakat suku Pesisir ini mulai mencantumkan kembali marga-marga lamanya seperti Pohan, Siregar, Sitompul, Tanjung, Pasaribu dan lain-lain. (salah satu putra dari suku Batak Pesisir ini adalah Pak Akbar Tanjung).

Bahasa Pesisir adalah bahasa yang dipergunakan masyarakat Batak Pesisir di Tapanuli Tengah dan Sibolga, yang menjadi bahasa percakapan dalam pergaulan sehari-hari. Bahasa Pesisir ini agak unik, karena bahasa Pesisir ini adalah hasil gabungan dari 3 bahasa, yaitu dari bahasa Batak Mandailing, Minangkabau dan Melayu. Jadi suku Pesisir ini sebenarnya adalah orang Batak yang berbahasa Melayu. Hal ini mirip seperti masyarakat Batak di Rokan Hulu provinsi Riau atau masyarakat Rao di kabupaten Pasaman Sumatra Barat.
Keberadaan suku Pesisir ini, mungkin belum banyak dikenal oleh masyarakat lain di pulau Jawa
atau daerah-daerah lain di luar provinsi Sumatra Utara. Tetapi sebenarnya, suku Pesisir ini telah eksis selama beratus-ratus tahun di wilayah Sibolga dan Tapanuli Tengah, dan berdiri sejajar dengan etnis-etnis lain seperti suku Toba, Mandailing, Angkola, Minangkabau dan Melayu.

Kehidupan masyarakat Pesisir pada umumnya adalah sebagai nelayan. Tetapi tidak sedikit yang telah bekerja di sektor pemerintahan dan swasta. Selain itu pada sektor pendidikan juga banyak yang telah berhasil mencapai Universitas. Kehidupan lain yang dijalani oleh masyarakat suku Pesisir ini, adalah sebagai guru, pedagang, wiraswasta dan lain-lain.

Berikut beberapa etnis Melayu Pesisir Timur.
  • Etnis Melayu Pesisir Langkat,
    berbaur dengan suku Karo, Malaysia dan Aceh. Kebanyakan suku ini terdapat di kecamatan Stabat dan Tanjung Pura di kabupaten Langkat.
    Saat ini suku ini tergabung dalam kelompok suku Melayu Langkat.
    Berbicara menggunakan bahasa Melayu dialek "e"
  • Etnis Melayu Pesisir Deli,
    berbaur dengan suku Karo, Toba, Arab, Malaysia. Kebanyakan suku ini terdapat di kabupaten Deli Serdang.
    Saat ini suku ini tergabung dalam kelompok suku Melayu Deli.
    Berbicara menggunakan bahasa Melayu, yang mirip dengan bahasa Indonesia, hanya lebih cepat dan singkat.
  • Etnis Melayu Pesisir Serdang,
    berbaur dengan suku Toba dan Minang. Kebanyakan suku ini terdapat di kecamatan Perbaungan dan Pantai Cermin.
    Berbicara menggunakan bahasa Melayu dialek "o".
  • Etnis Melayu Pesisir Tebing Tinggi,
    berbaur dengan suku Simalungun, Karo, Toba dan Minang, kebanyakan berada di wilayah Tebing Tinggi.
    Berbicara menggunakan bahasa Melayu dialek "o"
  • Etnis Melayu Pesisir Asahan,
    berbaur dengan suku-suku Toba, Mandailing, Minang. Kebanyakan suku ini terdapat di kotamadya Tanjung Balai, Kisaran, desa Simpang Tiga kecamatan Labuhan Ruku, desa Lima Laras dan desa Ujung Kubu kecamatan Tanjung Tiram.
    Berbicara menggunakan bahasa Melayu dialek "o".
  • Etnis Melayu Pesisir Labuhan Batu,
    berbaur dengan suku-suku Toba, Mandailing, Lubu, Rao, Minang dan Riau. Kebanyakan suku ini terdapat di daerah Rantau Prapat, Tanjung Medan, Kota Pinang dan Negeri Lama kecamatan Bilah.
    Berbicara menggunakan bahasa Melayu dialek "o", tapi dengan ragam bahasa yang agak berbeda.
Etnis Batak Pesisir ini memiliki beberapa kesenian budaya yang cukup populer di kalangan masyarakat di Sumatra Utara, yaitu:
  • Dampeng
  • Tari Payung
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi6WVGRzFhyphenhyphen216haK_BZTyAp-twlBm2bci0W9xVBAJ-BE2DxJ9BBORphTj9L-W6ttPqnYlK6PGyy3sP6kdByNl80sjD31v4nfi5AY-4NgAB0TQ3rKD7IR8z5Lb9E9PxjxdsTZr8-omSVH-S/s1600/batak+singkil+-+dampeng.jpghttps://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgk5PGe-Ox9NIrDq8inXeQo_jObrvPWQSD9FqTOjmEwsk8xLnLC8QE4a3w6V9OdrfwhCKdFKcTmKWP0eneZcBzyAajyejotnSTeojkudTNwoXz3looPYT5O_HS1YQtUk94MYPxxuQLfPzbi/s1600/Tari+Pesisir+Payung.jpg


BAB VI
ETNIS SIMALUNGUN
Etnis Simalungun adalah salah etnis yang berada di provinsi Sumatera Utara, Indonesia, yang menetap di Kabupaten Simalungun dan sekitarnya. Beberapa sumber menyatakan bahwa leluhur etnis ini berasal dari daerah India Selatan. Sepanjang sejarah etnis ini terbagi ke dalam beberapa kerajaan. Marga asli penduduk Simalungun adalah Damanik, dan 3 marga pendatang yaitu, Saragih, Sinaga, dan Purba. Kemudian marga marga (nama keluarga) tersebut menjadi 4 marga besar di Simalungun.
Orang Batak menyebut suku ini sebagai suku "Si Balungu" dari legenda hantu yang menimbulkan wabah penyakit di daerah tersebut, sedangkan orang Karo menyebutnya Timur karena bertempat di sebelah timur mereka

Asal-usul
Terdapat berbagai sumber mengenai asal usul Etnis Simalungun, tetapi sebagian besar menceritakan bahwa nenek moyang etnis Simalungun berasal dari luar Indonesia.
Kedatangan ini terbagi dalam 2 gelombang :
1.      Gelombang pertama (Simalungun Proto ), diperkirakan datang dari Nagore (India Selatan) dan pegunungan Assam (India Timur) di sekitar abad ke-5, menyusuri Myanmar, ke Siam dan Malaka untuk selanjutnya menyeberang ke Sumatera Timur dan mendirikan kerajaan Nagur dari Raja dinasti Damanik.
2.      Gelombang kedua (Simalungun Deutero), datang dari suku-suku di sekitar Simalungun yang bertetangga dengan suku asli Simalungun.
Pada gelombang Proto Simalungun di atas, Tuan Taralamsyah Saragih menceritakan bahwa rombongan yang terdiri dari keturunan dari 4 Raja-raja besar dari Siam dan India ini bergerak dari Sumatera Timur ke daerah Aceh, Langkat, daerah Bangun Purba, hingga ke Bandar Kalifah sampai Batubara.
Kemudian mereka didesak oleh suku setempat hingga bergerak ke daerah pinggiran danau Toba dan Samosir.
Pustaha Parpandanan Na Bolag (pustaka Simalungun kuno) mengisahkan bahwa Parpandanan Na Bolag (cikal bakal daerah Simalungun) merupakan kerajaan tertua di Sumatera Timur yang wilayahnya bermula dari Jayu (pesisir Selat Malaka) hingga ke Toba. Sebagian sumber lain menyebutkan bahwa wilayahnya meliputi Gayo dan Alas di Aceh hingga perbatasan sungai Rokan di Riau.
Kini, di Kabupaten Simalungun sendiri, Akibat derasnya imigrasi, suku Simalungun hanya menjadi mayoritas di daerah Simalungun Atas.
Sistem mata pencaharian orang Simalungun yaitu bercocok tanam dengan padi dan jagung, karena padi adalah makanan pokok sehari-hari dan jagung adalah makanan tambahan jika hasil padi tidak mencukupi. Jual-beli diadakan dengan barter, bahasa yang dipakai adalah bahasa dialek. "Marga" memegang peranan penting dalam soal adat Simalungun. Jika dibandingkan dengan keadaan Simalungun dengan suku Batak yang lainnya sudah jauh berbeda.

A. Kesenian/Kebudayaan
Toping-toping dan tangis tangis adalah jenis tarian tradisional dari suku Batak Simalungun yang dilaksanakan pada acara duka cita di kalangan keluarga Kerajaan. Toping-toping atau huda-huda ini terdiri dari 3 (tiga)m bagian, bagian pertama yaitu huda-huda yang dibuat dari kain dan memiliki paruh burung enggang yang menyerupai kepala burung enggang yang konon menurut cerita orang tua bahwa burung enggang inilah yang akan membawa roh yang telah meninggal untuk menghadap yang kuasa, bagian yang kedua adalah manusia memakai topeng yang disebut topeng dalahi dan topeng ini dipakai oleh kaum laki-laki dan wajah topeng juga menyerupai wajah laki-laki dan kemudia topeng daboru dan yang memakai topeng ini adalh perempuan karena topeng ini menyerupai wajah perempuan (daboru). Pada tanggal 06 s/d 08 Agustus 2009 tepatnya di Kota Perdagangan Pematang Siantar diadakan acara yang disebut dengan Pasta Rondang Bintang, acara ini dilaksanakan secara rutin setiap tahunnya. Dalam acara ini digelar berbagai kegiatan seni dan budaya diantaranya berbagai jenias tari daerah Simalungun, Festival Lagu daerah, permainan tradisional (Jelengkat atau enggrang) dan Festival Toping-toping dan tangis-tangis.
Festival toping-toping dan tangis-tangis ini diadakan pada acara Pesta Rondang Bintang dengan tujuan untuk mengangkat dan mengembangkan kembali peranan toping-toping atau tangis-tangis yang biasanya dilaksanakan pada saat acara duka cita di daerah Simalungun. Pada Zaman dahulu penampilan huda-huda atau toping-toping dan tangis-tangis hanya dilaksanakan dikalangan keluarga kerajaan saja dan karena sekarang keberadaannya sudah tidak ada lagi, maka akan diaktifkan kembali dalam kehidupan sehari hari. Dari sekian lama Pesta Rondang Bintang dilaksanakan baru kali ini diadakan festival toping-toping dan tangis-tangis karena dari pengamatan dan pantauan dilapangan sudah sangat jarang dan biasanya acara ini juga dilaksanakan jika orang yang punya hajatan adalah orang yang sudah saur matua atau orang yang sudah lengkap anak, cucu dari masa tuanya.










Dengan keragaman budaya yang ada di Indonesia, tentanya kebudayaan ini sangatlah penting arti dan manfaatnya dimasa mendatang, oleh sebab itu diharapkan hendaklah kita dapat melestarikan budaya peninggalan nenek moyang kita yang diwariskan kepada kita dan anak cucu kita. Kalau ditinjau dari segi jenis tarian dan kebudayaan, tari toping-toping dan tangis-tangis ini tidak dapat kita jumpai dimanapun terkecuali di daerah Simalungun dan ini akan menjadi aset atau kekayaan budaya daerah Simalungun khususnya dan Sumatera Utara juga Indonesia pada umumnya, oleh sebab itu marilah kita menjaga dan mengembangkan kekayaan budaya yang kita miliki.

Tangis-tangis (mangandung/menangisi orang yang telah maninggal)topingtoping dan tangistangisPeralatan musik pada acara pestaTari Toping-toping


BAB VII
ETNIS NIAS
Etnis Nias adalah kelompok masyarakat yang hidup di pulau Nias. Dalam bahasa aslinya, orang Nias menamakan diri mereka "Ono Niha" (Ono = anak/keturunan; Niha = manusia) dan pulau Nias sebagai "Tanö Niha" (Tanö = tanah).
Masyarakat Nias adalah masyarakat yang hidup dalam lingkungan adat dan kebudayaan yang masih tinggi. Hukum adat Nias secara umum disebut fondrakö yang mengatur segala segi kehidupan mulai dari kelahiran sampai kematian. Masyarakat Nias kuno hidup dalam budaya megalitik dibuktikan oleh peninggalan sejarah berupa ukiran pada batu-batu besar yang masih ditemukan di wilayah pedalaman pulau ini sampai sekarang. Kasta : Suku Nias mengenal sistem kasta(12 tingkatan Kasta). Dimana tingkatan kasta yang tertinggi adalah "Balugu". Untuk mencapai tingkatan ini seseorang harus mampu melakukan pesta besar dengan mengundang ribuan orang dan menyembelih ribuan ekor.

Makanan Khas

  • Gowi Nihandro (Gowi Nitutu ; Ubi tumbuk)
  • Harinake (daging babi cincang dengan cacahan yang tipis dan kecil-kecil)
  • Godo-godo (ubi / singkong yang diparut, dibentuk bulat-bulat kemudian direbus setelah matang di taburi dengan kelapa yang sudah di parut)
  • Köfö-köfö(daging ikan yang dihancurkan, dibentuk bulat dan dijemur/dikeringkan/diasap)
  • Ni'owuru (daging babi yang sengaja diasinkan agar bisa bertahan lama)
  • Rakigae (pisang goreng)
  • Tamböyö (ketupat)
  • löma (beras ketan yang dimasak dengan menggunakan buku bambu)
  • gae nibogö (pisang bakar)
  • Kazimone (terbuat dari sagu)
  • Wawayasö (nasi pulut)
  • Gulo-Gulo Farö (manisan dari hasil sulingan santan kelapa)
  • Bato (daging kepiting yang dipadatkan dalam bentuk bulat agar dapat bertahan lama; terdapat di Kepulauan Hinako)
  • Nami (telur kepiting dapat berupa nami segar atau yang telah diasinkan agar awet, dapat bertahan hingga berbulan-bulan tergantung kadar garam yang ditambahkan)

Peralatan Rumah Tangga di Nias

  • Bowoa tanö - periuk dari tanah liat, alat masak tradisional
  • Figa lae - daun pisang yang dipakai untuk menjadi alas makanan
  • Halu (alat menumbuk padi) - Alu
  • Lösu - lesung
  • Gala - dari kayu seperti talam
  • Sole mbanio - tempat minum dari tempurung
  • Katidi - anyaman dari bambu
  • Niru (Alat untuk menapik beras untuk memisahkan dedak)

Amaedola Nias

  • Hulö ni femanga mao, ihene zinga (Bagaikan kucing yang sedang makan di mulai dari pinggiran) Artinya: Dalam melakukan sesuatu hal, di mulai dengan hal yang mudah ke yang sulit.
  • Hulö la'ewa nidanö ba ifuli fahalö-halö (Bagaikan air di potong-potong tetap bersatu kembali) Artinya: Sesuatu yang tidak bisa untuk di pisahkan.
  • Abakha zokho safuria moroi ba zi oföna (Lebih dalam luka terakhir dari pada luka yang pertama) Artinya: Sesuatu tindakan akan sangat terasa pada akhirnya.

Minuman

  • Tuo nifarö (tuak) adalah minuman yang berasal dari air sadapan pohon nira (dalam bahasa Nias "Pohon Nira" = "töla nakhe" dan pohon kelapa (dalam bahasa Nias "Pohon Kelapa" = "töla nohi") yang telah diolah dengan cara penyulingan. Umumnya Tuo nifarö mempunyai beberapa tingkatan (bisa sampai 3 (tiga) tingkatan kadar alkohol). Dimana Tuo nifarö No. 1 bisa mencapai kadar alkohol 43%.
  • Tuo mbanua (minuman tuak mentah yang berasal dari air sadapan pohon kelapa atau pohon nira yang telah diberi 'laru' berupa akar-akar tumbuhan tertentu untuk memberikan kadar alkohol)
Budaya Nias
·         Fahombo (Lompat Batu)
·         Fatele/Foluaya(Tari Perang)
·         Maena (Tari berkoelompok)
·         Tari Moyo (Tari Elang)
·         Tari Mogaele
·         Fangowai (Tari sekapur sirih/penyambutan tamu)
·         Fame Ono nihalõ (Pernikahan)
·         Omo Hada (Rumah Adat)

Fame'e Tõi Nono Nihalõ (Pemberian nama bagi perempuan yang sudah menikah)
Fasösö Lewuö (Menggunakan adu bambu untuk menguji kekuatan pemuda Nias)
Dalam budaya Ono Niha (Nias) terdapat cita-cita atau tujuan rohani hidup bersama yang termakna dalam salam “Ya’ahowu” (dalam terjemahan bebas bahasa Indonesia “semoga diberkati”). Dari arti Ya’ahowu tersebut terkandung makna: memperhatikan kebahagiaan orang lain dan diharapkan diberkati oleh Yang Lebih Kuasa. Dengan kata lain Ya’ahowu menampilkan sikap-sikap: perhatian, tanggungjawab, rasa hormat, dan pengetahuan. Jika seseorang bersikap demikian, berarti orang tersebut memperhatikan perkembangan dan kebahagiaan orang lain : tidak hanya menonton, tanggap, dan bertanggungjawab akan kebutuhan orang lain (yang diucapkan : Selamat – Ya’ahowu), termasuk yang tidak terungkap, serta menghormatinya sebagai sesama manusia sebagaimana adanya. Jadi makna yang terkandung dalam “Ya’ahowu” tidak lain adalah persaudaraan (dalam damai) yang sungguh dibutuhkan sebagai wahana kebersamaan dalam pembangunan untuk pengembangan hidup bersama.

Bab VIII
Etnis Karo
Karo mendiami Dataran Tinggi Karo, Sumatera Utara, Indonesia. Etnis ini merupakan salah satu etnis terbesar dalam Sumatera Utara. Nama etnis ini dijadikan salah satu nama Kabupaten di salah satu wilayah yang mereka diami (dataran tinggi Karo) yaitu Tanah Karo. Suku ini memiliki bahasa sendiri yang disebut Bahasa Karo atau Cakap Karo. Pakaian adat etnis Karo didominasi dengan warna merah serta hitam dan penuh dengan perhiasan emas.
Karo dianggap sebagai bagian dari suku kekerabatan Batak, seperti kekerabatan Batak Toba, Batak Mandailing, Batak Simalungun, Batak Pak-Pak atau Dairi, dan Batak Karo. Namun kebanyakan masyarakat suku Karo menggap bahwa mereka bukanlah bagian dari kekerabatan Batak tersebut, tetapi Karo adalah suku yang berdiri sendiri.
Marga
Suku Karo memiliki sistem kemasyarakatan atau adat yang dikenal dengan nama merga silima, tutur siwaluh, dan rakut sitelu. Masyarakat Karo mempunyai sistem marga (klan). Marga atau dalam bahasa Karo disebut merga tersebut disebut untuk laki-laki, sedangkan untuk perempuan yang disebut beru. Merga atau beru ini disandang di belakang nama seseorang. Merga dalam masyarakat Karo terdiri dari lima kelompok, yang disebut dengan merga silima, yang berarti marga yang lima. Kelima merga tersebut adalah:
1. Karo-karo
2. Tarigan
3. Ginting
4. Sembiring
5. Perangin-angin

Kelima merga ini masih mempunyai submerga masing-masing. Setiap orang Karo mempunyai salah satu dari merga tersebut. Merga diperoleh secara otomatis dari ayah. Merga ayah juga merga anak. Orang yang mempunyai merga atau beru yang sama, dianggap bersaudara dalam arti mempunyai nenek moyang yang sama. Kalau laki-laki bermarga sama, maka mereka disebut (b)ersenina, demikian juga antara perempuan dengan perempuan yang mempunyai beru sama, maka mereka disebut juga (b)ersenina. Namun antara seorang laki-laki dengan perempuan yang bermerga sama, mereka disebut erturang, sehingga dilarang melakukan perkawinan, kecuali pada merga Sembiring dan Peranginangin ada yang dapat menikah diantara mereka.

Aksara Karo
Aksara Karo ini adalah aksara kuno yang dipergunakan oleh masyarakat Karo, akan tetapi pada saat ini penggunaannya sangat terbatas sekali bahkan hampir tidak pernah digunakan lagi.guna melengkapi cara penulisan perlu dilengkapi dengan anak huruf seperti o= ketolongen, x= sikurun, ketelengen dan pemantek
Tari tradisional
Suku Karo mempunyai beberapa tari tradisional, di antaranya:
• Piso Surit
• Lima Serangkai
• Terang Bulan

Kegiatan Budaya
• Merdang merdem = "kerja tahun" yang disertai "Gendang guro-guro aron".
• Mahpah = "kerja tahun" yang disertai "Gendang guro-guro aron".
• Mengket Rumah Mbaru - Pesta memasuki rumah (adat - ibadat) baru.
• Mbesur-mbesuri - "Ngerires" - membuat lemang waktu padi mulai bunting.
• Ndilo Udan - memanggil hujan.




• Rebu-rebu - mirip pesta "kerja tahun".
• Ngumbung - hari jeda "aron" (kumpulan pekerja di desa).
• Erpangir Ku Lau - Buang Sial.
• Raleng Tendi - "Ngicik Tendi" = memanggil jiwa setelah seseorang kurang tenang karena terkejut secara suatu kejadian yang tidak disangka-sangka.
• Motong Rambai - Pesta kecil keluarga - handai taulan untuk memanggkas habis rambut bayi (balita) yang terjalin dan tidak rapi.
• Ngaloken Cincin Upah Tendi - Upacara keluarga pemberian cincin permintaan dari keponakan (dari Mama ke Bere-bere atau dari Bibi ke Permain).
• Ngaloken Rawit - Upacara keluarga pemberian pisau (tumbuk lada) atau belati atau celurit kecil yang berupa permintaan dari keponakan (dari Mama ke Bere-bere) - keponakan laki-laki.

http://1.bp.blogspot.com/-cmG-ik2qgs0/T3xoYF_eJVI/AAAAAAAAABc/RpX53nhRKL8/s758/26522_341864244381_45072959381_3388948_919319_n.jpg

Komentar

Postingan populer dari blog ini

KUMPULAN JUDUL NOVEL DARI BERBAGAI ANGKATAN (20AN-2013)

Makalah Senam Lantai

Pidato Ketua Osis Dalam Peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW