MAKALAH 8 ETNIS SUMATERA UTARA
MAKALAH
ETNIS SUMATERA UTARA
D
I
S
U
S
U
N
OLEH
:
NAMA
: NANI CHAIRANI LESTARI LUBIS
GURU
PEMBIMBING : REFELINA PUSPITA, Spd
NIP :
196812111996032001
SMA
NEGERI 1 PLUS MATAULI PANDAN
Kata Pengantar
Puji syukur kehadirat
Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa. Bahwa saya masih diberikan nikmat sehat,
sehingga saya dapat menyelesaikan makalah ini yang membahas tentang “Etnis di
Sumatera Utara”
Tujuan dari pembuatan
makalah ini adalah, selain untuk memenuhi tugas, juga untuk berbagi referensi tentang
etnis-etnis di Sumatera Utara.
Saya mengucapkan
terimakasih kepada semua pihak yang telah banyak membantu dan membimbing,
sehingga saya dapat menyelesaikan makalah ini dengan lancar.
Saya
menyadari bahwa, makalah ini belum sempurna, maka dari itu kritik dan saran
yang membangun sangat saya harapkan untuk perbaikan pembuatan makalah
selanjutnya. Mudah-mudahan makalah sederhana ini bermanfaat bagi para pembaca. Terimaksih
Juli 2014
Nani Chairani Lestari Lubis
PENDAHULUAN
Sebelum kita
membahas tentang etnis di SumateraUtara, ada baiknya kita mengetahui sedikit
tentang Provinsi Sumatera Utara secara keseluruhan. Berikut ini data mengenai
Provinsi Sumatera Utara.
Sumatera
Utara
|
|||
|
|||
Peta lokasi Sumatera Utara
|
|||
Hari jadi
|
|||
Dasar hukum
|
UU 10/1948, UU 24/1956
|
||
Ibu kota
|
|||
Pemerintahan
|
|||
• Gubernur
|
|||
Luas
|
|||
• Total
|
72.981.23 km2 (28,178.21 mil²)
|
||
• Total
|
12.982.204
|
||
• Kepadatan
|
180/km2 (460/sq mi)
|
||
Demografi
|
|||
• Agama
|
|||
• Bahasa
|
|||
25
|
|||
8
|
|||
325
|
|||
5.456
|
|||
Situs web
|
Provinsi Sumatera Utara dihuni oleh berbagai
ragam etnis / suku bangsa, baik sebagai etnis asli, maupun etnis pendatang.
Etnis asli Sumatera Utara terdiri dari 8 (delapa) etnis yaitu:
·
Melayu
·
Pakpak
·
Batak
toba
·
Batak
angkola / Mandailing
·
Pesisir
·
Simalungun
·
Nias.
Sedangkan
etnis pendatang terdiri dari etnis :
·
Jawa
·
India
·
Padang
·
Arab
·
Aceh
·
Tionghoa


BAB I
ETNIS MELAYU
Suku Melayu adalah nama yang menunjuk pada
suatu kelompok yang ciri utamanya adalah penuturan bahasa Melayu. Suku Melayu bermukim di sebagian besar
Malaysia, pesisir timur Sumatera, sekeliling pesisir Kalimantan, Thailand Selatan, serta pulau-pulau kecil
yang terbentang sepanjang Selat Malaka dan Selat Karimata. Di Indonesia, jumlah suku Melayu sekitar 15%
dari seluruh populasi, yang sebagian besar mendiami propinsi Sumatera Utara,Riau, Kepulauan Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Bangka Belitung, danKalimantan Barat.[9]
Meskipun begitu, banyak pula masyarakat Minangkabau, Mandailing, danDayak yang berpindah ke wilayah pesisir timur Sumatra dan pantai barat
Kalimantan, mengaku sebagai orang Melayu. Selain di Nusantara, suku Melayu juga
terdapat di Sri Lanka, Kepulauan Cocos (Keeling) (Cocos Malays), danAfrika Selatan (Cape
Malays).
Peta
Persebaran Masyarakat Etnik Melayu

A.Kesenian
Dalam masyarakat
Melayu, seni dapat dibagi menjadi dua: seni persembahan (tarian, nyanyian,
persembahan pentas seperti makyong, wayang kulit, ghazal, hadrah, kuda kepang)
dan seni tampak (seni ukir, seni bina, seni hias, pertukangan tangan, tenunan,
anyaman dll). Permainan tradisi seperti gasing, wau, congkak, juga termasuk
dalam kategori seni persembahan. Kegiatan seni Melayu mempunyai identitas
tersendiri yang juga memperlihatkan gabungan berbaga-bagai unsur asli dan luar
- Tarian
Tari Persembahan adat Melayu
Tari Persembahan adalah Sebuah tari Melayu yang khusus
untuk menyambut tamu-tamu, Tak lengkap rasanya bila suatu acara khusus tidak
menampilkan tari persembahan ini.
Tari persembahan bisa dibilang tari sekapur sirih.
bila rentak irama gendangnya dipercepat,ini menandakan acara pemberian
sirih kepada tamu undangan dimulai, Begitulah sampai para penari beranjak
pergi.
- Nyanyian
Kumpulan Lagu-lagu daerah RiauLagu Daerah Riau – Riau
sebagai daerah kaya budaya dan seni sudah pasti memiliki lagu daerah sendiri.
Ada banyak lagu-lagu daerah Riau, mulai dari lagu berbahasa Melayu,
Kebanyakan lagu daerah Riau jarang diputar radio-radio
kota Pekanbaru, kecuali lagu-lagu sudah sangat populer seperti Lancang Kuning
yang memang maestronya lagu daerah Riau.
Lagu Seroja
Lagu Tuanku Tambusai
Lagu Lancang Kuning
Lagu Tanjung Katung
Lagu Selayang Pandang
Lagu Hangtuah
Lagu Bunga Tanjung
Lagu Soleram
Kutang Barendo, Lagu daerah Kampar
Moncik Badasi, Lagu daerah Kampar
Randai Lomak Diurang Katuju di Awak, Lagu daerah Taluk
Kuantan, Kuansing
- Musik tradisional
Gambus Melayu Riau, Seni Musik Tradisional
Gambus Melayu Riau, Seni Musik TradisionalGambus
Melayu Riau adalah salah satu jenis instrumental musik tradisional yang
terdapat hampir di seluruh kawasan Melayu.Pergeseran nilai spiritual dan
kebersamaan dalam masyarakat Melayu di Pekanbaru yang terjadi pada waktu ke
waktu menyebabkan perubahan pandangan masyarakat terhadap kesenian Gambus dan
Zapin.
kompang
talempong
- Upacara tradisional
Para ibu-ibu dan tetangga dekat sedang memasak
untuk acara Resepsi Pernikahan, biasanya diadakan di rumah mempelai perempuan.
Di Kabupaten pekanbaru dari zaman ninik mamak
terdahulu, apa bila ada saudara sekampung yang hendak menikah, maka keluarga
dari mempelai yang hendak menikah harus memanggil para tetangga kampung untuk
membantu kegiatan memasak yang dilakukan 3 hari ataupun sehari sebelum acara
resepsi pernikahan berlangsung (hitungan ini tergantung dari keluarga
mempelai), karena masyarakat kampar sejak dulu dikenal dengan cara bergotong
royong ini pula, maka di kampar jarang sekali yang melakukan “catering” untuk
acara pernikahan.
- Acara Shalawatan (Badiqiu)
Badiqiu merupakan suatu acara Budaya sakral yang
dilakukan oleh para tokoh-tokoh dan sesepuh adat pada malam hari sebelum acara
resepsi pernikahan dilakukan, agar acara pernikahan ini berlangsung dengan
hikmat dan keluarga yang baru menjadi keluarga yang utuh hingga akhir hayat.
- Acara Pengantaran Pihak Lelaki ke rumah Pihak
Perempuan (Ba’aghak)
Dengan dentuman Rebana dari para tokoh adat ini,
menambah kehikmatan nilai budaya yang sakral pada acara pengantaran Pihak
Lelaki ke rumah Pihak Perempuan, biasanya shalawatan selalu di kumandang kan
hingga akhirnya Pihak Lelaki sampai kerumah Pihak Perempuan.
Akhirnya Mempelai Lelaki sampai juga ke rumah Mempelai
Perempuan, dan mereka langsung dipertemukan kemudian di persandingkan.
- Cerita rakyat
Berikut kumpulan cerita rakyat dari berbagai daerah di
Riau diantara, Dumai, Indragiri Hilir dan Kota Pekanbaru.
- Cerita Rakyat Riau, Dumai: Putri ujuh
- Cerita Rakyat Riau, Inhil: Batu Batangkup
- Cerita Rakyat Riau: Si Lancang Kuning
- Cerita Rakyat Riau, Kota Pekanbaru – Putri Kaca
Mayang
- Cerita Rakyat Riau, Inhil – Batang Tuaka
- Cerita Rakyat Riau, Kuansing – Ombak Nyalo Simutu
Olang
- Permainan rakyat
Permainan Tradisional Daerah Riau, GasingPermainan
Tradisonal Riau
Apa permainan tradisional daerah Riau?. Jika Anda
adalah orang Riau apalagi orang Melayu pasti sudah tahu, atau pernah memainkan,
atau malah membuatnya.
Ya, mianan tradisional Riau, salah satunya, adalah
gasing. Tidak jelas kapan pertama kalinya orang-orang memainkan gasing. Memang
permainan tradisional di daerah Riau tidak hanya gasing, namun nyatanya
gasinglah yang paling populer.
Gasing banyak banyak dimainkan di daerah Riau
kepulauan seperti Natuna, Tanjung Pinang, Lingga dan disepanjang pantai timur
Sumatra, khususnya orang Melayu.
Permainan Bang Senebu
Permainan ini
dimainkan anak dengan jumlah 5-12 anak.Pemainan ini dimulai denga “uang”
sejenis hompimpah.lalu dilanjutkan dengan cak gocih.Kemudian baru bermain bang
senebu yang selanjutnya dilanjutkan pok-pok pungguk.
- Peninggalan sejarah
1. Mesjid Raya Pekanbaru
Lokasi : Kecamatan Senapelan
Kotamadya : Pekanbaru
2. Makam Mahrum Bukit Dan Mahrum Pekan
Lokasi : Kecamatan Senapelan
Kotamadya : Pekanbaru
3. Tugu Pahlawan Kerja
Lokasi : Kecamatan Bukit Raya.
Kotamadya : Pekanbaru.
4. Balai Adat Riau
Lokasi : Jalan Pangeran Diponegoro Pekanbaru.
Kotamadya : Pekanbaru.
5. Bukit Batu, Bekas Tapak Kaki Manusia
Lokasi : Sungai Pakning
Kabupaten : Bengkalis.
6. Komplek Istana Kerajaan Siak
Lokasi : Kecamatan Siak Sri Indrapura
Kabupaten : Bengkalis.
7. Makam Marhum Buantan
Lokasi : Kecamatan Siak Sri Indrapura
Kabupaten : Bengkalis.
8. Mesjid Kerajaan
Lokasi : Kecamatan Siak Sri Indrapura
Kabupaten : Bengkalis.
9. Makam Keluaga Raja
Lokasi : Kecamatan Siak Sri Indrapura
Kabupaten : Bengkalis.
- Makanan
Berikut daftar menu kuliner, masakan Riau beserta
resepnya yang-bisa ditemukan di-berbagai tempat Bumi Lancang Kuning :
- Gulai Sayur Lemak Kuah Santan, Kuliner Khas Riau
- Bacah Daging, Kuliner – Makanan Khas Riau
BAB II
ETNIS PAKPAK/DAIRI
Etnik Pakpak adalah
salah satu etnik yang terdapat di Pulau
Sumatera Indonesia.
Tersebar di beberapa kabupaten/kota di Sumatera
Utara dan Aceh,
yakni di Kabupaten Dairi, Kabupaten Pakpak Bharat, Kabupaten Humbang Hasundutan, Tapanuli
Tengah (Sumatera Utara), Kabupaten Aceh Singkil dan Kota
Subulussalam (Provinsi Aceh)
Dalam
administrasi pemerintahan, suku Pakpak banyak bermukim di wilayah Kabupaten
Dairi di Sumatera Utara yang kemudian dimekarkan pada tahun
2003 menjadi dua kabupaten, yakni:
1.
Kabupaten
Dairi (ibu kota: Sidikalang)
2.
Kabupaten Pakpak Bharat (ibu kota: Salak)
Etnis Pakpak/Dairi kemungkinan besar
berasal dari keturunan tentara kerajaan Chola di India yang menyerang
kerajaan Sriwijaya
pada abad 11 Masehi.


Etnis Pakpak/Dairi terdiri atas 5 subsuku,
dalam istilah setempat sering disebut dengan istilah Pakpak Silima Suak yang
terdiri dari:
1.
Pakpak Klasen, berdomisili di
wilayah Parlilitan yang masuk wilayah kabupaten Humbang Hasundutan dan
wilayah Manduamas yang merupakan bagian dari kabupaten Tapanuli Tengah.
2.
Pakpak Simsim, berdiam di
kabupaten Pakpak Bharat.
3.
Pakpak Boang, bermukim di propinsi
Aceh yaitu di kabupaten Aceh Singkil dan kota
Subulussalam. Suku Pakpak Boang ini banyak disalahpahami sebagai suku
Singkil.
4.
Pakpak Pegagan, bermukim di Sumbul
dan sekitarnya di Kabupaten Dairi.
5.
Pakpak Keppas, bermukim di kota
Sidikalang dan sekitarnya di Kabupaten
Dairi.
Marga etnis
Pakpak/Dairi :
- Anakampun
- Angkat
- Bako
- Bancin
- Banurea
- Berampu
- Berasa
- Beringin
- Berutu
- Bintang
- Boang Manalu
- Capah
- Cibro
- Gajah Manik
- Gajah
- Kabeaken
- Kesogihen
- Kaloko
- Kombih
- Kudadiri
- Lingga
- Maha
- Maharaja
- Manik
- Matanari
- Meka
- Maibang
- Padang
- Padang Batanghari (BTH)
- Pasi
- Penarik Pinayungan
- Sambo
- Saraan
- Sikettang
- Sinamo
- Sitakar
- Solin
- Saing
- Tendang
- Tinambunan
- Tinendung
- Tumangger
- Turutan
- Ujung
Etnis
Pakpak/Dairi diikat oleh struktur sosial yang dalam istilah setempat dengan
sulang silima. Sulang silima terdiri dari lima unsur yakni: 1. Sinina tertua
(Perisang-isang (keturunan atau generasi tertua) 2. Sinina penengah (Pertulan
tengah (keturunan atau generasi yang di tengah) 3. Sinina terbungsu
(perekur-ekur = keturunan terbungsu) 4. Berru (kerabat penerima gadis) 5. Puang
(kerabat pemberi gadis)
Ini sangat
berperan dalam proses pengambilan keputusan dalam berbagai aspek kehidupan
terutama dalam sistem kekerabatan, upacara adat maupun dalam konteks komunitas
lebbuh atau kuta. Artinya ke lima unsur ini harus terlibat agar keputusan yang
diambil menjadi sah secara adat.
Upacara adat
Pakpak dinamakan dengan istilah kerja atau kerja-kerja. Namun saat ini sering
juga digunakan istilah pesta. Upacara adat tersebut terbagi atas dua bagian
besar yakni: 1. Upacara adat yang terkait dengan suasana hati gembira dinamakan
kerja baik; 2. Upacara adat dalam suasana tidak gembira dinamakan kerja jahat.
Contoh kerja
baik adalah: merbayo (upacara perkawinan), menanda tahun (upacara menanam
padi), merkottas (upacara untuk memulai sesuatu pekerjaan yang beresik0) dan
lain-lain. Contoh kerja jahat adalah mengrumbang dan upacara mate ncayur ntua
(upacara kematian).
suatu kelompok masyarakat pakpak
mengganggap masa balita merupakan masa yang paling berbahaya, yang lainnya
menganggap lebih berbahaya pada masa menjelang dewasa yang lainnya lagi
mengganggap lebih berbahaya pada masa mati. Untuk itu masa-masa tersebut perlu
diantisipasi dengan melakukan berbagai upacara.
Di dalam
masyarakat pakpak,jauh sebelum masuknya ajaran agama (Kristen & Islam)
mengenal 2 jenis upacara disepanjang hidupnya yang disebut kerja njahat
dan kerja baik. Kerja njahat adalah jenis upacara yang berhubungan dengan
upacara duka cita seperti ; kematian (Males bulung simbernaik, males bulung
buluh, males bulung sampula), mengokal tulan, menutung tulan. Sedangkan kerja
baik mencakup Upacara kehamilan (mere nakan merasa / nakan pagit) upacara
kelahiran (mangan balbal dan mengakeni), masa anak-anak (mengebat,
mergosting), masa remaja seperti sunat (mertakil), masa dewasa seperti
perkawinan (merbayo), member makan kepada orang tua (menerbeb).
Setelah masuknya
ajaran agama besar (Kristen dan islam) beberapa upacara tersebut sudah tidak
dipraktekkan lagi, misalnya sunatan atau mertakil bagi Pakpak Kristen.
Sebaliknya dikalangan Pakpak Kristen yang umumnya tinggal diperkotaan dikenal
upacara adat baru seperti pendidien/pembaptisan (menjalo gerrar), dan sidi
(meluah) dengan mengundang teman, kelompok sulang silima dan tetangga untuk
makan bersama.
Namun sekarang
ini masih ada pula sekelompok yang masih percaya akan hal menyembah batu yang
sering disebut dengan menoto .sebut saja di kecamatan pergetteng getteng
sengkut,dimana semua warga tersebut setahun sekali memberikan adat adat berupa
ayam,kembal,makanan hasil pertanian,buah buahan,dan lain lain.hal ini dilakukan
untuk mengetahui bagaimana situasi pertanian di daerah tersebut untuk tahun
yang akan datang.
Upacara ini dilakukan oleh setu orang yang
diangap memepunyai ilmu gaib yang akan mewakili semua warga dalam berbicara
dengan batu yang mereka sembah.
A. Sejarah Perkembangan dan Persebaran
Kelompok Etnis Pakpak/Dairi
Belum ditemukan bukti
yang otentik dan pasti
tentang asal
usul dan
sejarah persebarang
orang Pakpak.
Hasil penelitian
yang dilakukan menunjukkan beberapa
variasi. Pertama dikatakan
bahwa orag
Pakpak berasal
dari India selanjutnya masuk
ke pedalaman
dan beranak
pinak menjadi
orang Pakpa.
Versi lain menyatakan orang
Pakpak berasal
dari etnis
Batak Toba
dan yang laiin menyatakan
orang Pakpak
sudah ada
sejak dahulu.
Mana yang benar menjadi
relatif karena
kurang didukung
oleh fakta-fakta yang objektif.
Alasan dari
India misalnya hanya didasarkan
pada adanya
kebiasaan tradisional Pakpak
dalam pembakaran
tulang-belulang
nenek moyang
dan Barus
sebagai daerah
pantai dan
pusat perdagangan
berbatasan langsung dengan
tanoh Pakpak.
Alasan Pakpak
berasal dari
Batak Toba
hanya adanya
kesamaan struktur sosial
dan kemiripan
nama-nama
marga. Sedangkan
alasan ketiga
yang menyatakan dari dahulu
kala sudah
ada orang
Pakpak hanya
didasarkan pada folklore di
mana diceritakan
adanya tiga
zaman manusia
di Tanoh
Pakpak, yakni
zaman Tuara
(Manusia Raksasa). zaman
si Aji
(manusia primitif) dan
zaman manusia
(homo sapien).
Berdasarkan
dialek dan
wilayah persebarannya,
Pakpak dapat
diklasifikasikan menjadi lima
bagian besar
yakni: Pakpak
Simsim, Pakpak
Keppas, Pakpak
Pegagan, Pakpak Boang
dan Pakpak
Kelasen (Coleman, 1983; Berutu, 1994). Masing-masing
sub ini dibedakan
berdasarkan hak ulayat
marga yang secara administratif
tidak hanya
tinggal atau
menetap di
wilayah Kabupaten
Dairi (sebelum
dimekarkan), tetapi ada
yang di Aceh
Singkil, Humbang Hasundutan
(sebelum dimekarkan dari
Tapanuli Utara) dan
Tapanuli Tengah.
Pakpak Simsim, Pakpak
Keppas dan
Pegagan secara
administratif berada di
wilayah kabupaten
Dairi dan
Pakpak Bharat,
sedangkan Pakpak Kelasen
berada di
kabupaten Humbang Hasundutan,
Kabupaten Tapanuli Tengah
Khususnya di Kecamatan
Parlilitan dan Kecamatan
Manduamas. Berbeda lagi
dengan Pakpak
Boang yang menetap di
wilayah kabupaten
Singkil, khususnya di
Kecamatan Simpang Kiri dan
Kecamatan Simpang Kanan.
B.
Pengelolaan Lingkungan
Pada Masyarakat
Pakpak
Hasil-hasil penelitian
yang dilakukan membuktikan bahwa
masyarakat Pakpak memiliki
sejumlah nilai budaya,
pengetahuan, aturan, kepercayaan,
tabu, sanksi,
upacara dan
perilaku budaya yang arif
dalam pengelolaan
lingkunan. Usman Pelly
(1987: 269) menyatakan bahwa masyarakat
Pakpak sangat
menghargai alam dengan
adanya tabu-tabuyang selalu
dipatuhi. Lebih lanjut
Zuraida dkk,
(1992) menyatakan bahwa orang
Pakpak memiliki
aturan-aturan
dalam menjaga
konservasi alam. Kedua
ahli ini
belum menjelaskan
secara eksplisit
tabu-tabu
dan aturan-aturan yang kondusif
terhadap konservasi alam.
Penelitian lebih lanjut
oleh penulis
membuktikan pernyataan kedua
ahli tersebut.
Kearifan dalam konservasi
alam tersebut
terjadi dalam
berhubungan dengan alam.
Ada yang disadari dan ada
pula yang tidak disadari
oleh masyarakat
Pakpak yang terkandung dalam
sejumlah nilai, aturan,
tabu dan
upacara terutama
kegiatan yang berhubungan langsung
dengan alamseperti
dalam sistem
ladang berpindah,
mencari damar,
berburu, dan meramu
dan pengelolaan
hutan kemenyaan.
Selain itu berhubungan
dengan kepercayaan
tradisional di setiap
lebuh dan
kuta ditemukan
atau dikenal
adanya area-area yang pantang untuk
di ganggu
unsur biotik
dan abiotik
yang ada di dalamnya
karena dianggap
mempunyai kekuatan gaib
antara lain: rabag, gua,
daerah pinggiran
sungai dan
jenis-jenis
pohon dan
binatang tertentu yang dianggap
memiliki mana. Jenis
tumbuhan tersebut misalnya
pohon ara,
Simbernaik (sejenis pohon
penyubur tanah). Jenis
binatang yang jarang diganggu
isalnya monyet,
kera dan
harimau. Pada awalnya
tempat-tempat
tersebut dijadikan sebagai
tempat persembahan
terhadap kekuatan gaib
namun saat
ini walaupun
umumnya mereka
telah menganut
agama-agama
besar seperti
Islam danKristen, tetap dianggap
keramat dan
mempunyai kekuatan sehingga
kalau diganggu
dapat berakibat
terhadap keselamatan baik
secaralangsung maupun tidak
langsung.
C. Kesenian
Ornamen Pakpak
biasanya digunakan pada motif-motif ukiran (okir Pakpak) dan lukisan.Pakpak
seperti pada hiasan rumah adat Pakpak dan patung-patung karya seni budaya
Pakpak.beberapa alat musik pakpak adalah terbuat dari bahan tradisional seperti
kalondang Pakpak yang Posisi musik tradisional sangatlah jelas dan terpandang
dalam budaya Pakpak. Pada upacara-upacara tradisi, musik, terutama genderang,
mempunyai peranan penting: menjadi bagian dari sebuah kesenian tradisi
masyarakat pakpak.Disamping itu,adajuga tarian daerah pakpak yaitu Tari dalam Bahasa Pakpak disebut “Tatak” .
Tarian
tradisional Pakpak sangat erat kaitannya dengan kehidupan sehari-hari, misalnya
Tatak Memupu/ Menapu Kopi, Tatak Mendedah, Tatak Renggisa, Tatak Balang Cikua,
Tatak Garo-Garo, Tatak Tirismo Lae Bangkuang, Tatak Mersulangat, Tatak Menerser
Page, Tatak Muat Page, Tatak Adat, Tatak Mendedohi Takal-Takal, dan lain-lain.
Selain itu, dikenal juga seni bela diri yang disebut dengan istilah motcak dan
tabbus


Seni musik
pakpak yaitu seni alat musik dan seni vokal. Seni alat musik misalnya
Kalondang, Genderang, Gung Sada Rabaan, Kucapi, Sordam, Lobat, Kettuk,
Gerantung, dan lain-lain. Seni vokal diantaranya odong-odong dan nangen. Selain
itu, seni vokal juga sudah semakin dikembangkan sekarang ini, diantaranya lagu
paling dikenal yaitu Cikala le Pong Pong, delleng sitinjo, lae une,nantampuk
emas,dan lain lain.
Lagu Pakpak Kini
Banyak lagu pakpak yang populer merupakan
adaptasi dari odong-odong, yaitu lagu-lagu bernada minor dengan lirik yang lazimnya
menggambarkan sesuatu yang romantis atau malah menyayat hati, misalnya
kecantikan seorang kekasih, rasa kangen perantau terhadap keluarga dan kampung
halamannya, hingga ratapan mengenai kemalangan hidup. Para pemeras nira sering
menyanyikan odong-odong kala bekerja. Kini, banyak sekali lagu pakpak yang
menjadi populer dan diadaptasi secara modern menggunakan instrument yang juga
modern seperti keyboard. Lagu-lagu populer Pakpak yang kerap diputar di
acara-acara pernikahan ini misalnya Cikala Le Pongpong, Pantar Silang, dan
Tangis Anak Melumang. Bahkan, lagu pakpak yang sering terdengar jaman sekarang
telah mengadaptasi unsur-unsur musik yang berbeda, misalnya irama Melayu serta
nyanyian yang dibawakan grup vokal. Hal ini tak lepas dari kecenderungan pemusik
Pakpak kontemporer yang memilih untuk mengikuti tren musik yang lebih cepat
berkembang dan populer seperti lagu-lagu daerah Toba dan Karo, yang kini memang
banyak mengadaptasi irama serta gaya pelantunan lagu Melayu.
Musik dalam Tradisi Pakpak
Masyarakat Pakpak memiliki dua macam bentuk
komposisi musik utama; musik berupa nyanyian dengan vokal serta ensembel
alat-alat musik. Jenis yang pertama secara tradisi merupakan sarana untuk
bercerita; misalnya, dalam menceritakan kisah khas Pakpak yang berjudul
Sitagandera, si pencerita dituntut untuk mampu menyanyikan kisah tersebut dan
bukan hanya menuturkannya saja seperti orang berbicara. Sedangkan ensembel alat
musik biasanya dibawakan pada saat acara-acara adat atau menyertai
peristiwa-peristiwa penting yang membutuhkan iringan musik. Tetapi, secara
umum, musik dengan ensembel ini dibagi menjadi dua yaitu musik duka dan musik
riang. Alat-alat musik Pakpak terdiri dari perkusi seperti gendang dan gong,
serta alat musik melodis seperti kalondang, lobat dan sordam (semacam
seruling). Sordam merupakan alat musik yang digunakan dalam banyak peristiwa;
dari mengiringi acara pernikahan, mengisi waktu ketika menggembalakan kerbau,
hingga berhubungan dengan arwah para leluhur atau bahkan mencari orang yang
hilang di hutan.
BAB III
BATAK TOBA
Etnis Batak Toba meliputi Kabupaten Toba Samosir, Kabupaten Humbang Hasundutan, Kabupaten
Samosir, Kabupaten Tapanuli Utara, sebagian Kabupaten
Dairi, Kabupaten Tapanuli Tengah, Kota
Sibolga dan sekitarnya, Batak Toba adalah suatu kesatuan kultural. Batak
Toba tidak mesti tinggal diwilayah geografis Toba, meski asal-muasal adalah
Toba. Sebagaimana suku-suku bangsa lain, suku bangsa Batak Tobapun bermigrasi
kedaerah-daerah yang lebih menjanjikan penghidupan yang labih baik. Contoh,
mayoritas penduduk asli Silindung adalah marga-marga Hutabarat, Panggabean,
Simorangkir, Hutagalung, Hutapea dan Lumbantobing. Padahal ke-enam marga
tersebut adalah turunan Guru Mangaloksa yang adalah salah- seorang anak Raja
Hasibuan diwilayah Toba. Demikian pula marga Nasution yang kebanyakan tinggal
wilayah Padangsidimpuan adalah saudara marga Siahaan di Balige, tentu kedua
marga ini adalah turunan leluhur yang sama. Batak Toba sebagai kesatuan
kultural pasti dapat menyebar ke berbagai penjuru melintasi batas-batas
geografis asal leluhurnya, si Raja Batak yakni wilayah Toba yang secara
spesifik ialah Desa Sianjur Mulamula terletak di lereng Gunung Pusuk Buhit,
kira-kira 45 menit berkendara dari Pangururan, Ibukota Kabupaten Samosir,
sekarang.
Marga
pada suku Batak Toba
Marga atau nama
keluarga adalah bagian nama yang merupakan pertanda dari keluarga mana ia
berasal. Orang Batak selalu memiliki nama Marga/keluarga. Nama / marga
ini diperoleh dari garis keturunan ayah (patrilinear) yang selanjutnya akan
diteruskan kepada keturunannya secara terus menerus. Dikatakan sebagai
marga pada suku bangsa BatakToba ialah marga-marga pada suku bangsa Batak
yang berkampung halaman (marbona pasogit) di daerah Toba.
Sonak Malela yang mempunyai 3 (tiga) orang putera dan menurunkan 4
(empat) marga, yaitu:Simangungsong, Marpaung, Napitupulu, dan Pardede,
merupakan salah satu cotoh marga pada suku bangsa Batak Toba.
Tarombo atau
Silsilah
Silsilah atau Tarombo merupakan suatu hal
yang sangat penting bagi orang Batak. Bagi mereka yang tidak mengetahui
silsilahnya akan dianggap sebagai orang Batak kesasar (nalilu). Orang Batak
diwajibkan mengetahui silsilahnya minimal nenek moyangnya yang menurunkan
marganya dan teman semarganya (dongan tubu). Hal ini diperlukan agar mengetahui
letak kekerabatannya (partuturanna) dalam suatu klan atau marga.
Falsafah dalam adat batak toba
Falasafah adat batak toba dikenal dengan
Dalihan Na Tolu yang terdiri dari:
1. Somba Marhula-hula
2. Manat Mardongan
Tubu
3. Elek Marboru
Hulahula/Mora adalah pihak keluarga dari
isteri. Hula-hula ini menempati posisi yang paling dihormati dalam pergaulan
dan adat-istiadat Batak (semua sub-suku Batak) sehingga kepada semua orang Batak
dipesankan harus hormat kepada Hulahula (Somba marhula-hula).
Dongan Tubu/Hahanggi disebut juga Dongan
Sabutuha adalah saudara laki-laki satu marga. Arti harfiahnya lahir dari perut
yang sama. Mereka ini seperti batang pohon yang saling berdekatan, saling
menopang, walaupun karena saking dekatnya kadang-kadang saling gesek. Namun,
pertikaian tidak membuat hubungan satu marga bisa terpisah. Diumpamakan seperti
air yang dibelah dengan pisau, kendati dibelah tetapi tetap bersatu. Namun
demikian kepada semua orang Batak (berbudaya Batak) dipesankan harus bijaksana
kepada saudara semarga. Diistilahkan, manat mardongan tubu.
Boru/Anak Boru adalah pihak keluarga yang
mengambil isteri dari suatu marga (keluarga lain). Boru ini menempati posisi
paling rendah sebagai ‘parhobas’ atau pelayan, baik dalam pergaulan sehari-hari
maupun (terutama) dalam setiap upacara adat. Namun walaupun berfungsi sebagai
pelayan bukan berarti bisa diperlakukan dengan semena-mena. Melainkan pihak
boru harus diambil hatinya, dibujuk, diistilahkan: Elek marboru
A. Kesenian
- Suara
Musik yang biasa dimainkan,cenderung tergantung dengan
upacara-upacara adat yang diadakan, tetapi lebih dominan dengan genderangnya.
Musik Batak sudah ada sejak jaman Toba Kuno di jaman dinasti Tuan Sorimangaraja
(Pahompu-nya Si Raja Batak) Berawal dari musik Raja-raja. Bukan musik untuk
Raja, tetapi musik yang dimainkan oleh Raja. Makanya mainnya boleh berdiri.
Lain halnya dengan musik tradisi suku lain seperti Afrika, India, Jawa, dll,
yang merupakan musik Rakyat, sehingga kebanyakan bermusiknya sambil duduk.
Musik Batak awalnya diciptakan untuk upacara ritual
yang dipimpin pada Datu (dukun) pada masa itu untuk penghormatan leluhur, minta
panen yang sukses kepada Mula Jadi Nabolon, dll. Kemudian Berkembang menjadi
Musik ritual di Pesta Adat. Pemainnya dinamakan pargonsi (baca Pargosi atau
Pargoci) Pargonsi mempunyai kedudukan yang sangat penting, ruma bagian atas.
Karena yang memainkannya Raja. Jadi gak heran kalo Batak itu suku yang musikal
karena dari jaman dulu Rajanya aja suka main musik ). Musik Batak untuk ritual
ini adalah yang disebut Gondang Sabangunan yang terdiri dari 5 Ogung, 5
Gondang, Sarune Bolon lubang 5.
Namun para Rakyat juga ingin main musik, maka
berkembanglah musik batak ini di kalangan rakyat dengan format Taganing,
Garantung, Hasapi, Seruling dan Sarune Etek. Dengan alat-alat musik inilah
tercipta banyak sekali lagu rakyat yang bernuansa pentatonis (Do Re Mi Fa Sol,
kadang2 ada juga La) dan susunan nada (licks)-nya sangat khas tidak didapati di
musik suku lain.
Lagu-lagu yang dinyanyikan masyarakat etnis
batak bercerita tentang pemujaan terhadap kampung halaman, keindahan negeri dan
panorama yang indah permai. Sedangkan andung/ratapan adalah salah satu jenis
nyanyian yang secara khusus dinyanyikan pada acara dukacita atau menggambarkan
suasana hati yang sedang berduka dan sedih.
Alat musik Batak Toba yang digunakan untuk
mengiringi tarian tor-tor dan nyanyian juga beranekaragam. Alat musik ini ada
yang terbuat dari bahan perunggu, kulit, kayu, dan bambu. Alat musik berbahan
perunggu seperti ogung atau gong. Ogung merupakan instrumen 4 jenis gendang
yang berlainan bunyi/nada, yaitu oloan, ihutan, doal, dan panggora. Sedangkan
alat musik dari bahan kulit, kayu dan bambu meliputi tagading, hesek, hasapi
(kecapi), saga-saga, garantung, suling (seruling), sordam dan salohat. Alat
musik tagading merupakan seperangkat instrumen yang terdiri dari 1 gondang
sebagai bas, 1 odap-odap dan 5 tagading.
Orang Batak Toba
juga membedakan peralatan musik ini dalam dua golongan besar yaitu Gondang
Bolon (terdiri dari gordang(gendang besar), taganing(gendang ukuran sedang)
dengan lima lempeng kayu, odap-odap(gendang kecil) yang kadang-kadang diganti
dengan lempengan logam, gong dari tembaga ditambah empat gong perunggu, dan
sarune(seruling)) dan Gondang Hasapi (terdiri dari 2 buah hasapi, sarune kecil,
suling(seruling), garantung(bumbung kecil) dengan lima lempeng kayu sebagai
pengganti taganing).
- Tarian
Tarian yang menjadi ciri khas orang
Batak Toba adalah tari Tor-tor dengan berbagai jenis nama tari untuk berbagai
jenis kegiatan yang berbeda-beda. Tor-tor atau tari-menari merupakan salah satu
kebudayaan Batak yang tertua. Dahulu kala seni tari-menari duhubungkan dengan
kepercayaan animisme yang dapat mendatangkan kuasa-kuasa magis. Acara
tari-menari diadakan untuk memohon kemenangan, kesehatan, dan kehidupan
sejahtera kepada dewa-dewa. Acara tari-menari juga diadakan bilamana ada orang
yang lahir, akil balig dan diterima sebagai anggota suku, pada saat menikah,
dan pada waktu sudah mati. Namun sekarang tarian tersebut tidak lagi bersifat
animisme, tetapi lebih dimaksudkan untuk mempererat hubungan kekerabatan dalam
Dalihan Na Tolu

- Kerajinan
tenunan merupakan seni kerajinan yang menarik dari
suku Batak. Contoh tenunan ini adalah kain ulos dan kain songket. Ulos
merupakan kain adat Batak yang digunakan dalam upacara-upacara perkawinan,
kematian, mendirikan rumah, kesenian,dsb. Bahan kain ulos terbuat dari benang
kapas atau rami. Warna ulos biasanya adalah hitam, putih, dan merah yang
mempunyai makna tertentu. Sedangkan warna lain merupakan lambang dari variasi
kehidupan.


BAB IV
BATAK ANGKOLA/MANDAILING
Suku Mandailing
adalah suku bangsa yang mendiami Kabupaten Mandailing Natal, Kabupaten Padang Lawas, Kabupaten Padang Lawas Utara, Kabupaten Tapanuli Selatan, Kabupaten Labuhanbatu, Kabupaten Labuhanbatu Utara, Kabupaten Labuhanbatu Selatan, Kabupaten
Asahan, dan Kabupaten Batubara di Provinsi Sumatera Utara beserta Kabupaten
Pasaman dan Kabupaten Pasaman Barat di Provinsi Sumatera Barat, dan Kabupaten Rokan Hulu di Provinsi
Riau. Mandailing merupakan kelompok masyarakat yang berbeda dengan suku,
Hal ini terlihat dari perbedaan sistem sosial, asal usul, dan kepercayaan.
Orang Mandailing
didefinisikan sebagai mereka yang bermarga Nasution, Lubis, Pulungan, Batubara,
Rangkuti, Daulae, Parinduri, Dalimunte, dan Matondang sahaja seperti ketetapan
Mahkamah Tertinggi Folks Road Batavia 1926 dan keturunan yang berpecah daripada
sembilan marga tadi (i.e. Mardia daripada Rangkuti).
Orang Mandailing
adalah berbeda dengan orang Batak yang tinggal di Mandailing atau disebut Batak
Mandailing yang terdiri daripada marga seperti Hasibuan, Harahap, dan Siregar.
Mereka berasal dari pedalaman pantai barat Sumatera dan Tapanuli
Selatan di utara Sumatera, Indonesia.
Lingkungan hidup
mereka meliputi gunung-ganang dengan sistem perairan dan dataran rendah
persawahan. Mata pencarian mereka termasuk getah, kulit kayu manis,
kopi dan melombong emas. Mereka terkenal
dengan tradisi persuratan dan sembilan gendang besar yang disebut Gordang
Sambilan.
Meskipun Mandailing sering dikaitkan dengan
Batak, namun
rata-rata orang Mandailing menolak tanggapan ini. hal ini disebabkan karena
perbedaan agama, kerana rata-rata orang Batak menganut agama Kristen sedangkan
orang Mandailing kebanyakan menganut agama islam.
Patung Sangkalon yang menjadi lambang
keadilan dalam masyarakat Mandailing sering disalah anggap oleh masyarakat
luar. Patung yang dipanggil 'si pangan anak si pangan boru' yang bermaksud 'si
pemakan anak lelaki, si pemakan anak perempuan' ini dijadikan tohmahan bahawa
kaum Mandailing adalah kaum pemakan daging manusia. Padahal maksud sebenar
perumpamaan ini ialah setiap keadilan mesti ditegakkan meskipun terpaksa
membunuh anak sendiri
Mandailing
atau Mandahiling diperkirakan berasal
dari kata Mandala dan Holing, yang berarti sebuah wilayah Kerajaan
Kalinga. Kerajaan Kalingga adalah kerajaan Nusantara yang berdiri sebelum
Kerajaan Sriwijaya, dengan raja terakhir Sri Paduka Maharaja Indrawarman yang
mendirikan Kesultanan Dharmasraya setelah di-Islamkan oleh utusan Khalifah
Utsman bin Affan pada abad ke-7 M. Sri Paduka Maharaja Indrawarman adalah putra
dari Ratu Shima. Sri Paduka Maharaja Indrawarman kemudian dibunuh oleh
Syailendra, pendiri Kerajaan Sriwijaya pada abad ke-7 itu juga. Pada abad
ke-10, Kerajaan Chola dari wilayah Tamil, India Selatan, dengan rajanya
Rajendra telah menyerang Kerajaan Sriwijaya dan menduduki wilayah Mandailing,
yang kemudian dikenal dengan nama Ang Chola (baca: Angkola). Ang adalah gelar
kehormatan untuk Rajendra. Kerajaan India tersebut diperkirakan telah membentuk
koloni mereka, yang terbentang dari Portibi hingga Pidoli.[3]
Dalam Bahasa Minangkabau, Mandailing diartikan sebagai
mande hilang yang bermaksud "ibu yang hilang". Oleh karenanya ada
pula anggapan yang mengatakan bahwa masyarakat Mandailing berasal dari Kerajaan Pagaruyung di Minangkabau.
Mandailing ditinjau dari Sejarah Asal Usul Mandailing
bukan Batak berdasarkan kitab tua Mpu Prapanca, Negarakertagama. Patut di
ingat, catatan ini adalah kitab tertua yang pernah ada di Indonesia dan diakui
kebenarannya oleh UNICEF dan dunia ilmiah. Artinya, jika seseorang tidak
percaya kebenarannya, secara intelektual ia akan "masuk neraka".
Dalam kitab
tersebut Mpu Prapanca (Ompung Prapanca: dalam bahasa mandailing) mencatat
banyak hal tentang Majapahit, termasuk negara yang ditaklukkannya. Mpu Prapanca
menyebut belahan timur adalah Melayu, termasuk di dalamnya; Mandailing, Pane
(Panai), Toba, Barus dan lain-lain. Saat itu Toba, Mandailing dan Barus
dikategorikan rumpun Melayu. Tidak ada BATAK pada saat itu. Tidak dijumpai
terminologi Batak dalam kosa kata kuno (Sanskerta)atau bahasa yang dikenal dan
difahami antar bangsa saat itu. Referensi yang paling diterima dan masuk akal
menyebutkan bahwa istilah Batak untuk memanggil satu kaum
baru muncul kemudian oleh orang-orang pesisir yang merasa lebih beradab kepada
penduduk pedalaman. Tepatnya: BATAK adalah istilah untuk suku orang pedalaman.
Sekitar tahun 1365 M, peradaban di pedalaman Sumatera masih sangat primitif, dan kanibalisme masih sangat dimungkinkan terjadi (kanibalisme paling mutakhir dicatat dalam sejarah adalah kanibalisme pada Missionaris, kejadian antara Sibolga dan Tarutung. Baca selengkapnya Batak Makan Orang, kumpulan sejarah kanibalisme yang dicatat sejarah.
Determinasi sejarah: masyarakat tumbuh, berkembang dan berubah. Peradaban manusia di utara bagian Sumatera berpusat di tepian sungai Barumun, dan Sungai Batang Pane. Bayangkan, saat itu kota yang kita kenal bernama Medan masih berupa laut dan rawa, tidak berpenghuni manusia. Toba, Mandailing dan Padang Lawas adalah kawasan segitiga emas pada masa itu dan pusat peradaban dan penyebaran agama ada di Padang Lawas. Itulah logika satu-satunya kenapa banyak terdapat kesamaan bahasa dan budaya.
Dan ada masa dimana Mandailing yang tidak terlalu besar berpusat di Kerajaan Pulungan, atau sebelumnya ada konsentrasi penduduk di tempat yang bernama Mandala Holing tepi Sungai Batang Gadis, atau dimana saja steppa yang luas, tanah yang cocok untuk pertanian yang diakibatkan suburnya tanah yang dibawa Batang Gadis Sungai Barumun dan Batang Pane.
Sekitar tahun 1365 M, peradaban di pedalaman Sumatera masih sangat primitif, dan kanibalisme masih sangat dimungkinkan terjadi (kanibalisme paling mutakhir dicatat dalam sejarah adalah kanibalisme pada Missionaris, kejadian antara Sibolga dan Tarutung. Baca selengkapnya Batak Makan Orang, kumpulan sejarah kanibalisme yang dicatat sejarah.
Determinasi sejarah: masyarakat tumbuh, berkembang dan berubah. Peradaban manusia di utara bagian Sumatera berpusat di tepian sungai Barumun, dan Sungai Batang Pane. Bayangkan, saat itu kota yang kita kenal bernama Medan masih berupa laut dan rawa, tidak berpenghuni manusia. Toba, Mandailing dan Padang Lawas adalah kawasan segitiga emas pada masa itu dan pusat peradaban dan penyebaran agama ada di Padang Lawas. Itulah logika satu-satunya kenapa banyak terdapat kesamaan bahasa dan budaya.
Dan ada masa dimana Mandailing yang tidak terlalu besar berpusat di Kerajaan Pulungan, atau sebelumnya ada konsentrasi penduduk di tempat yang bernama Mandala Holing tepi Sungai Batang Gadis, atau dimana saja steppa yang luas, tanah yang cocok untuk pertanian yang diakibatkan suburnya tanah yang dibawa Batang Gadis Sungai Barumun dan Batang Pane.
Itulah kenapa semua Candi yang ada di Mandailing Godang dibangun di
lapangan terbuka dan tidak jauh dari Sungai-sungai utama. Candi Portibi, Candi
Bahal, Candi yang ada di Siabu dan di Pidoli berada di tempat yang layak untuk
umum.
Nama Batak tidak diketahui asal usulnya, sejelas Sejarah Asal Usul>Toba, Mandailing, Pane dan Barus. Mandailing untuk menyebutkan wilayah cukup luas yang mendiami tepi Sungai Batang Gadis namun terlalu kecil jika dibanding kerajaan Majapahit di abad 13 M. Hal itu disebabkan hampir semua pulau Sumatera pada saat itu masih tertutup hutan belantara berbanding terbalik dengan pulau Jawa bagian utara yang datar, subur dan cocok untuk tempat tinggal dan pertanian, maka orang Mandailing masa silam masih suka berpindah-pindah. Pedagang Arab yang bermukim di Barus terjadi di masa berikutnya dan bubar setelah diserang Kerajaan Sriwijaya.
Kerajaan Pane langsung berhubungan dengan perdagangan internasional dan Pendeta-pendeta dan pusat penyiaran agama Hindu-Budha berada di Kerajaan Pane banyak yang belajar ke Champa dan India. Beberapa bahasa yang masih diwariskan atau terakulturasi pengaruh Hindu hingga kini antara lain: Mangaraja, Ompung (Opung), Debata, aksara (Surat Tulak Tumbaga) adalah impor berasal dari pengaruh Hindu-Budha.
Mandailing dikemudian hari lebih konsentrasi di Penyabungan dan Pidoli (Piu Delhi) karena Patih Gajah Mada dari Majapahit menghancurkan Kerajaan Pane yang terdapat di Barumun-Padang Bolak. Banyak penduduk, tentara dan aliansi Pane migrasi masuk kepedalaman di Penyabungan. Mereka inilah yang mendiami Huta Siantar dan Siladang. Sejatinya penduduk Siladang adalah tentara Sriwijaya yang dikebiri pasukan Gajah Mada dari Padang Lawas. Hal ini bisa dibuktikan dengan banyaknya persamaan bahasa dan adat istiadat Siladang (Aek Banir)dengan penduduk Palembang di pedalaman seperti cenderung mengunci koloni dari masyarakat luar.Ini juga menjadi penjelasan kenapa bahasa Siladang berbeda dengan bahasa Mandailing pada umumnya. Kerajaan Pane adalah sekutu Kerajaan Sriwijaya. Para pendatang dari Pane dan tentara Sriwijaya ini kemudian lebur menjadi orang Mandailing dan mengadopsi marga setempat. Masa inilah Sibaroar, leluhur Nasution dewasa. Sibaroar bisa mendominasi pengaruh Pulungan karena beraliansi dengan para pendatang ini. Belakangan banyak orang Siladang (Aek Banir) menjadi Nasution, demikian mungkin juga orang Pane yang terusir itu.
Sejarah Asal Usul Mandailing pada akhirnya harus diakui bahwa
apa yang dimaksud Mandailing, kini hanya menunjuk pada wilayah saja. Jika seseorang merasa dirinya punya silsilah yang mengakar ke tanah Toba dan tinggal di Mandailing, maka ia boleh mengklaim diri menjadi orang Mandailing. Mandailing tidak hanya di isi oleh "orang mandailing" saja, tetapi patut di ingat, pendeta Hindu yang berkulit hitam itu menetap di Mandailing dan beranak pinak hingga sekarang. Rombongan dari Aceh (Tapak Tuan) menjadi Rangkuti dan beberapa pedagang Cina menjadi Lubis, atau pulungan, tergantung tempat dan situasi dimana bermukim. Menurut salah satu sumber, Marga Lubis aslinya berasal dari Bugis. Ini membuktikan bahwa Mandailing lebih heterogen dan lebih dinamis dari Toba. Jadi jangan heran kenapa tarombo Toba lebih rapi dari tarombo Mandailing.
Apakah Mandailing itu Batak sekarang tergantung dari mana anda melihatnya. Tapi yang pasti Mandailing tidak berasal dari Batak adalah fakta yang harus di akui. Menjadi seorang Batak atau Mandailing adalah dua pilihan buat penduduk yang berasal dari tanah Mandailing. Saya memilih Mandailing karena istilah ini lebih tua dan mendarah daging.
Mengetahui Sejarah Asal Usul Mandailing, maka kita harus ke masa lalu. Asal usul mandailing dan sejarah mandailing natal harus ditulis berdasarkan data empiris. Asal usul mandailingtidak hanya dicatat berdasar penuturan cerita rakyat. Contohnya seperti Kisah Rakyat Asal Usul Batak plesetan ini.
Cerita rakyat yang dituturkan secara turun temurun dibutuhkan sebagai pelengkap data empiris tadi, tetapi bingkai penulisan sejarah asal usul mandailing tetap harus yang realistis, logis dan sistematis. Sejarah mandailing harus dibebaskan dari sentuhan subjektif, seperti fanatisme keyakinan,dan fatalisme silsilah Raja Batak.
Jika kita sudah menyimpulkan suatu hal, "asal usul mandailing dari batak toba". Maka kita telah berhenti untuk berfikir dan menggali pertanyaan: dari mana asal usul mandailing? Dengan vonis, "asal usul mandailing adalah dari batak toba" kita telah membunuh sejarah asal usul mandailing. Siapa yang tahu pasti asal usul mandailing dari batak toba kecuali nenek moyang mandailing itu sendiri. Dan sayangnya mereka yang telah pergi tidak menitipkan surat wasiat dan catatan yang bisa dimengerti dan jelas mereka berasal dari mana. Jadi seseorang yang hidup di zaman ini tidak punya hak memvonis asal usul mandailing dari batak toba atau tidak. Istilah mandailingnya: "Dont punish if you dont know".
Hanya dengan cara ini asal usul mandailing bisa disingkap, jadi tidak pantas hanya karena seseorang berasal dari batak toba dan punya catatan silsilah (tarombo) menggeneralisir, "asal mandailing dari batak toba", sebaliknya, sesorang yang merasa tidak punya pertalian darah mengatakan, "asal usul mandailing adalah dari vietnam". Jadi mari berfikir logis bahwa asal usul mandailing adalah fakta yang terpisah dari kesimpulan siapapun.
Seseorang boleh berpendapat, tentunya berdasarkan logika yang jernih, tentang asal usul mandailing. Sangat bagus membuat diskursus, tesa anti tesa dan sintesa. Ungkapkanlah data dan fakta serta logika, tentu saja akan memperkaya khasanah perbendaharaan asal usul mandailing. Dengan suatu kesadaran, bahwa mandailing bukan milik seseorang, sebaliknya mandailing memiliki orang mandailing. Tulisan ini hanyalah rintisan untuk generasi ini karena masih banyak fakta masih terkubur di perut bumi, menanti untuk disingkap.
Asal usul mandailing tidak dari batak toba karena tidak mungkin Raja Batak atau siapapun nenek moyang orang batak tiba tiba muncul dari perut bumi atau jatuh dari langit di suatu tempat di tanah toba, lalu beranak pinak menjadi suku batak.
Saya banyak mendengar "lelucon" bahwa pada jaman dahulu kala hiduplah seorang Ompu Mula Di Najadi Nabolon, Raja Batak yang memerintah sendirian dan kesepian, karena tidak seorang pun berada selain dirinya dan keluarganya yang berada di puncak gunung itu. Naif sekali jika seperti itu gagasan seseorang tentang Sejarah Asal Usul Mandailing.
Dalam bayangan saya, orang batak yang mendiami toba yang pertama kali adalah sekelompok keluarga yang punya pemimpin dari keluarga itu sendiri. Migrasi massal adalah fakta sejarah yang tercatat di manapun di tanah batak.
Migrasi disebabkan perpecahan di satu klan, dan kelompok yang kalah akan pindah dan menempati suatu daerah yang baru. Jika tempat itu "milik" marga tertentu, mereka yang jadi pendatang kemudian menjadi "anak boru", tidak menjadi raja, mereka harus hormat pada Raja Nidapot (raja yang tempat menumpang). Jika tempat baru itu kosong tanpa otoritas marga apapun, pemimpin mereka itu pun berubah jadi raja. Demikianlah polanya.
Asal usul mandailing karena itu tidak dari batak toba, karena orang batak pertama kali tiba di tanah batak akan menempati sisi terluar dari pulau, dan kemudian seperti pola di atas akan menyebar hingga ke tanah toba dan padang bolak. Penyebaran penduduk bisa dari dua sisi pulau Sumatera, pesisi barat dan timur. Jika demikian, batak toba punya dua kemungkinan: berasal dari pantai timur atau barat.
Nama Batak tidak diketahui asal usulnya, sejelas Sejarah Asal Usul>Toba, Mandailing, Pane dan Barus. Mandailing untuk menyebutkan wilayah cukup luas yang mendiami tepi Sungai Batang Gadis namun terlalu kecil jika dibanding kerajaan Majapahit di abad 13 M. Hal itu disebabkan hampir semua pulau Sumatera pada saat itu masih tertutup hutan belantara berbanding terbalik dengan pulau Jawa bagian utara yang datar, subur dan cocok untuk tempat tinggal dan pertanian, maka orang Mandailing masa silam masih suka berpindah-pindah. Pedagang Arab yang bermukim di Barus terjadi di masa berikutnya dan bubar setelah diserang Kerajaan Sriwijaya.
Kerajaan Pane langsung berhubungan dengan perdagangan internasional dan Pendeta-pendeta dan pusat penyiaran agama Hindu-Budha berada di Kerajaan Pane banyak yang belajar ke Champa dan India. Beberapa bahasa yang masih diwariskan atau terakulturasi pengaruh Hindu hingga kini antara lain: Mangaraja, Ompung (Opung), Debata, aksara (Surat Tulak Tumbaga) adalah impor berasal dari pengaruh Hindu-Budha.
Mandailing dikemudian hari lebih konsentrasi di Penyabungan dan Pidoli (Piu Delhi) karena Patih Gajah Mada dari Majapahit menghancurkan Kerajaan Pane yang terdapat di Barumun-Padang Bolak. Banyak penduduk, tentara dan aliansi Pane migrasi masuk kepedalaman di Penyabungan. Mereka inilah yang mendiami Huta Siantar dan Siladang. Sejatinya penduduk Siladang adalah tentara Sriwijaya yang dikebiri pasukan Gajah Mada dari Padang Lawas. Hal ini bisa dibuktikan dengan banyaknya persamaan bahasa dan adat istiadat Siladang (Aek Banir)dengan penduduk Palembang di pedalaman seperti cenderung mengunci koloni dari masyarakat luar.Ini juga menjadi penjelasan kenapa bahasa Siladang berbeda dengan bahasa Mandailing pada umumnya. Kerajaan Pane adalah sekutu Kerajaan Sriwijaya. Para pendatang dari Pane dan tentara Sriwijaya ini kemudian lebur menjadi orang Mandailing dan mengadopsi marga setempat. Masa inilah Sibaroar, leluhur Nasution dewasa. Sibaroar bisa mendominasi pengaruh Pulungan karena beraliansi dengan para pendatang ini. Belakangan banyak orang Siladang (Aek Banir) menjadi Nasution, demikian mungkin juga orang Pane yang terusir itu.
Sejarah Asal Usul Mandailing pada akhirnya harus diakui bahwa
apa yang dimaksud Mandailing, kini hanya menunjuk pada wilayah saja. Jika seseorang merasa dirinya punya silsilah yang mengakar ke tanah Toba dan tinggal di Mandailing, maka ia boleh mengklaim diri menjadi orang Mandailing. Mandailing tidak hanya di isi oleh "orang mandailing" saja, tetapi patut di ingat, pendeta Hindu yang berkulit hitam itu menetap di Mandailing dan beranak pinak hingga sekarang. Rombongan dari Aceh (Tapak Tuan) menjadi Rangkuti dan beberapa pedagang Cina menjadi Lubis, atau pulungan, tergantung tempat dan situasi dimana bermukim. Menurut salah satu sumber, Marga Lubis aslinya berasal dari Bugis. Ini membuktikan bahwa Mandailing lebih heterogen dan lebih dinamis dari Toba. Jadi jangan heran kenapa tarombo Toba lebih rapi dari tarombo Mandailing.
Apakah Mandailing itu Batak sekarang tergantung dari mana anda melihatnya. Tapi yang pasti Mandailing tidak berasal dari Batak adalah fakta yang harus di akui. Menjadi seorang Batak atau Mandailing adalah dua pilihan buat penduduk yang berasal dari tanah Mandailing. Saya memilih Mandailing karena istilah ini lebih tua dan mendarah daging.
Mengetahui Sejarah Asal Usul Mandailing, maka kita harus ke masa lalu. Asal usul mandailing dan sejarah mandailing natal harus ditulis berdasarkan data empiris. Asal usul mandailingtidak hanya dicatat berdasar penuturan cerita rakyat. Contohnya seperti Kisah Rakyat Asal Usul Batak plesetan ini.
Cerita rakyat yang dituturkan secara turun temurun dibutuhkan sebagai pelengkap data empiris tadi, tetapi bingkai penulisan sejarah asal usul mandailing tetap harus yang realistis, logis dan sistematis. Sejarah mandailing harus dibebaskan dari sentuhan subjektif, seperti fanatisme keyakinan,dan fatalisme silsilah Raja Batak.
Jika kita sudah menyimpulkan suatu hal, "asal usul mandailing dari batak toba". Maka kita telah berhenti untuk berfikir dan menggali pertanyaan: dari mana asal usul mandailing? Dengan vonis, "asal usul mandailing adalah dari batak toba" kita telah membunuh sejarah asal usul mandailing. Siapa yang tahu pasti asal usul mandailing dari batak toba kecuali nenek moyang mandailing itu sendiri. Dan sayangnya mereka yang telah pergi tidak menitipkan surat wasiat dan catatan yang bisa dimengerti dan jelas mereka berasal dari mana. Jadi seseorang yang hidup di zaman ini tidak punya hak memvonis asal usul mandailing dari batak toba atau tidak. Istilah mandailingnya: "Dont punish if you dont know".
Hanya dengan cara ini asal usul mandailing bisa disingkap, jadi tidak pantas hanya karena seseorang berasal dari batak toba dan punya catatan silsilah (tarombo) menggeneralisir, "asal mandailing dari batak toba", sebaliknya, sesorang yang merasa tidak punya pertalian darah mengatakan, "asal usul mandailing adalah dari vietnam". Jadi mari berfikir logis bahwa asal usul mandailing adalah fakta yang terpisah dari kesimpulan siapapun.
Seseorang boleh berpendapat, tentunya berdasarkan logika yang jernih, tentang asal usul mandailing. Sangat bagus membuat diskursus, tesa anti tesa dan sintesa. Ungkapkanlah data dan fakta serta logika, tentu saja akan memperkaya khasanah perbendaharaan asal usul mandailing. Dengan suatu kesadaran, bahwa mandailing bukan milik seseorang, sebaliknya mandailing memiliki orang mandailing. Tulisan ini hanyalah rintisan untuk generasi ini karena masih banyak fakta masih terkubur di perut bumi, menanti untuk disingkap.
Asal usul mandailing tidak dari batak toba karena tidak mungkin Raja Batak atau siapapun nenek moyang orang batak tiba tiba muncul dari perut bumi atau jatuh dari langit di suatu tempat di tanah toba, lalu beranak pinak menjadi suku batak.
Saya banyak mendengar "lelucon" bahwa pada jaman dahulu kala hiduplah seorang Ompu Mula Di Najadi Nabolon, Raja Batak yang memerintah sendirian dan kesepian, karena tidak seorang pun berada selain dirinya dan keluarganya yang berada di puncak gunung itu. Naif sekali jika seperti itu gagasan seseorang tentang Sejarah Asal Usul Mandailing.
Dalam bayangan saya, orang batak yang mendiami toba yang pertama kali adalah sekelompok keluarga yang punya pemimpin dari keluarga itu sendiri. Migrasi massal adalah fakta sejarah yang tercatat di manapun di tanah batak.
Migrasi disebabkan perpecahan di satu klan, dan kelompok yang kalah akan pindah dan menempati suatu daerah yang baru. Jika tempat itu "milik" marga tertentu, mereka yang jadi pendatang kemudian menjadi "anak boru", tidak menjadi raja, mereka harus hormat pada Raja Nidapot (raja yang tempat menumpang). Jika tempat baru itu kosong tanpa otoritas marga apapun, pemimpin mereka itu pun berubah jadi raja. Demikianlah polanya.
Asal usul mandailing karena itu tidak dari batak toba, karena orang batak pertama kali tiba di tanah batak akan menempati sisi terluar dari pulau, dan kemudian seperti pola di atas akan menyebar hingga ke tanah toba dan padang bolak. Penyebaran penduduk bisa dari dua sisi pulau Sumatera, pesisi barat dan timur. Jika demikian, batak toba punya dua kemungkinan: berasal dari pantai timur atau barat.
Patut diakui bahwa fakta, banyak suku marga yang berasal dari batak
toba hidup sebagai orang mandailing. Tetapi itu terjadi pada masa berikutnya
dalam kronologi sejarah batak. Patut di ingat, orang mandailing tidak homogen,
tetapi percampuran darah dari radius 1000 kilometer. Sutan Mahmud, yang
leluhurnya berasal dari minangkabau adalah orang mandailing, dan ia telah
menjadi marga lubis. Jimmy yang orang tuanya berasal dari mandailing sekarang
telah menjadi orang sunda. Semua bisa lebur menjadi siapapun dan marga apapun
mengikuti kronologi sejarah.
Karena itu, tidak tepat, karena seorang siregar, harahap atau daulay punya silsilah rinci mereka berasal dari batak toba lalu ia memfonis: "Asal usul mandailing dari batak toba".
Karena itu, tidak tepat, karena seorang siregar, harahap atau daulay punya silsilah rinci mereka berasal dari batak toba lalu ia memfonis: "Asal usul mandailing dari batak toba".
Dalam upacara perkawinan di adat
Mandailing, diperlukan perlengkapan dalam upacara adat.
Berikut ini adalah perlengkapan yang
diperlukan dalam upacara-upacara adat yang dilaksanakan dengan upacara adat
mandailing:
v Sirih (napuran/ burangir)
v Sirih
v Sentang (gambir)
v Tembakau
v Soda
v Pinang
v Tanda Kebesaran (paragat)
v Payung rarangan
v Pedang dan tombak
v Bendera adat (tonggol)
v Langit-langit dengan tabir
v Tempat penyembelihan kerbau
v Alat musik (uning-uningan)
v Momongan (gong)
Terdiri dari: tawak-tawak, gong, doal,
cenang, talempong, tali sasayak
Gordang sambilan (gendang)
v Alat tiup
v Pakaian penganten
v Pakaian penganten laki-laki
v Pakaian penganten perempuan
pakaian penganten Mandailing seperti pada
gambar :
Selama
berabad-abad lamanya dan sampai sekarang masyarakat Mandailing mempercayai
bahawa Namora Pande Bosi adalah nenek moyang orang-orang Mandailing yang
bermarga Lubis.
Menurut legendanya, Namora Pande Bosi
berasal dari Bugis di Sulawesi Selatan. Dalam pengembaraannya dia sampai ke
satu tempat yang bernama Sigalangan di Tapanuli Selatan. Kemudian dia berkahwin
dengan puteri raja di tempat tersebut dan terkenal sebagai pandai besi yang
mulia.
Namora Pande Bosi dan isterinya yang
bergelar Nan Tuan Layan Bolan mendapat dua orang anak lelaki yang diberi nama
Sutan Borayun dan Sutan Bugis. (Dalam tarombo marga Lubis yang disusun oleh
Raja Junjungan pada tahun 1897, ada juga tercatat bahawa nama isteri Namora
Pande Bosi ialah Boru Dalimunte Naparila, artinya puteri Dalimnte yang pemalu).
Pada suatu
ketika Namora Pande Bosi pergi meyumpit burung ke tengah hutan dan di sana dia
bertemu dengan seorang puteri orang bunian dan mengahwininya. Menurut satu cerita,
wanita itu adalah orang Lubu (orang asli). Dari perkahwinannya itu, Namora
Pande Bosi mendapat dua orang anak lelaki kembar yang masing-masing diberi nama
Si Langkitang dan Si Baitang. Ketika kedua anak tersebut masih dalam kandungan,
Namora Pande Bosi meninggalkan isterinya dan kembali ke Hatongga.
Menjelang dewasa
Si Langkitang dan Si Baitang pergi mencari bapa mereka dan menemukannya di
Hatongga. Lalu mereka tinggal bersama keluarga bapa mereka di tempat tersebut.
Tidak beberapa
lama kemudian, terjadilah perselisihan antara anak-anak Namora Pande Bosi itu
dengan anak-anaknya bersama puteri raja Sigalangan.
Maka Namora
Pande Bosi menyuruh anaknya Si Langkitang dan Si Baitang meninggalkan Hatongga.
Mereka disuruhnya pergi ke daerah Mandailing dan jika mereka menemukan tempat
di mana terdapat dua sungai yang mengalir dari dua arah yang tepat bertentangan
(dalam bahasa Mandailing dinamakan muara patontang) di situlah mereka membuka
tempat pemukiman baru.
Setelah lama mengembara
akhirnya Si Langkitang dan Si Baitang menemukan muara patontang, lantas mereka
membuka pemukiman baru di tempat itu.
Tidak lama setelah ditinggalkan anaknya Si
Langkitang dan Si Baitang, Namora Pande Bosi meninggal dunia dan dimakamkan di
Hatongga. Makam tersebutlah yang akan dipugar. Isterinya Nan Tuan Layan Bolon
yang meninggal kemudian dimakamkan di satu tempat yang bernama Hombang Bide,
kurang lebih 2km dari Hatongga. Makamnya masih ada di situ sampai sekarang.
Semua keturunan Si Langkitang dan Si
Baitang yang menyebar di seluruh tanah Mandailing dan di tempat-tempat lain
dikenali sebagai orang-orang Mandailing yang bermarga Lubis.
;Pada tahun
1963, makam Namora Pande Bosi ditemukan di Hatongga, dengan petunjuk dari
keturunan Raja Sigalangan. Makam tokoh legendaris yang sangat terkenal itu
terletak di tengah persawahan penduduk setempat.
Makam tersebut berada kurang lebih 2km
jauhnya dari Jalan Raya Lintas Sumatra yang melalui desa Sigalangan, kurang
lebih 14km jauhnya dari kota Padang Sidimpuan (ibu kota Kabupaten Tapanuli
Selatan).
Atas usaha
sejumlah orang Mandailing bermarga Lubis, kurang lebih 1.6km panjangnya jalan
dari desa Sigalangan ke arah makam Namora Pande Bosi sudah dibangunkan sehingga
dapat ditempuh dengan kenderaan bermotor (kereta). Tetapi jalan menuju ke makam
tersebut, yang panjangnya kurang lebih 232 meter masih harus dibangun supaya
dapat dilalui dengan berjalan kaki atau dengan menggunakan kenderaan.
Jika jalan yang
panjangnya kurang lebih 232 meter tersebut sudah dibangun, maka para penziarah
yang selalu banyak berdatangan mengunjungi Namora Pande Bosi, di antaranya dari
Malaysia, akan mudah mendatangi makam yang dimuliakan itu. Menurut rencana
jalan yang panjangnya 232 meter itu akan dibangun dengan lebar 3 meter.
Berikut ini
diuraikan secara ringkas tiga jenis tari tradisional Mandailig, yaitu Sarama
(Sarama Datu dan Sarama babiat), Moncak, dan Tortor.
1.
Sarama (Sarama Datu Dan Sarama
Babiat
Dalam upacara
ritual seperti paturun sibaso (marsibaso) atau disebut juga pasusur begu,
tarian sarama diiringi oleh ensambel musik Gordang Sambilan, sedangkan
penarinya satu orang yang dinamakan Sibaso, adalah tokoh Shaman dalam religi
lama orang Mandailing yang disebut Si Pelebegu. Di masa lalu, upacara ritual
paturun sibaso diselenggarakan manakala pada suatu huta atau banua terjadi
musibah besar seperti mewabahnya penyakit kolera, dan musim kemarau atau
sebaliknya musim penghujan yang berkepanjangan sehingga mengganggu aktivitas
pertanian penduduk setempat, yang pada akhirnya akan menimbulkan kelaparan
karena habisnya persediaan padi (beras) sebagai makanan pokok mereka Untuk
mengatasi bala na godang (bencana besar) tersebut, mereka meminta pertolongan
begu, yaitu roh-roh leluhur, melalui perantaraan sibaso karena menurut keyakinan
mereka dahulu hanya sibaso inilah yang dapat berkomunikasi dengan begu. Upacara
ritual paturun sibaso dahulu dilaksanakan di alaman bolak (halaman luas) dari
Bagas Godang (istana raja), yang dihadiri oleh Raja, Namora Natoras, Si Tuan
Najaji (penduduk setempat), dan seorang tokoh supranatural bernama Datu yang
sangat besar peranannya, terutama untuk memimpin pelaksanaan upacara-upacara
ritual.
Ketika itu, datu
dipandang sebagai “gudang ilmu” karena ia memiliki berbagai macam kearifan
tradisional (traditional wisdom) yang sangat dibutuhkan untuk kesempurnaan
hidup komunitas huta atau banua.
Dalam upacara
ritual paturun sibaso disediakan makanan khusus untuk sibaso, yaitu parlaslas,
yang diletakkan di atas sebuah nampan antara lain berisi garing (ikan jurung)
yang dibakar dan pege (lengkuas), serta ngiro (air nira) di dalam tanduk ni
orbo (wadah yang terbuat dari tanduk kerbau). Setelah gordang sambilan
dimainkan dengan gondang (repertoar musik) khusus bernama Mamele Begu, sibaso
pun menari-nari dan kemudian mengalami kesurupan (trance). Dalam keadaan
kesurupan ini, Si Baso meminta makan dan minum.
Setelah makan
dan minum, Si Baso kembali menari-nari. Tidak lama kemudian, sang datu
menghampiri sibaso untuk memberitahukan adanya suatu peristiwa bala na godang (musibah
besar) yang sedang melanda penduduk, dan memohon kepada sibaso agar berkenan
menanyakan apa penyebab dan bagaimana solusinya kepada begu karena penduduk
sudah tidak mampu lagi untuk mengatasinya. Setelah itu, sibaso memberitahukan
apa penyebab dan bagaimana caranya mengatasi musibah besar itu kepada sang
datu. Setelah itu, sibaso pun terjatuh, lalu tidak sadarkan diri (pingsan).
Beberapa saat kemudian ia pun sadar kembali seperti semula, yakni keadaannya
sebelum upacara ritual tersebut dimulai.
2.
Moncak

Pencak silat di
Mandailing dinamakan Moncak, namun adakalnya disebut juga dengan istilah Cilek
yang artinya “silat”. Baik di Mandailing Godang maupun Mandailing Julu cukup
banyak perguruan silat. Di daerah Batang Natal (Mandailing Godang) terdapat satu
perguruan silat yang cukup terkenal karena guru dan murid-muridnya pemain silat
yang tangguh dan hebat dengan jurus-jurus yang mematikan. Mereka dilatih oleh
sang guru di suatu tempat bernama Dolok Sigantang. Oleh sebab itulah mereka
disebut Parsigantang dan nama jurus-jurus silatnya dinamakan pula Si Gantang.
Sementara di
Mandailing Julu pun terdapat banyak perguruan silat. Dua diantaranya yang cukup
kesohor adalah perguruan silat yang ada di Saba Garabak (Huta Pungkut Jae) dan
Muara Pungkut. Di samping marmoncak (bermain silat) dengan tangan kosong,
murid-murid yang belajar pencak silat di Saba Garabak juga menggunakan podang
(pedang) dan oris (keris). Sementara perguruan pencak silat yang ada
di Muara Pungkut cukup terkenal pula karena para muridnya diajari
jurus-jurus silat khusus yang disebut Linto (artinya "lintah"),
dimana gerakan-gerakan kaki mereka sewaktu bermain pencak silat mirip seperti
lintah (pacet). Selain itu, murid-murid dari kedua perguruan pencak silat
tersebut juga mempelajari ilmu kebatinan, yaitu “aji-aji” (jampi-jampi)
tertentu, yang "diamalkan" dalam suatu pertandingan atau pertarungan
untuk dapat mengalahkan pihak lawan.
3.
Tortor
Kalau
diperhatikan keadaan alam sekitar kawasan Mandailing, di bagian utara terdapat
dataran rendah yang cukup luas dan dijadikan areal persawahan oleh penduduk
setempat, sedangkan di bagian selatan umumnya daerah perbukitan (dataran
tinggi), adalah bagian dari Bukit Barisan yang ada di sepanjang Pulau Sumatera.
Di sana sebuah bukit dinamakan tor, dan bukit-bukit itu mereka beri nama,
seperti Tor Sijanggut di Huta Pungkut dan Tor Siojo di sebelah barat dari Pasar
Kotanopan. Bagian lembah (dataran rendah) dari Tor Siojo tersebut merupakan
areal persawahan yang cukup luas dan di daerah-daerah tertentu digunakan
sebagai tempat-tempat pemukiman oleh penduduk setempat. Seperti Aek Kapesong,
Ranggasoli, Jambur Tarutung, Sindang Laya dan Sawahan, adalah tempat-tempat
pemikiman yang tergolong banjar.
Berdasarkan luas
dan kepadatan penduduknya, tempat-tempat pemukiman di Mandailing mulai dari
yang terkecil disebut pagaran, lebih besar dari pagaran dinamakan banjar, dan
yang lebih besar dari banjar dinamakan lumban. Kesemua jenis tempat-tempat
pemukiman tersebut terdapat dalam satu kesatuan wilayah yang dinamakan huta
atau banua. Di Mandailing, setiap huta memiliki kesatuan wilayahnya sendiri dan
memiliki sistem pemerintahan sendiri (otonom) di bawah kepemimpinan Namora
Natoras yang dikepalai seorang raja yaitu Raja Pamusuk.
Sedangkan
gabungan dari beberapa huta, yang masing-masing awalnya berasal dari dan
direstui pembentukannya oleh huta induk (mother village) dengan suatu
“persekutuan hukum” (adattrechts gemeenschap, istilah dalam bahasa Mandailing
adalah Janjian). Gabungan dari beberapa huta atau banua (Janjian) ini juga
dipimpin oleh Namora Natoras namun dikepalai seorang raja yang bergelar Raja
Panusunan Bulung. Di masa lalu, gabungan dari beberapa huta yang dikepalai oleh
Raja Panusunan Bulung (Janjian) tersebut, adalah “kerajaan-kerajaan kecil” yang
cukup banyak terdapat di Mandailing, baik di kawasan Mandailing Godang maupun
Mandailing Julu.
Suku-bangsa
Mandailing memiliki sistem sosial yang dinamakan Dalian Na Tolo, yang
menumpukan kehidupannya kepada tiga kelompok kekerabatan yang bersifat
fungsional yaitu mora, kahanggi, dan anakboru. Dalam hal ini, mora adalah
“pihak yang memberikan anak gadis” dan sebaliknya anakboru adalah “pihak yang
menerima anak gadis”, sedangkan kahanggi adalah orang-orang yang bermarga sama
(disebut juga sisolkot) karena berasal dari satu ompu persadaan (nenek moyang)
yang sama. Seperti marga Nasution memiliki ompu parsadaan bernama Si Baroar,
dan Namora Pande Bosi adalah ompu parsadaan dari orang-orang Mandailing yang
bermarga Lubis.
Selain memiliki
sistem kekerabatan yang terpola dengan menganut penarikan garis keturunan
berdasarkan ayah (patrilineal), di dalam masyarakat Mandailing juga terdapat
stratifikasi (pelapisan) sosial yang telah berlangsung secara turun-temurun
dalam tiga lapisan. Pertama, Namora-mora adalah golongan bangsawan. Kedua, alak
na jaji atau si tuan na jaji adalah orang kebanyakan atau rakyat biasa. Ketiga,
hatoban atau partangga bulu adalah hamba sahaya. Mereka yang tergolong hatoban
disebabkan oleh beberapa hal, antara lain karena tidak mampu membayar utang,
sengaja dibeli untuk diperhamba, dan takluk (kalah) dalam peperangan. Namun di
beberapa huta dan janjian terdapat satu lapisan lagi yang disebut
natoras-toras, adalah pemuka-pemuka masyarakat (kaum cerdik-pandai) yang tidak
berstatus sebagai kaum bangsawan (namora-mora), dan bukan pula rakyat biasa
(alak na jaji). Kaum bangsawan di Mandailing mudah dikenali karena mereka
menyandang gelar Raja, Sutan, Mangaraja, atau Baginda. Di samping itu, tempat
tinggal (rumah) mereka disebut bagas na martanduk atau bagas na marbolang
karena dihiasi dengan ornamen-ornamen tradisional yang khas, sehingga tampak
jelas berbeda dengan rumah-rumah penduduk biasa di suatu huta.
Seni tari yang
disebut tortor memiliki keterkaitan yang sangat erat sekali dengan sistem
religi kuno orang Mandailing, yaitu Si Pelebegu. Hal ini ditunjukkan dengan
adanya satu ungkapan tradisional (istilah), yaitu somba do mulo ni tortor, yang
secara harafiah artinya “asal-mula tortor adalah sembah”.
Dalam hal ini,
somba (sembah) atau persembahan ditujukan kepada roh-roh leluhur (begu) yang
dipercayai memiliki kekuatan gaib dan berpengaruh besar terhadap berbagai aspek
kehidupan mereka. Di masa lalu, roh-roh para leluhur (begu) tersebut diyakini
ada yang bersemayam di tempat-tempat tertentu di dalam hutan (naborgo-borgo),
goa (guo), di gunung, perbukitan (tor), pohon-pohon besar (ayu ara), dan
sebagainya. Namun, sistem religi Si Pelebegu ini sekarang tidak banyak lagi
yang diketahui oleh orang-orang Mandailing sendiri, terlebih-lebih lagi
mengingat sebagian besar orang Mandailing sudah sejak lama menganut agama Islam
dan membuang kepercayaan lama tersebut karena bertentangan dengan ajaran-ajaran
agama mereka. Begitupun, kepercayaan kuno tersebut masih meninggalkan
bekas-bekasnya, seperti adanya istilah Si Pelebegu, ungkapan somba do mulo ni
tortor, patung yang terbuat dari batu atau kayu bernama tagor dan sangkalon,
repertoar musik dalam ritus pasusur begu bernama gondang mamele begu, dan
lain-lain.
Mengapa salah
satu tari tradisional mereka ini dinamakan tortor? Jawabanya tidak diketahui
secara pasti. Begitu pula kalau perkataan tortor ditinjau dari segi arti
harafiahnya.
Sementara
perkataan “tortor” pun tidak banyak ditemukan dalam “perbendaharaan kata”
bahasa Mandailing. Namun ada yang mengatakan bahwa istilah “tortor” yang
digunakan sebagai nama dari salah satu tari tradisional itu diduga berasal dari
kata “tor tu tor”, artinya “dari satu bukit ke bukit-bukit yang lainnya”, yang
kemudian berubah (disingkat) menjadi “tortor”. Dalam hal ini, mungkin
dapat ditafsirkan dari sudut pandang lain, bukan berdasarkan arti harafiahnya.
Karena sebagaimana diketahui bahwa di dataran tinggi Mandailing, terutama di
kawasan Mandailing Julu, terdapat banyak tor dan masing-masing memiliki nama
sendiri. Kalau diperhatikan istilah “tor tu tor” tersebut, juga dapat
mengandung pengertian yang melukiskan suatu keadaan atau hal-hal tertentu, di
mana dari bukit yang satu ke bukit-bikit lainnya kelihatan tampak seperti “garis”
yang turun-naik, berbentuk sejumlah “segi-tiga” yang berjejer, yang pada
dasarnya mirip seperti salah satu gerakan dalam tortor. Sewaktu para penari
sedang manortor (menarikan tortor), tubuh mereka tampak seperti “naik-turun”,
dengan cara menekuk kaki untuk mengikuti irama gondang (gendang), dan seirama
pula dengan gerakan dari kedua belah tangan masing-masing seperti orang yang
sedang marsomba (menyembah).
Dalam setiap
kegiatan manortor terdapat dua kelompok yang masing-masing orang berpasangan. Kelompok
pertama berjejer di barisan terdepan, sedangkan kelompok kedua berjejer pula
tepat di belakang kelompok pertama. Kelompok kedua ini disebut “pangayapi” atau
“panyembar”, dan kelompok pertama disebut “na iayapi” atau “na isembar”.
Kelompok pertama yang berada di barisan terdepan ini merupakan orang-orang atau
kelompok kekerabatan yang dihormati oleh orang-orang yang berada di barisan
belakang (kelompok kedua). Sesuai dengan ketentuan adat masyarakat Mandailing,
ada beberapa jenis tortor yang didasarkan kepada status atau kedudukan sosial
dari orang-orang yang manortor yaitu: (1) Tortor Raja Panulusan Bulung; (2)
Tortor Raja-Raja; (3) Tortor Suhut; (4) Tortor Kahanggi Suhut; (5) Tortor Mora;
(6) Tortor Anakboru; (7) Tortor Namorapule; dan (8) Tortor Naposo Nauli Bulung.
Pelaksanaan
Tortor Mora dalam upacara adat perkawinan (Haroan Boru) misalnya, yang manortor
di barisan terdepan (kelompok pertama, na iayapi) adalah orang-orang yang
berstatus sebagai Mora dari pihak yang melaksanakan upacara adat perkawinan
(disebut Suhut), sedangkan di barisan belakang (kelompok kedua, pangayapi)
adalah Suhut yang ketika itu berstatus sebagai Anakboru.
Kalau dalam
Tortor Anakboru, di barisan terdepan (na iayapi) adalah orang-orang yang
berstatus sebagai Anakboru dalam pelaksaanaan ucapara adat perkawinan tersebut,
maka orang-orang yang berada di barisan belakang (pangayapi) adalah “Anakboru
ni Anakboru” (Anakboru dari Anakboru itu sendiri) yang disebut Kijang Jorat.
Dalam pelaksanaan kedua jenis tortor ini, kesemuanya adalah kaum laki-laki.
Namun lain halnya dengan pelaksanaan Tortor Naposo Nauli Bulung, yang di
barisan terdepan (na isembar) adalah para anak gadis yang memiliki marga yang
sama misalnya Nasution, maka di barisan belakang (pangayapi) adalah para pemuda
yang (harus) bermarga lain misalnya Lubis, atau sebaliknya para anak gadis di
barisan depan (na isembar) bermarga Nasution, sedangkan dibarisan belakang
(panyembar) harus bermarga Lubis, atau marga-marga lain seperti Rangkuti,
Pulungan, Matondang, Daulae, dan Batubara. Pokoknya para pemuda dan pemudi
yang manortor secara berpasang-pasangan tersebut tidak boleh memiliki marga
(clan) yang sama. Idealnya, nauli bulung (anak gadis) sebagai pasangan naposo
bulung (pemuda) adalah boru tulang yaitu anak gadis dari mora (calon mertua) si
pemuda.
Gerakan kaki
antara kelompok kedua (pangayapi) dan kelompok pertama (na iayapi) tampak
sangat jelas berbeda ketika manortor. Kelompok pertama (barisan terdepan)
bergerak ke arah kanan atau kiri dengan menggerakkan ujung jari-jari kaki yang
disebut manyerser, sedangkan kelompok kedua (barisan belakang) bergerak dengan
cara melangkah yang disebut mangalangka. Kalau kelompok pertama (na isembar)
bersikap seperti orang yang sedang menyembah (marsomba) ketika manortor,
sementara masing-masing orang dari kelompok kedua (panyembar) bersikap seperti
alihi (burung elang) yang seakan-akan sedang “melindungi” (memuliakan)
pasangannya yang bergerak ke arah samping kiri ataupun kanan, di mana kedua
belah tangannya “terbuka di depan dada” yang tingginya di bawah bahu, yang
terkadang “oleng” ke kiri dan ke kanan untuk mengikuti arah gerakan kelompok
pertama (na isembar). Dalam kegiatan manortor ini, para panortor terlebih
dahulu manortor di tempat dengan menghadap ke arah depan. Setelah itu, mereka
bergerak ke arah samping kanan, lalu kembali manortor ke arah depan. Kemudian
bergerak ke arah samping kiri, dan kembali lagi ke formasi awal, yaitu manortor
di tempat dengan menghadap ke arah depan. Biasanya, gerakan manortor ke arah
kanan dan kiri tersebut dilakukan sebanyak tiga kali, dan setelah itu mereka
kemudian membentuk formasi baru yaitu “melingkar” dan beberapa saat kemudian
kembali lagi ke formasi semula, lalu bergerak lagi ke arah samping kanan dan
kiri. Selanjutnya kembali lagi ke formasi awal, dan akhirnya kegiatan manortor
pun usai.
Kegiatan manortor dalam Orja Siriaon
(upacara adat perkawinan) dan Orja Siluluton (upacara adat kematian)
menggunakan dua jenis gondang (repertoar musik) yang berbeda, yaitu gondang
sabe-sabe yang bertempo cepat (isar) digunakan sebagai “pembuka” kegiatan
manortor, dan gondang tortor yang bertempo lambat (erer) digunakan untuk
mengiringi kegiatan manortor selanjutnya. Ketika gondang sabe-sabe dimainkan,
di galanggang panortoran (tempat khusus untuk manortor) hadir seorang laki-laki
dengan gerakan sarama (manyarama) mendekati para panortor dengan membawa
sehelai “kait adat” (Abit Sende atau Patani) yang direntangkan pada kedua belah
tangannya. Setelah berada di dekat panortor, barulah “kain adat” tersebut
diletakkannya pada bagian pundak dari salah seorang panortor. Hal ini
dilakukannya kepada semua orang yang akan manortor. Setelah selesai untuk itu,
barulah gondang tortor dimainkan, dan tindak lama kemudian kegiatan manortor
pun dimulai.
Sewaktu manortor
ini berlangsung, seorang laki-laki yang bertindak sebagai Panjeir menyanyikan
sebuah lagu khusus untuk tortor, yaitu Jeir. Dan pada akhir kegiatan
manortor, para panortor selalu meneriakkan kata Horas, yang kemudian disambut
pula oleh orang-orang yang hadir berkumpul di situ dengan teriakan kata yang
sama.
BAB V
ETNIS PESISIR
Etnis Batak
Pesisir disebut juga sebagai etnis Pasisi atau etnis Pesisi, adalah salah satu
etnis yang terdapat di kota Sibolga dan Tapanuli Tengah. Masyarakat etnis
Batak Pesisir ini, hidup di sepanjang pesisir pantai sebelah barat Sibolga dan
Tapanuli Tengah.
Etnis Batak Pesisir ini sebenarnya berawal dari suku Batak Toba, Mandailing dan Angkola yang telah menetap di Sibolga dan Tapanuli Tengah, sejak beratus-ratus tahun yang lalu. Setelah sekian lama terjadi pembauran dari ketiga suku Batak ini, maka datanglah imigran lain yang berasal dari Minangkabau dan Melayu dari pesisir Timur Sumatra, lalu terjadi perkawinan-campur di antara ke 5 suku bangsa ini. Dari percampuran ke 5 suku bangsa ini lah terbentuk suatu komunitas yang disebut sebagai suku Pesisir. Pada awalnya mereka berbicara menggunakan bahasa Batak, tetapi setelah berabad-abad tercampur dengan budaya Minang dan Melayu, maka akhirnya bahasa merekapun berubah dan berganti menjadi bahasa Pesisir, seperti yang mereka ucapkan sehari-hari saat ini.
Etnis Batak Pesisir ini sebenarnya berawal dari suku Batak Toba, Mandailing dan Angkola yang telah menetap di Sibolga dan Tapanuli Tengah, sejak beratus-ratus tahun yang lalu. Setelah sekian lama terjadi pembauran dari ketiga suku Batak ini, maka datanglah imigran lain yang berasal dari Minangkabau dan Melayu dari pesisir Timur Sumatra, lalu terjadi perkawinan-campur di antara ke 5 suku bangsa ini. Dari percampuran ke 5 suku bangsa ini lah terbentuk suatu komunitas yang disebut sebagai suku Pesisir. Pada awalnya mereka berbicara menggunakan bahasa Batak, tetapi setelah berabad-abad tercampur dengan budaya Minang dan Melayu, maka akhirnya bahasa merekapun berubah dan berganti menjadi bahasa Pesisir, seperti yang mereka ucapkan sehari-hari saat ini.
Adat dan
kebudayaan yang diamalkan oleh suku Batak Pesisir ini, lebih banyak dipengaruh
budaya Melayu. Pada awalnya suku Batak Pesisir ini lebih suka kalau
disebut sebagai orang Melayu Pesisir saja, tetapi belakangan ini, tidak sedikit
dari mereka yang tidak menolak disebut sebagai suku Batak Pesisir. Bahkan
belakangan ini sebagian dari masyarakat suku Pesisir ini mulai mencantumkan
kembali marga-marga lamanya seperti Pohan, Siregar, Sitompul, Tanjung, Pasaribu
dan lain-lain. (salah satu putra dari suku Batak Pesisir ini adalah Pak Akbar
Tanjung).
Bahasa
Pesisir adalah bahasa yang dipergunakan masyarakat Batak Pesisir di
Tapanuli Tengah dan Sibolga, yang menjadi bahasa percakapan dalam pergaulan
sehari-hari. Bahasa Pesisir ini agak unik, karena bahasa Pesisir ini adalah
hasil gabungan dari 3 bahasa, yaitu dari bahasa Batak Mandailing, Minangkabau
dan Melayu. Jadi suku Pesisir ini sebenarnya adalah orang Batak yang
berbahasa Melayu. Hal ini mirip seperti masyarakat Batak di Rokan Hulu provinsi
Riau atau masyarakat Rao di kabupaten Pasaman Sumatra Barat.
Keberadaan suku Pesisir ini, mungkin belum
banyak dikenal oleh masyarakat lain di pulau Jawa
atau daerah-daerah lain di luar provinsi
Sumatra Utara. Tetapi sebenarnya, suku Pesisir ini telah eksis selama
beratus-ratus tahun di wilayah Sibolga dan Tapanuli Tengah, dan berdiri sejajar
dengan etnis-etnis lain seperti suku Toba, Mandailing, Angkola, Minangkabau dan
Melayu.
Kehidupan masyarakat Pesisir pada umumnya adalah sebagai nelayan. Tetapi tidak sedikit yang telah bekerja di sektor pemerintahan dan swasta. Selain itu pada sektor pendidikan juga banyak yang telah berhasil mencapai Universitas. Kehidupan lain yang dijalani oleh masyarakat suku Pesisir ini, adalah sebagai guru, pedagang, wiraswasta dan lain-lain.
Kehidupan masyarakat Pesisir pada umumnya adalah sebagai nelayan. Tetapi tidak sedikit yang telah bekerja di sektor pemerintahan dan swasta. Selain itu pada sektor pendidikan juga banyak yang telah berhasil mencapai Universitas. Kehidupan lain yang dijalani oleh masyarakat suku Pesisir ini, adalah sebagai guru, pedagang, wiraswasta dan lain-lain.
Berikut beberapa etnis Melayu Pesisir Timur.
- Etnis Melayu
Pesisir Langkat,
berbaur dengan suku Karo, Malaysia dan Aceh. Kebanyakan suku ini terdapat di kecamatan Stabat dan Tanjung Pura di kabupaten Langkat.
Saat ini suku ini tergabung dalam kelompok suku Melayu Langkat.
Berbicara menggunakan bahasa Melayu dialek "e" - Etnis
Melayu Pesisir Deli,
berbaur dengan suku Karo, Toba, Arab, Malaysia. Kebanyakan suku ini terdapat di kabupaten Deli Serdang.
Saat ini suku ini tergabung dalam kelompok suku Melayu Deli.
Berbicara menggunakan bahasa Melayu, yang mirip dengan bahasa Indonesia, hanya lebih cepat dan singkat. - Etnis
Melayu Pesisir Serdang,
berbaur dengan suku Toba dan Minang. Kebanyakan suku ini terdapat di kecamatan Perbaungan dan Pantai Cermin.
Berbicara menggunakan bahasa Melayu dialek "o". - Etnis
Melayu Pesisir Tebing Tinggi,
berbaur dengan suku Simalungun, Karo, Toba dan Minang, kebanyakan berada di wilayah Tebing Tinggi.
Berbicara menggunakan bahasa Melayu dialek "o" - Etnis
Melayu Pesisir Asahan,
berbaur dengan suku-suku Toba, Mandailing, Minang. Kebanyakan suku ini terdapat di kotamadya Tanjung Balai, Kisaran, desa Simpang Tiga kecamatan Labuhan Ruku, desa Lima Laras dan desa Ujung Kubu kecamatan Tanjung Tiram.
Berbicara menggunakan bahasa Melayu dialek "o". - Etnis
Melayu Pesisir Labuhan Batu,
berbaur dengan suku-suku Toba, Mandailing, Lubu, Rao, Minang dan Riau. Kebanyakan suku ini terdapat di daerah Rantau Prapat, Tanjung Medan, Kota Pinang dan Negeri Lama kecamatan Bilah.
Berbicara menggunakan bahasa Melayu dialek "o", tapi dengan ragam bahasa yang agak berbeda.
Etnis Batak Pesisir ini memiliki beberapa kesenian budaya yang cukup
populer di kalangan masyarakat di Sumatra Utara, yaitu:
- Dampeng
- Tari Payung


BAB VI
ETNIS SIMALUNGUN
Etnis Simalungun
adalah salah etnis yang berada di provinsi Sumatera
Utara, Indonesia,
yang menetap di Kabupaten Simalungun dan sekitarnya. Beberapa
sumber menyatakan bahwa leluhur etnis ini berasal dari daerah India Selatan.
Sepanjang sejarah etnis ini terbagi ke dalam beberapa kerajaan. Marga asli
penduduk Simalungun adalah Damanik, dan 3 marga pendatang yaitu, Saragih,
Sinaga, dan Purba. Kemudian marga
marga (nama keluarga) tersebut menjadi 4 marga besar di Simalungun.
Orang Batak menyebut suku
ini sebagai suku "Si Balungu" dari legenda hantu yang menimbulkan
wabah penyakit di daerah tersebut, sedangkan orang Karo
menyebutnya Timur karena bertempat di sebelah timur mereka
Asal-usul
Terdapat
berbagai sumber mengenai asal usul Etnis Simalungun, tetapi sebagian besar menceritakan
bahwa nenek moyang etnis Simalungun berasal dari luar Indonesia.
Kedatangan ini terbagi dalam 2 gelombang :
Kedatangan ini terbagi dalam 2 gelombang :
1.
Gelombang pertama (Simalungun
Proto ), diperkirakan datang dari Nagore (India Selatan) dan pegunungan Assam
(India Timur) di sekitar abad ke-5, menyusuri Myanmar, ke Siam dan Malaka
untuk selanjutnya menyeberang ke Sumatera Timur dan mendirikan kerajaan Nagur
dari Raja dinasti Damanik.
2.
Gelombang kedua (Simalungun
Deutero), datang dari suku-suku di sekitar Simalungun yang bertetangga dengan suku asli
Simalungun.
Pada gelombang Proto Simalungun di atas,
Tuan Taralamsyah Saragih menceritakan bahwa rombongan yang terdiri dari
keturunan dari 4 Raja-raja besar dari Siam dan India ini bergerak dari Sumatera
Timur ke daerah Aceh,
Langkat,
daerah Bangun Purba, hingga ke Bandar Kalifah sampai Batubara.
Kemudian mereka
didesak oleh suku setempat hingga bergerak ke daerah pinggiran danau Toba
dan Samosir.
Pustaha Parpandanan Na Bolag (pustaka
Simalungun kuno) mengisahkan bahwa Parpandanan Na Bolag (cikal bakal daerah
Simalungun) merupakan kerajaan tertua di Sumatera Timur yang wilayahnya bermula
dari Jayu (pesisir Selat Malaka) hingga ke Toba. Sebagian sumber lain
menyebutkan bahwa wilayahnya meliputi Gayo dan Alas di Aceh hingga
perbatasan sungai Rokan di Riau.
Kini, di
Kabupaten Simalungun sendiri, Akibat derasnya imigrasi, suku Simalungun hanya
menjadi mayoritas di daerah Simalungun Atas.
Sistem mata
pencaharian orang Simalungun yaitu bercocok tanam dengan padi dan jagung, karena padi
adalah makanan pokok sehari-hari dan jagung adalah makanan tambahan jika hasil
padi tidak mencukupi. Jual-beli diadakan dengan barter, bahasa yang dipakai
adalah bahasa dialek. "Marga" memegang peranan penting dalam soal adat Simalungun. Jika
dibandingkan dengan keadaan Simalungun dengan suku Batak yang lainnya sudah
jauh berbeda.
A. Kesenian/Kebudayaan
Toping-toping
dan tangis tangis adalah jenis tarian tradisional dari suku Batak Simalungun
yang dilaksanakan pada acara duka cita di kalangan keluarga Kerajaan.
Toping-toping atau huda-huda ini terdiri dari 3 (tiga)m bagian, bagian pertama
yaitu huda-huda yang dibuat dari kain dan memiliki paruh burung enggang yang
menyerupai kepala burung enggang yang konon menurut cerita orang tua bahwa
burung enggang inilah yang akan membawa roh yang telah meninggal untuk
menghadap yang kuasa, bagian yang kedua adalah manusia memakai topeng yang
disebut topeng dalahi dan topeng ini dipakai oleh kaum laki-laki dan wajah
topeng juga menyerupai wajah laki-laki dan kemudia topeng daboru dan yang
memakai topeng ini adalh perempuan karena topeng ini menyerupai wajah perempuan
(daboru). Pada tanggal 06 s/d 08 Agustus 2009 tepatnya di Kota Perdagangan
Pematang Siantar diadakan acara yang disebut dengan Pasta Rondang Bintang,
acara ini dilaksanakan secara rutin setiap tahunnya. Dalam acara ini digelar
berbagai kegiatan seni dan budaya diantaranya berbagai jenias tari daerah
Simalungun, Festival Lagu daerah, permainan tradisional (Jelengkat atau
enggrang) dan Festival Toping-toping dan tangis-tangis.
Festival
toping-toping dan tangis-tangis ini diadakan pada acara Pesta Rondang Bintang
dengan tujuan untuk mengangkat dan mengembangkan kembali peranan toping-toping
atau tangis-tangis yang biasanya dilaksanakan pada saat acara duka cita di
daerah Simalungun. Pada Zaman dahulu penampilan huda-huda atau toping-toping
dan tangis-tangis hanya dilaksanakan dikalangan keluarga kerajaan saja dan
karena sekarang keberadaannya sudah tidak ada lagi, maka akan diaktifkan kembali
dalam kehidupan sehari hari. Dari sekian lama Pesta Rondang Bintang
dilaksanakan baru kali ini diadakan festival toping-toping dan tangis-tangis
karena dari pengamatan dan pantauan dilapangan sudah sangat jarang dan biasanya
acara ini juga dilaksanakan jika orang yang punya hajatan adalah orang yang
sudah saur matua atau orang yang sudah lengkap anak, cucu dari masa tuanya.
Dengan keragaman
budaya yang ada di Indonesia, tentanya kebudayaan ini sangatlah penting arti
dan manfaatnya dimasa mendatang, oleh sebab itu diharapkan hendaklah kita dapat
melestarikan budaya peninggalan nenek moyang kita yang diwariskan kepada kita
dan anak cucu kita. Kalau ditinjau dari segi jenis tarian dan kebudayaan, tari
toping-toping dan tangis-tangis ini tidak dapat kita jumpai dimanapun
terkecuali di daerah Simalungun dan ini akan menjadi aset atau kekayaan budaya
daerah Simalungun khususnya dan Sumatera Utara juga Indonesia pada umumnya,
oleh sebab itu marilah kita menjaga dan mengembangkan kekayaan budaya yang kita
miliki.




BAB VII
ETNIS NIAS
Etnis Nias
adalah kelompok masyarakat yang hidup di pulau Nias.
Dalam bahasa aslinya, orang Nias menamakan diri mereka "Ono Niha"
(Ono = anak/keturunan; Niha = manusia) dan pulau Nias sebagai "Tanö
Niha" (Tanö = tanah).
Masyarakat Nias
adalah masyarakat yang hidup dalam lingkungan adat dan kebudayaan yang masih
tinggi. Hukum adat Nias secara umum disebut fondrakö yang mengatur segala segi
kehidupan mulai dari kelahiran sampai kematian. Masyarakat Nias kuno hidup
dalam budaya megalitik dibuktikan oleh peninggalan sejarah berupa ukiran pada
batu-batu besar yang masih ditemukan di wilayah pedalaman pulau ini sampai
sekarang. Kasta : Suku Nias mengenal sistem kasta(12 tingkatan Kasta).
Dimana tingkatan kasta yang tertinggi adalah "Balugu". Untuk mencapai
tingkatan ini seseorang harus mampu melakukan pesta besar dengan mengundang
ribuan orang dan menyembelih ribuan ekor.
Makanan Khas
- Gowi Nihandro (Gowi Nitutu ; Ubi tumbuk)
- Harinake (daging babi cincang dengan cacahan yang tipis dan kecil-kecil)
- Godo-godo (ubi / singkong yang diparut, dibentuk bulat-bulat kemudian direbus setelah matang di taburi dengan kelapa yang sudah di parut)
- Köfö-köfö(daging ikan yang dihancurkan, dibentuk bulat dan dijemur/dikeringkan/diasap)
- Ni'owuru (daging babi yang sengaja diasinkan agar bisa bertahan lama)
- Rakigae (pisang goreng)
- Tamböyö (ketupat)
- löma (beras ketan yang dimasak dengan menggunakan buku bambu)
- gae nibogö (pisang bakar)
- Kazimone (terbuat dari sagu)
- Wawayasö (nasi pulut)
- Gulo-Gulo Farö (manisan dari hasil sulingan santan kelapa)
- Bato (daging kepiting yang dipadatkan dalam bentuk bulat agar dapat bertahan lama; terdapat di Kepulauan Hinako)
- Nami (telur kepiting dapat berupa nami segar atau yang telah diasinkan agar awet, dapat bertahan hingga berbulan-bulan tergantung kadar garam yang ditambahkan)
Peralatan Rumah Tangga di Nias
- Bowoa tanö - periuk dari tanah liat, alat masak tradisional
- Figa lae - daun pisang yang dipakai untuk menjadi alas makanan
- Halu (alat menumbuk padi) - Alu
- Lösu - lesung
- Gala - dari kayu seperti talam
- Sole mbanio - tempat minum dari tempurung
- Katidi - anyaman dari bambu
- Niru (Alat untuk menapik beras untuk memisahkan dedak)
Amaedola Nias
- Hulö ni femanga mao, ihene zinga (Bagaikan kucing yang sedang makan di mulai dari pinggiran) Artinya: Dalam melakukan sesuatu hal, di mulai dengan hal yang mudah ke yang sulit.
- Hulö la'ewa nidanö ba ifuli fahalö-halö (Bagaikan air di potong-potong tetap bersatu kembali) Artinya: Sesuatu yang tidak bisa untuk di pisahkan.
- Abakha zokho safuria moroi ba zi oföna (Lebih dalam luka terakhir dari pada luka yang pertama) Artinya: Sesuatu tindakan akan sangat terasa pada akhirnya.
Minuman
- Tuo nifarö (tuak) adalah minuman yang berasal dari air sadapan pohon nira (dalam bahasa Nias "Pohon Nira" = "töla nakhe" dan pohon kelapa (dalam bahasa Nias "Pohon Kelapa" = "töla nohi") yang telah diolah dengan cara penyulingan. Umumnya Tuo nifarö mempunyai beberapa tingkatan (bisa sampai 3 (tiga) tingkatan kadar alkohol). Dimana Tuo nifarö No. 1 bisa mencapai kadar alkohol 43%.
- Tuo mbanua (minuman tuak mentah yang berasal dari air sadapan pohon kelapa atau pohon nira yang telah diberi 'laru' berupa akar-akar tumbuhan tertentu untuk memberikan kadar alkohol)
Budaya Nias
·
Fahombo (Lompat
Batu)
·
Fatele/Foluaya(Tari
Perang)
·
Maena (Tari berkoelompok)
·
Tari Moyo (Tari Elang)
·
Fangowai (Tari sekapur
sirih/penyambutan tamu)
·
Fame Ono nihalõ
(Pernikahan)
·
Omo Hada (Rumah Adat)
Fame'e Tõi Nono Nihalõ
(Pemberian nama bagi perempuan yang sudah menikah)
Fasösö Lewuö (Menggunakan adu
bambu untuk menguji kekuatan pemuda Nias)
Dalam budaya Ono Niha (Nias) terdapat
cita-cita atau tujuan rohani hidup bersama yang termakna dalam salam “Ya’ahowu”
(dalam terjemahan bebas bahasa Indonesia “semoga diberkati”). Dari arti
Ya’ahowu tersebut terkandung makna: memperhatikan kebahagiaan orang lain dan
diharapkan diberkati oleh Yang Lebih Kuasa. Dengan kata lain Ya’ahowu
menampilkan sikap-sikap: perhatian, tanggungjawab, rasa hormat, dan pengetahuan.
Jika seseorang bersikap demikian, berarti orang tersebut memperhatikan
perkembangan dan kebahagiaan orang lain : tidak hanya menonton, tanggap,
dan bertanggungjawab akan kebutuhan orang lain (yang diucapkan : Selamat –
Ya’ahowu), termasuk yang tidak terungkap, serta menghormatinya sebagai sesama
manusia sebagaimana adanya. Jadi makna yang terkandung dalam “Ya’ahowu” tidak
lain adalah persaudaraan (dalam damai) yang sungguh dibutuhkan sebagai wahana
kebersamaan dalam pembangunan untuk pengembangan hidup bersama.
Bab VIII
Etnis Karo
Karo mendiami
Dataran Tinggi Karo, Sumatera
Utara, Indonesia.
Etnis ini merupakan salah satu etnis terbesar dalam Sumatera Utara. Nama etnis
ini dijadikan salah satu nama Kabupaten di salah satu wilayah yang mereka diami
(dataran tinggi Karo) yaitu Tanah Karo. Suku ini memiliki bahasa sendiri yang
disebut Bahasa
Karo atau Cakap Karo. Pakaian adat etnis Karo didominasi dengan warna merah serta hitam dan penuh
dengan perhiasan emas.
Karo dianggap sebagai bagian dari
suku kekerabatan Batak, seperti kekerabatan Batak Toba, Batak Mandailing, Batak
Simalungun, Batak Pak-Pak atau Dairi, dan Batak Karo. Namun kebanyakan
masyarakat suku Karo menggap bahwa mereka bukanlah bagian dari kekerabatan
Batak tersebut, tetapi Karo adalah suku yang berdiri sendiri.
Marga
Suku Karo memiliki sistem kemasyarakatan atau adat yang dikenal dengan nama merga silima, tutur siwaluh, dan rakut sitelu. Masyarakat Karo mempunyai sistem marga (klan). Marga atau dalam bahasa Karo disebut merga tersebut disebut untuk laki-laki, sedangkan untuk perempuan yang disebut beru. Merga atau beru ini disandang di belakang nama seseorang. Merga dalam masyarakat Karo terdiri dari lima kelompok, yang disebut dengan merga silima, yang berarti marga yang lima. Kelima merga tersebut adalah:
1. Karo-karo
2. Tarigan
3. Ginting
4. Sembiring
5. Perangin-angin
Kelima merga ini masih mempunyai submerga masing-masing. Setiap orang Karo mempunyai salah satu dari merga tersebut. Merga diperoleh secara otomatis dari ayah. Merga ayah juga merga anak. Orang yang mempunyai merga atau beru yang sama, dianggap bersaudara dalam arti mempunyai nenek moyang yang sama. Kalau laki-laki bermarga sama, maka mereka disebut (b)ersenina, demikian juga antara perempuan dengan perempuan yang mempunyai beru sama, maka mereka disebut juga (b)ersenina. Namun antara seorang laki-laki dengan perempuan yang bermerga sama, mereka disebut erturang, sehingga dilarang melakukan perkawinan, kecuali pada merga Sembiring dan Peranginangin ada yang dapat menikah diantara mereka.
Suku Karo memiliki sistem kemasyarakatan atau adat yang dikenal dengan nama merga silima, tutur siwaluh, dan rakut sitelu. Masyarakat Karo mempunyai sistem marga (klan). Marga atau dalam bahasa Karo disebut merga tersebut disebut untuk laki-laki, sedangkan untuk perempuan yang disebut beru. Merga atau beru ini disandang di belakang nama seseorang. Merga dalam masyarakat Karo terdiri dari lima kelompok, yang disebut dengan merga silima, yang berarti marga yang lima. Kelima merga tersebut adalah:
1. Karo-karo
2. Tarigan
3. Ginting
4. Sembiring
5. Perangin-angin
Kelima merga ini masih mempunyai submerga masing-masing. Setiap orang Karo mempunyai salah satu dari merga tersebut. Merga diperoleh secara otomatis dari ayah. Merga ayah juga merga anak. Orang yang mempunyai merga atau beru yang sama, dianggap bersaudara dalam arti mempunyai nenek moyang yang sama. Kalau laki-laki bermarga sama, maka mereka disebut (b)ersenina, demikian juga antara perempuan dengan perempuan yang mempunyai beru sama, maka mereka disebut juga (b)ersenina. Namun antara seorang laki-laki dengan perempuan yang bermerga sama, mereka disebut erturang, sehingga dilarang melakukan perkawinan, kecuali pada merga Sembiring dan Peranginangin ada yang dapat menikah diantara mereka.
Aksara Karo
Aksara Karo ini adalah aksara kuno yang dipergunakan oleh masyarakat Karo, akan tetapi pada saat ini penggunaannya sangat terbatas sekali bahkan hampir tidak pernah digunakan lagi.guna melengkapi cara penulisan perlu dilengkapi dengan anak huruf seperti o= ketolongen, x= sikurun, ketelengen dan pemantek
Tari tradisional
Suku Karo mempunyai beberapa tari tradisional, di antaranya:
• Piso Surit
• Lima Serangkai
• Terang Bulan
Kegiatan Budaya
• Merdang merdem = "kerja tahun" yang disertai "Gendang guro-guro aron".
• Mahpah = "kerja tahun" yang disertai "Gendang guro-guro aron".
• Mengket Rumah Mbaru - Pesta memasuki rumah (adat - ibadat) baru.
• Mbesur-mbesuri - "Ngerires" - membuat lemang waktu padi mulai bunting.
• Ndilo Udan - memanggil hujan.
Aksara Karo ini adalah aksara kuno yang dipergunakan oleh masyarakat Karo, akan tetapi pada saat ini penggunaannya sangat terbatas sekali bahkan hampir tidak pernah digunakan lagi.guna melengkapi cara penulisan perlu dilengkapi dengan anak huruf seperti o= ketolongen, x= sikurun, ketelengen dan pemantek
Tari tradisional
Suku Karo mempunyai beberapa tari tradisional, di antaranya:
• Piso Surit
• Lima Serangkai
• Terang Bulan
Kegiatan Budaya
• Merdang merdem = "kerja tahun" yang disertai "Gendang guro-guro aron".
• Mahpah = "kerja tahun" yang disertai "Gendang guro-guro aron".
• Mengket Rumah Mbaru - Pesta memasuki rumah (adat - ibadat) baru.
• Mbesur-mbesuri - "Ngerires" - membuat lemang waktu padi mulai bunting.
• Ndilo Udan - memanggil hujan.
• Rebu-rebu - mirip pesta "kerja tahun".
• Ngumbung - hari jeda "aron" (kumpulan pekerja di desa).
• Erpangir Ku Lau - Buang Sial.
• Raleng Tendi - "Ngicik Tendi" = memanggil jiwa setelah seseorang kurang tenang karena terkejut secara suatu kejadian yang tidak disangka-sangka.
• Motong Rambai - Pesta kecil keluarga - handai taulan untuk memanggkas habis rambut bayi (balita) yang terjalin dan tidak rapi.
• Ngaloken Cincin Upah Tendi - Upacara keluarga pemberian cincin permintaan dari keponakan (dari Mama ke Bere-bere atau dari Bibi ke Permain).
• Ngaloken Rawit - Upacara keluarga pemberian pisau (tumbuk lada) atau belati atau celurit kecil yang berupa permintaan dari keponakan (dari Mama ke Bere-bere) - keponakan laki-laki.

MAKALAH
ETNIS SUMATERA UTARA
D
I
S
U
S
U
N
OLEH
:
NAMA
: NANI CHAIRANI LESTARI LUBIS
GURU
PEMBIMBING : REFELINA PUSPITA, Spd
NIP :
196812111996032001
SMA
NEGERI 1 PLUS MATAULI PANDAN
Kata Pengantar
Puji syukur kehadirat
Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa. Bahwa saya masih diberikan nikmat sehat,
sehingga saya dapat menyelesaikan makalah ini yang membahas tentang “Etnis di
Sumatera Utara”
Tujuan dari pembuatan
makalah ini adalah, selain untuk memenuhi tugas, juga untuk berbagi referensi tentang
etnis-etnis di Sumatera Utara.
Saya mengucapkan
terimakasih kepada semua pihak yang telah banyak membantu dan membimbing,
sehingga saya dapat menyelesaikan makalah ini dengan lancar.
Saya
menyadari bahwa, makalah ini belum sempurna, maka dari itu kritik dan saran
yang membangun sangat saya harapkan untuk perbaikan pembuatan makalah
selanjutnya. Mudah-mudahan makalah sederhana ini bermanfaat bagi para pembaca. Terimaksih
Juli 2014
Nani Chairani Lestari Lubis
PENDAHULUAN
Sebelum kita
membahas tentang etnis di SumateraUtara, ada baiknya kita mengetahui sedikit
tentang Provinsi Sumatera Utara secara keseluruhan. Berikut ini data mengenai
Provinsi Sumatera Utara.
Sumatera
Utara
|
|||
|
|||
Peta lokasi Sumatera Utara
|
|||
Hari jadi
|
|||
Dasar hukum
|
UU 10/1948, UU 24/1956
|
||
Ibu kota
|
|||
Pemerintahan
|
|||
• Gubernur
|
|||
Luas
|
|||
• Total
|
72.981.23 km2 (28,178.21 mil²)
|
||
• Total
|
12.982.204
|
||
• Kepadatan
|
180/km2 (460/sq mi)
|
||
Demografi
|
|||
• Agama
|
|||
• Bahasa
|
|||
25
|
|||
8
|
|||
325
|
|||
5.456
|
|||
Situs web
|
Provinsi Sumatera Utara dihuni oleh berbagai
ragam etnis / suku bangsa, baik sebagai etnis asli, maupun etnis pendatang.
Etnis asli Sumatera Utara terdiri dari 8 (delapa) etnis yaitu:
·
Melayu
·
Pakpak
·
Batak
toba
·
Batak
angkola / Mandailing
·
Pesisir
·
Simalungun
·
Nias.
Sedangkan
etnis pendatang terdiri dari etnis :
·
Jawa
·
India
·
Padang
·
Arab
·
Aceh
·
Tionghoa


BAB I
ETNIS MELAYU
Suku Melayu adalah nama yang menunjuk pada
suatu kelompok yang ciri utamanya adalah penuturan bahasa Melayu. Suku Melayu bermukim di sebagian besar
Malaysia, pesisir timur Sumatera, sekeliling pesisir Kalimantan, Thailand Selatan, serta pulau-pulau kecil
yang terbentang sepanjang Selat Malaka dan Selat Karimata. Di Indonesia, jumlah suku Melayu sekitar 15%
dari seluruh populasi, yang sebagian besar mendiami propinsi Sumatera Utara,Riau, Kepulauan Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Bangka Belitung, danKalimantan Barat.[9]
Meskipun begitu, banyak pula masyarakat Minangkabau, Mandailing, danDayak yang berpindah ke wilayah pesisir timur Sumatra dan pantai barat
Kalimantan, mengaku sebagai orang Melayu. Selain di Nusantara, suku Melayu juga
terdapat di Sri Lanka, Kepulauan Cocos (Keeling) (Cocos Malays), danAfrika Selatan (Cape
Malays).
Peta
Persebaran Masyarakat Etnik Melayu

A.Kesenian
Dalam masyarakat
Melayu, seni dapat dibagi menjadi dua: seni persembahan (tarian, nyanyian,
persembahan pentas seperti makyong, wayang kulit, ghazal, hadrah, kuda kepang)
dan seni tampak (seni ukir, seni bina, seni hias, pertukangan tangan, tenunan,
anyaman dll). Permainan tradisi seperti gasing, wau, congkak, juga termasuk
dalam kategori seni persembahan. Kegiatan seni Melayu mempunyai identitas
tersendiri yang juga memperlihatkan gabungan berbaga-bagai unsur asli dan luar
- Tarian
Tari Persembahan adat Melayu
Tari Persembahan adalah Sebuah tari Melayu yang khusus
untuk menyambut tamu-tamu, Tak lengkap rasanya bila suatu acara khusus tidak
menampilkan tari persembahan ini.
Tari persembahan bisa dibilang tari sekapur sirih.
bila rentak irama gendangnya dipercepat,ini menandakan acara pemberian
sirih kepada tamu undangan dimulai, Begitulah sampai para penari beranjak
pergi.
- Nyanyian
Kumpulan Lagu-lagu daerah RiauLagu Daerah Riau – Riau
sebagai daerah kaya budaya dan seni sudah pasti memiliki lagu daerah sendiri.
Ada banyak lagu-lagu daerah Riau, mulai dari lagu berbahasa Melayu,
Kebanyakan lagu daerah Riau jarang diputar radio-radio
kota Pekanbaru, kecuali lagu-lagu sudah sangat populer seperti Lancang Kuning
yang memang maestronya lagu daerah Riau.
Lagu Seroja
Lagu Tuanku Tambusai
Lagu Lancang Kuning
Lagu Tanjung Katung
Lagu Selayang Pandang
Lagu Hangtuah
Lagu Bunga Tanjung
Lagu Soleram
Kutang Barendo, Lagu daerah Kampar
Moncik Badasi, Lagu daerah Kampar
Randai Lomak Diurang Katuju di Awak, Lagu daerah Taluk
Kuantan, Kuansing
- Musik tradisional
Gambus Melayu Riau, Seni Musik Tradisional
Gambus Melayu Riau, Seni Musik TradisionalGambus
Melayu Riau adalah salah satu jenis instrumental musik tradisional yang
terdapat hampir di seluruh kawasan Melayu.Pergeseran nilai spiritual dan
kebersamaan dalam masyarakat Melayu di Pekanbaru yang terjadi pada waktu ke
waktu menyebabkan perubahan pandangan masyarakat terhadap kesenian Gambus dan
Zapin.
kompang
talempong
- Upacara tradisional
Para ibu-ibu dan tetangga dekat sedang memasak
untuk acara Resepsi Pernikahan, biasanya diadakan di rumah mempelai perempuan.
Di Kabupaten pekanbaru dari zaman ninik mamak
terdahulu, apa bila ada saudara sekampung yang hendak menikah, maka keluarga
dari mempelai yang hendak menikah harus memanggil para tetangga kampung untuk
membantu kegiatan memasak yang dilakukan 3 hari ataupun sehari sebelum acara
resepsi pernikahan berlangsung (hitungan ini tergantung dari keluarga
mempelai), karena masyarakat kampar sejak dulu dikenal dengan cara bergotong
royong ini pula, maka di kampar jarang sekali yang melakukan “catering” untuk
acara pernikahan.
- Acara Shalawatan (Badiqiu)
Badiqiu merupakan suatu acara Budaya sakral yang
dilakukan oleh para tokoh-tokoh dan sesepuh adat pada malam hari sebelum acara
resepsi pernikahan dilakukan, agar acara pernikahan ini berlangsung dengan
hikmat dan keluarga yang baru menjadi keluarga yang utuh hingga akhir hayat.
- Acara Pengantaran Pihak Lelaki ke rumah Pihak
Perempuan (Ba’aghak)
Dengan dentuman Rebana dari para tokoh adat ini,
menambah kehikmatan nilai budaya yang sakral pada acara pengantaran Pihak
Lelaki ke rumah Pihak Perempuan, biasanya shalawatan selalu di kumandang kan
hingga akhirnya Pihak Lelaki sampai kerumah Pihak Perempuan.
Akhirnya Mempelai Lelaki sampai juga ke rumah Mempelai
Perempuan, dan mereka langsung dipertemukan kemudian di persandingkan.
- Cerita rakyat
Berikut kumpulan cerita rakyat dari berbagai daerah di
Riau diantara, Dumai, Indragiri Hilir dan Kota Pekanbaru.
- Cerita Rakyat Riau, Dumai: Putri ujuh
- Cerita Rakyat Riau, Inhil: Batu Batangkup
- Cerita Rakyat Riau: Si Lancang Kuning
- Cerita Rakyat Riau, Kota Pekanbaru – Putri Kaca
Mayang
- Cerita Rakyat Riau, Inhil – Batang Tuaka
- Cerita Rakyat Riau, Kuansing – Ombak Nyalo Simutu
Olang
- Permainan rakyat
Permainan Tradisional Daerah Riau, GasingPermainan
Tradisonal Riau
Apa permainan tradisional daerah Riau?. Jika Anda
adalah orang Riau apalagi orang Melayu pasti sudah tahu, atau pernah memainkan,
atau malah membuatnya.
Ya, mianan tradisional Riau, salah satunya, adalah
gasing. Tidak jelas kapan pertama kalinya orang-orang memainkan gasing. Memang
permainan tradisional di daerah Riau tidak hanya gasing, namun nyatanya
gasinglah yang paling populer.
Gasing banyak banyak dimainkan di daerah Riau
kepulauan seperti Natuna, Tanjung Pinang, Lingga dan disepanjang pantai timur
Sumatra, khususnya orang Melayu.
Permainan Bang Senebu
Permainan ini
dimainkan anak dengan jumlah 5-12 anak.Pemainan ini dimulai denga “uang”
sejenis hompimpah.lalu dilanjutkan dengan cak gocih.Kemudian baru bermain bang
senebu yang selanjutnya dilanjutkan pok-pok pungguk.
- Peninggalan sejarah
1. Mesjid Raya Pekanbaru
Lokasi : Kecamatan Senapelan
Kotamadya : Pekanbaru
2. Makam Mahrum Bukit Dan Mahrum Pekan
Lokasi : Kecamatan Senapelan
Kotamadya : Pekanbaru
3. Tugu Pahlawan Kerja
Lokasi : Kecamatan Bukit Raya.
Kotamadya : Pekanbaru.
4. Balai Adat Riau
Lokasi : Jalan Pangeran Diponegoro Pekanbaru.
Kotamadya : Pekanbaru.
5. Bukit Batu, Bekas Tapak Kaki Manusia
Lokasi : Sungai Pakning
Kabupaten : Bengkalis.
6. Komplek Istana Kerajaan Siak
Lokasi : Kecamatan Siak Sri Indrapura
Kabupaten : Bengkalis.
7. Makam Marhum Buantan
Lokasi : Kecamatan Siak Sri Indrapura
Kabupaten : Bengkalis.
8. Mesjid Kerajaan
Lokasi : Kecamatan Siak Sri Indrapura
Kabupaten : Bengkalis.
9. Makam Keluaga Raja
Lokasi : Kecamatan Siak Sri Indrapura
Kabupaten : Bengkalis.
- Makanan
Berikut daftar menu kuliner, masakan Riau beserta
resepnya yang-bisa ditemukan di-berbagai tempat Bumi Lancang Kuning :
- Gulai Sayur Lemak Kuah Santan, Kuliner Khas Riau
- Bacah Daging, Kuliner – Makanan Khas Riau
BAB II
ETNIS PAKPAK/DAIRI
Etnik Pakpak adalah
salah satu etnik yang terdapat di Pulau
Sumatera Indonesia.
Tersebar di beberapa kabupaten/kota di Sumatera
Utara dan Aceh,
yakni di Kabupaten Dairi, Kabupaten Pakpak Bharat, Kabupaten Humbang Hasundutan, Tapanuli
Tengah (Sumatera Utara), Kabupaten Aceh Singkil dan Kota
Subulussalam (Provinsi Aceh)
Dalam
administrasi pemerintahan, suku Pakpak banyak bermukim di wilayah Kabupaten
Dairi di Sumatera Utara yang kemudian dimekarkan pada tahun
2003 menjadi dua kabupaten, yakni:
1.
Kabupaten
Dairi (ibu kota: Sidikalang)
2.
Kabupaten Pakpak Bharat (ibu kota: Salak)
Etnis Pakpak/Dairi kemungkinan besar
berasal dari keturunan tentara kerajaan Chola di India yang menyerang
kerajaan Sriwijaya
pada abad 11 Masehi.


Etnis Pakpak/Dairi terdiri atas 5 subsuku,
dalam istilah setempat sering disebut dengan istilah Pakpak Silima Suak yang
terdiri dari:
1.
Pakpak Klasen, berdomisili di
wilayah Parlilitan yang masuk wilayah kabupaten Humbang Hasundutan dan
wilayah Manduamas yang merupakan bagian dari kabupaten Tapanuli Tengah.
2.
Pakpak Simsim, berdiam di
kabupaten Pakpak Bharat.
3.
Pakpak Boang, bermukim di propinsi
Aceh yaitu di kabupaten Aceh Singkil dan kota
Subulussalam. Suku Pakpak Boang ini banyak disalahpahami sebagai suku
Singkil.
4.
Pakpak Pegagan, bermukim di Sumbul
dan sekitarnya di Kabupaten Dairi.
5.
Pakpak Keppas, bermukim di kota
Sidikalang dan sekitarnya di Kabupaten
Dairi.
Marga etnis
Pakpak/Dairi :
- Anakampun
- Angkat
- Bako
- Bancin
- Banurea
- Berampu
- Berasa
- Beringin
- Berutu
- Bintang
- Boang Manalu
- Capah
- Cibro
- Gajah Manik
- Gajah
- Kabeaken
- Kesogihen
- Kaloko
- Kombih
- Kudadiri
- Lingga
- Maha
- Maharaja
- Manik
- Matanari
- Meka
- Maibang
- Padang
- Padang Batanghari (BTH)
- Pasi
- Penarik Pinayungan
- Sambo
- Saraan
- Sikettang
- Sinamo
- Sitakar
- Solin
- Saing
- Tendang
- Tinambunan
- Tinendung
- Tumangger
- Turutan
- Ujung
Etnis
Pakpak/Dairi diikat oleh struktur sosial yang dalam istilah setempat dengan
sulang silima. Sulang silima terdiri dari lima unsur yakni: 1. Sinina tertua
(Perisang-isang (keturunan atau generasi tertua) 2. Sinina penengah (Pertulan
tengah (keturunan atau generasi yang di tengah) 3. Sinina terbungsu
(perekur-ekur = keturunan terbungsu) 4. Berru (kerabat penerima gadis) 5. Puang
(kerabat pemberi gadis)
Ini sangat
berperan dalam proses pengambilan keputusan dalam berbagai aspek kehidupan
terutama dalam sistem kekerabatan, upacara adat maupun dalam konteks komunitas
lebbuh atau kuta. Artinya ke lima unsur ini harus terlibat agar keputusan yang
diambil menjadi sah secara adat.
Upacara adat
Pakpak dinamakan dengan istilah kerja atau kerja-kerja. Namun saat ini sering
juga digunakan istilah pesta. Upacara adat tersebut terbagi atas dua bagian
besar yakni: 1. Upacara adat yang terkait dengan suasana hati gembira dinamakan
kerja baik; 2. Upacara adat dalam suasana tidak gembira dinamakan kerja jahat.
Contoh kerja
baik adalah: merbayo (upacara perkawinan), menanda tahun (upacara menanam
padi), merkottas (upacara untuk memulai sesuatu pekerjaan yang beresik0) dan
lain-lain. Contoh kerja jahat adalah mengrumbang dan upacara mate ncayur ntua
(upacara kematian).
suatu kelompok masyarakat pakpak
mengganggap masa balita merupakan masa yang paling berbahaya, yang lainnya
menganggap lebih berbahaya pada masa menjelang dewasa yang lainnya lagi
mengganggap lebih berbahaya pada masa mati. Untuk itu masa-masa tersebut perlu
diantisipasi dengan melakukan berbagai upacara.
Di dalam
masyarakat pakpak,jauh sebelum masuknya ajaran agama (Kristen & Islam)
mengenal 2 jenis upacara disepanjang hidupnya yang disebut kerja njahat
dan kerja baik. Kerja njahat adalah jenis upacara yang berhubungan dengan
upacara duka cita seperti ; kematian (Males bulung simbernaik, males bulung
buluh, males bulung sampula), mengokal tulan, menutung tulan. Sedangkan kerja
baik mencakup Upacara kehamilan (mere nakan merasa / nakan pagit) upacara
kelahiran (mangan balbal dan mengakeni), masa anak-anak (mengebat,
mergosting), masa remaja seperti sunat (mertakil), masa dewasa seperti
perkawinan (merbayo), member makan kepada orang tua (menerbeb).
Setelah masuknya
ajaran agama besar (Kristen dan islam) beberapa upacara tersebut sudah tidak
dipraktekkan lagi, misalnya sunatan atau mertakil bagi Pakpak Kristen.
Sebaliknya dikalangan Pakpak Kristen yang umumnya tinggal diperkotaan dikenal
upacara adat baru seperti pendidien/pembaptisan (menjalo gerrar), dan sidi
(meluah) dengan mengundang teman, kelompok sulang silima dan tetangga untuk
makan bersama.
Namun sekarang
ini masih ada pula sekelompok yang masih percaya akan hal menyembah batu yang
sering disebut dengan menoto .sebut saja di kecamatan pergetteng getteng
sengkut,dimana semua warga tersebut setahun sekali memberikan adat adat berupa
ayam,kembal,makanan hasil pertanian,buah buahan,dan lain lain.hal ini dilakukan
untuk mengetahui bagaimana situasi pertanian di daerah tersebut untuk tahun
yang akan datang.
Upacara ini dilakukan oleh setu orang yang
diangap memepunyai ilmu gaib yang akan mewakili semua warga dalam berbicara
dengan batu yang mereka sembah.
A. Sejarah Perkembangan dan Persebaran
Kelompok Etnis Pakpak/Dairi
Belum ditemukan bukti
yang otentik dan pasti
tentang asal
usul dan
sejarah persebarang
orang Pakpak.
Hasil penelitian
yang dilakukan menunjukkan beberapa
variasi. Pertama dikatakan
bahwa orag
Pakpak berasal
dari India selanjutnya masuk
ke pedalaman
dan beranak
pinak menjadi
orang Pakpa.
Versi lain menyatakan orang
Pakpak berasal
dari etnis
Batak Toba
dan yang laiin menyatakan
orang Pakpak
sudah ada
sejak dahulu.
Mana yang benar menjadi
relatif karena
kurang didukung
oleh fakta-fakta yang objektif.
Alasan dari
India misalnya hanya didasarkan
pada adanya
kebiasaan tradisional Pakpak
dalam pembakaran
tulang-belulang
nenek moyang
dan Barus
sebagai daerah
pantai dan
pusat perdagangan
berbatasan langsung dengan
tanoh Pakpak.
Alasan Pakpak
berasal dari
Batak Toba
hanya adanya
kesamaan struktur sosial
dan kemiripan
nama-nama
marga. Sedangkan
alasan ketiga
yang menyatakan dari dahulu
kala sudah
ada orang
Pakpak hanya
didasarkan pada folklore di
mana diceritakan
adanya tiga
zaman manusia
di Tanoh
Pakpak, yakni
zaman Tuara
(Manusia Raksasa). zaman
si Aji
(manusia primitif) dan
zaman manusia
(homo sapien).
Berdasarkan
dialek dan
wilayah persebarannya,
Pakpak dapat
diklasifikasikan menjadi lima
bagian besar
yakni: Pakpak
Simsim, Pakpak
Keppas, Pakpak
Pegagan, Pakpak Boang
dan Pakpak
Kelasen (Coleman, 1983; Berutu, 1994). Masing-masing
sub ini dibedakan
berdasarkan hak ulayat
marga yang secara administratif
tidak hanya
tinggal atau
menetap di
wilayah Kabupaten
Dairi (sebelum
dimekarkan), tetapi ada
yang di Aceh
Singkil, Humbang Hasundutan
(sebelum dimekarkan dari
Tapanuli Utara) dan
Tapanuli Tengah.
Pakpak Simsim, Pakpak
Keppas dan
Pegagan secara
administratif berada di
wilayah kabupaten
Dairi dan
Pakpak Bharat,
sedangkan Pakpak Kelasen
berada di
kabupaten Humbang Hasundutan,
Kabupaten Tapanuli Tengah
Khususnya di Kecamatan
Parlilitan dan Kecamatan
Manduamas. Berbeda lagi
dengan Pakpak
Boang yang menetap di
wilayah kabupaten
Singkil, khususnya di
Kecamatan Simpang Kiri dan
Kecamatan Simpang Kanan.
B.
Pengelolaan Lingkungan
Pada Masyarakat
Pakpak
Hasil-hasil penelitian
yang dilakukan membuktikan bahwa
masyarakat Pakpak memiliki
sejumlah nilai budaya,
pengetahuan, aturan, kepercayaan,
tabu, sanksi,
upacara dan
perilaku budaya yang arif
dalam pengelolaan
lingkunan. Usman Pelly
(1987: 269) menyatakan bahwa masyarakat
Pakpak sangat
menghargai alam dengan
adanya tabu-tabuyang selalu
dipatuhi. Lebih lanjut
Zuraida dkk,
(1992) menyatakan bahwa orang
Pakpak memiliki
aturan-aturan
dalam menjaga
konservasi alam. Kedua
ahli ini
belum menjelaskan
secara eksplisit
tabu-tabu
dan aturan-aturan yang kondusif
terhadap konservasi alam.
Penelitian lebih lanjut
oleh penulis
membuktikan pernyataan kedua
ahli tersebut.
Kearifan dalam konservasi
alam tersebut
terjadi dalam
berhubungan dengan alam.
Ada yang disadari dan ada
pula yang tidak disadari
oleh masyarakat
Pakpak yang terkandung dalam
sejumlah nilai, aturan,
tabu dan
upacara terutama
kegiatan yang berhubungan langsung
dengan alamseperti
dalam sistem
ladang berpindah,
mencari damar,
berburu, dan meramu
dan pengelolaan
hutan kemenyaan.
Selain itu berhubungan
dengan kepercayaan
tradisional di setiap
lebuh dan
kuta ditemukan
atau dikenal
adanya area-area yang pantang untuk
di ganggu
unsur biotik
dan abiotik
yang ada di dalamnya
karena dianggap
mempunyai kekuatan gaib
antara lain: rabag, gua,
daerah pinggiran
sungai dan
jenis-jenis
pohon dan
binatang tertentu yang dianggap
memiliki mana. Jenis
tumbuhan tersebut misalnya
pohon ara,
Simbernaik (sejenis pohon
penyubur tanah). Jenis
binatang yang jarang diganggu
isalnya monyet,
kera dan
harimau. Pada awalnya
tempat-tempat
tersebut dijadikan sebagai
tempat persembahan
terhadap kekuatan gaib
namun saat
ini walaupun
umumnya mereka
telah menganut
agama-agama
besar seperti
Islam danKristen, tetap dianggap
keramat dan
mempunyai kekuatan sehingga
kalau diganggu
dapat berakibat
terhadap keselamatan baik
secaralangsung maupun tidak
langsung.
C. Kesenian
Ornamen Pakpak
biasanya digunakan pada motif-motif ukiran (okir Pakpak) dan lukisan.Pakpak
seperti pada hiasan rumah adat Pakpak dan patung-patung karya seni budaya
Pakpak.beberapa alat musik pakpak adalah terbuat dari bahan tradisional seperti
kalondang Pakpak yang Posisi musik tradisional sangatlah jelas dan terpandang
dalam budaya Pakpak. Pada upacara-upacara tradisi, musik, terutama genderang,
mempunyai peranan penting: menjadi bagian dari sebuah kesenian tradisi
masyarakat pakpak.Disamping itu,adajuga tarian daerah pakpak yaitu Tari dalam Bahasa Pakpak disebut “Tatak” .
Tarian
tradisional Pakpak sangat erat kaitannya dengan kehidupan sehari-hari, misalnya
Tatak Memupu/ Menapu Kopi, Tatak Mendedah, Tatak Renggisa, Tatak Balang Cikua,
Tatak Garo-Garo, Tatak Tirismo Lae Bangkuang, Tatak Mersulangat, Tatak Menerser
Page, Tatak Muat Page, Tatak Adat, Tatak Mendedohi Takal-Takal, dan lain-lain.
Selain itu, dikenal juga seni bela diri yang disebut dengan istilah motcak dan
tabbus


Seni musik
pakpak yaitu seni alat musik dan seni vokal. Seni alat musik misalnya
Kalondang, Genderang, Gung Sada Rabaan, Kucapi, Sordam, Lobat, Kettuk,
Gerantung, dan lain-lain. Seni vokal diantaranya odong-odong dan nangen. Selain
itu, seni vokal juga sudah semakin dikembangkan sekarang ini, diantaranya lagu
paling dikenal yaitu Cikala le Pong Pong, delleng sitinjo, lae une,nantampuk
emas,dan lain lain.
Lagu Pakpak Kini
Banyak lagu pakpak yang populer merupakan
adaptasi dari odong-odong, yaitu lagu-lagu bernada minor dengan lirik yang lazimnya
menggambarkan sesuatu yang romantis atau malah menyayat hati, misalnya
kecantikan seorang kekasih, rasa kangen perantau terhadap keluarga dan kampung
halamannya, hingga ratapan mengenai kemalangan hidup. Para pemeras nira sering
menyanyikan odong-odong kala bekerja. Kini, banyak sekali lagu pakpak yang
menjadi populer dan diadaptasi secara modern menggunakan instrument yang juga
modern seperti keyboard. Lagu-lagu populer Pakpak yang kerap diputar di
acara-acara pernikahan ini misalnya Cikala Le Pongpong, Pantar Silang, dan
Tangis Anak Melumang. Bahkan, lagu pakpak yang sering terdengar jaman sekarang
telah mengadaptasi unsur-unsur musik yang berbeda, misalnya irama Melayu serta
nyanyian yang dibawakan grup vokal. Hal ini tak lepas dari kecenderungan pemusik
Pakpak kontemporer yang memilih untuk mengikuti tren musik yang lebih cepat
berkembang dan populer seperti lagu-lagu daerah Toba dan Karo, yang kini memang
banyak mengadaptasi irama serta gaya pelantunan lagu Melayu.
Musik dalam Tradisi Pakpak
Masyarakat Pakpak memiliki dua macam bentuk
komposisi musik utama; musik berupa nyanyian dengan vokal serta ensembel
alat-alat musik. Jenis yang pertama secara tradisi merupakan sarana untuk
bercerita; misalnya, dalam menceritakan kisah khas Pakpak yang berjudul
Sitagandera, si pencerita dituntut untuk mampu menyanyikan kisah tersebut dan
bukan hanya menuturkannya saja seperti orang berbicara. Sedangkan ensembel alat
musik biasanya dibawakan pada saat acara-acara adat atau menyertai
peristiwa-peristiwa penting yang membutuhkan iringan musik. Tetapi, secara
umum, musik dengan ensembel ini dibagi menjadi dua yaitu musik duka dan musik
riang. Alat-alat musik Pakpak terdiri dari perkusi seperti gendang dan gong,
serta alat musik melodis seperti kalondang, lobat dan sordam (semacam
seruling). Sordam merupakan alat musik yang digunakan dalam banyak peristiwa;
dari mengiringi acara pernikahan, mengisi waktu ketika menggembalakan kerbau,
hingga berhubungan dengan arwah para leluhur atau bahkan mencari orang yang
hilang di hutan.
BAB III
BATAK TOBA
Etnis Batak Toba meliputi Kabupaten Toba Samosir, Kabupaten Humbang Hasundutan, Kabupaten
Samosir, Kabupaten Tapanuli Utara, sebagian Kabupaten
Dairi, Kabupaten Tapanuli Tengah, Kota
Sibolga dan sekitarnya, Batak Toba adalah suatu kesatuan kultural. Batak
Toba tidak mesti tinggal diwilayah geografis Toba, meski asal-muasal adalah
Toba. Sebagaimana suku-suku bangsa lain, suku bangsa Batak Tobapun bermigrasi
kedaerah-daerah yang lebih menjanjikan penghidupan yang labih baik. Contoh,
mayoritas penduduk asli Silindung adalah marga-marga Hutabarat, Panggabean,
Simorangkir, Hutagalung, Hutapea dan Lumbantobing. Padahal ke-enam marga
tersebut adalah turunan Guru Mangaloksa yang adalah salah- seorang anak Raja
Hasibuan diwilayah Toba. Demikian pula marga Nasution yang kebanyakan tinggal
wilayah Padangsidimpuan adalah saudara marga Siahaan di Balige, tentu kedua
marga ini adalah turunan leluhur yang sama. Batak Toba sebagai kesatuan
kultural pasti dapat menyebar ke berbagai penjuru melintasi batas-batas
geografis asal leluhurnya, si Raja Batak yakni wilayah Toba yang secara
spesifik ialah Desa Sianjur Mulamula terletak di lereng Gunung Pusuk Buhit,
kira-kira 45 menit berkendara dari Pangururan, Ibukota Kabupaten Samosir,
sekarang.
Marga
pada suku Batak Toba
Marga atau nama
keluarga adalah bagian nama yang merupakan pertanda dari keluarga mana ia
berasal. Orang Batak selalu memiliki nama Marga/keluarga. Nama / marga
ini diperoleh dari garis keturunan ayah (patrilinear) yang selanjutnya akan
diteruskan kepada keturunannya secara terus menerus. Dikatakan sebagai
marga pada suku bangsa BatakToba ialah marga-marga pada suku bangsa Batak
yang berkampung halaman (marbona pasogit) di daerah Toba.
Sonak Malela yang mempunyai 3 (tiga) orang putera dan menurunkan 4
(empat) marga, yaitu:Simangungsong, Marpaung, Napitupulu, dan Pardede,
merupakan salah satu cotoh marga pada suku bangsa Batak Toba.
Tarombo atau
Silsilah
Silsilah atau Tarombo merupakan suatu hal
yang sangat penting bagi orang Batak. Bagi mereka yang tidak mengetahui
silsilahnya akan dianggap sebagai orang Batak kesasar (nalilu). Orang Batak
diwajibkan mengetahui silsilahnya minimal nenek moyangnya yang menurunkan
marganya dan teman semarganya (dongan tubu). Hal ini diperlukan agar mengetahui
letak kekerabatannya (partuturanna) dalam suatu klan atau marga.
Falsafah dalam adat batak toba
Falasafah adat batak toba dikenal dengan
Dalihan Na Tolu yang terdiri dari:
1. Somba Marhula-hula
2. Manat Mardongan
Tubu
3. Elek Marboru
Hulahula/Mora adalah pihak keluarga dari
isteri. Hula-hula ini menempati posisi yang paling dihormati dalam pergaulan
dan adat-istiadat Batak (semua sub-suku Batak) sehingga kepada semua orang Batak
dipesankan harus hormat kepada Hulahula (Somba marhula-hula).
Dongan Tubu/Hahanggi disebut juga Dongan
Sabutuha adalah saudara laki-laki satu marga. Arti harfiahnya lahir dari perut
yang sama. Mereka ini seperti batang pohon yang saling berdekatan, saling
menopang, walaupun karena saking dekatnya kadang-kadang saling gesek. Namun,
pertikaian tidak membuat hubungan satu marga bisa terpisah. Diumpamakan seperti
air yang dibelah dengan pisau, kendati dibelah tetapi tetap bersatu. Namun
demikian kepada semua orang Batak (berbudaya Batak) dipesankan harus bijaksana
kepada saudara semarga. Diistilahkan, manat mardongan tubu.
Boru/Anak Boru adalah pihak keluarga yang
mengambil isteri dari suatu marga (keluarga lain). Boru ini menempati posisi
paling rendah sebagai ‘parhobas’ atau pelayan, baik dalam pergaulan sehari-hari
maupun (terutama) dalam setiap upacara adat. Namun walaupun berfungsi sebagai
pelayan bukan berarti bisa diperlakukan dengan semena-mena. Melainkan pihak
boru harus diambil hatinya, dibujuk, diistilahkan: Elek marboru
A. Kesenian
- Suara
Musik yang biasa dimainkan,cenderung tergantung dengan
upacara-upacara adat yang diadakan, tetapi lebih dominan dengan genderangnya.
Musik Batak sudah ada sejak jaman Toba Kuno di jaman dinasti Tuan Sorimangaraja
(Pahompu-nya Si Raja Batak) Berawal dari musik Raja-raja. Bukan musik untuk
Raja, tetapi musik yang dimainkan oleh Raja. Makanya mainnya boleh berdiri.
Lain halnya dengan musik tradisi suku lain seperti Afrika, India, Jawa, dll,
yang merupakan musik Rakyat, sehingga kebanyakan bermusiknya sambil duduk.
Musik Batak awalnya diciptakan untuk upacara ritual
yang dipimpin pada Datu (dukun) pada masa itu untuk penghormatan leluhur, minta
panen yang sukses kepada Mula Jadi Nabolon, dll. Kemudian Berkembang menjadi
Musik ritual di Pesta Adat. Pemainnya dinamakan pargonsi (baca Pargosi atau
Pargoci) Pargonsi mempunyai kedudukan yang sangat penting, ruma bagian atas.
Karena yang memainkannya Raja. Jadi gak heran kalo Batak itu suku yang musikal
karena dari jaman dulu Rajanya aja suka main musik ). Musik Batak untuk ritual
ini adalah yang disebut Gondang Sabangunan yang terdiri dari 5 Ogung, 5
Gondang, Sarune Bolon lubang 5.
Namun para Rakyat juga ingin main musik, maka
berkembanglah musik batak ini di kalangan rakyat dengan format Taganing,
Garantung, Hasapi, Seruling dan Sarune Etek. Dengan alat-alat musik inilah
tercipta banyak sekali lagu rakyat yang bernuansa pentatonis (Do Re Mi Fa Sol,
kadang2 ada juga La) dan susunan nada (licks)-nya sangat khas tidak didapati di
musik suku lain.
Lagu-lagu yang dinyanyikan masyarakat etnis
batak bercerita tentang pemujaan terhadap kampung halaman, keindahan negeri dan
panorama yang indah permai. Sedangkan andung/ratapan adalah salah satu jenis
nyanyian yang secara khusus dinyanyikan pada acara dukacita atau menggambarkan
suasana hati yang sedang berduka dan sedih.
Alat musik Batak Toba yang digunakan untuk
mengiringi tarian tor-tor dan nyanyian juga beranekaragam. Alat musik ini ada
yang terbuat dari bahan perunggu, kulit, kayu, dan bambu. Alat musik berbahan
perunggu seperti ogung atau gong. Ogung merupakan instrumen 4 jenis gendang
yang berlainan bunyi/nada, yaitu oloan, ihutan, doal, dan panggora. Sedangkan
alat musik dari bahan kulit, kayu dan bambu meliputi tagading, hesek, hasapi
(kecapi), saga-saga, garantung, suling (seruling), sordam dan salohat. Alat
musik tagading merupakan seperangkat instrumen yang terdiri dari 1 gondang
sebagai bas, 1 odap-odap dan 5 tagading.
Orang Batak Toba
juga membedakan peralatan musik ini dalam dua golongan besar yaitu Gondang
Bolon (terdiri dari gordang(gendang besar), taganing(gendang ukuran sedang)
dengan lima lempeng kayu, odap-odap(gendang kecil) yang kadang-kadang diganti
dengan lempengan logam, gong dari tembaga ditambah empat gong perunggu, dan
sarune(seruling)) dan Gondang Hasapi (terdiri dari 2 buah hasapi, sarune kecil,
suling(seruling), garantung(bumbung kecil) dengan lima lempeng kayu sebagai
pengganti taganing).
- Tarian
Tarian yang menjadi ciri khas orang
Batak Toba adalah tari Tor-tor dengan berbagai jenis nama tari untuk berbagai
jenis kegiatan yang berbeda-beda. Tor-tor atau tari-menari merupakan salah satu
kebudayaan Batak yang tertua. Dahulu kala seni tari-menari duhubungkan dengan
kepercayaan animisme yang dapat mendatangkan kuasa-kuasa magis. Acara
tari-menari diadakan untuk memohon kemenangan, kesehatan, dan kehidupan
sejahtera kepada dewa-dewa. Acara tari-menari juga diadakan bilamana ada orang
yang lahir, akil balig dan diterima sebagai anggota suku, pada saat menikah,
dan pada waktu sudah mati. Namun sekarang tarian tersebut tidak lagi bersifat
animisme, tetapi lebih dimaksudkan untuk mempererat hubungan kekerabatan dalam
Dalihan Na Tolu

- Kerajinan
tenunan merupakan seni kerajinan yang menarik dari
suku Batak. Contoh tenunan ini adalah kain ulos dan kain songket. Ulos
merupakan kain adat Batak yang digunakan dalam upacara-upacara perkawinan,
kematian, mendirikan rumah, kesenian,dsb. Bahan kain ulos terbuat dari benang
kapas atau rami. Warna ulos biasanya adalah hitam, putih, dan merah yang
mempunyai makna tertentu. Sedangkan warna lain merupakan lambang dari variasi
kehidupan.


BAB IV
BATAK ANGKOLA/MANDAILING
Suku Mandailing
adalah suku bangsa yang mendiami Kabupaten Mandailing Natal, Kabupaten Padang Lawas, Kabupaten Padang Lawas Utara, Kabupaten Tapanuli Selatan, Kabupaten Labuhanbatu, Kabupaten Labuhanbatu Utara, Kabupaten Labuhanbatu Selatan, Kabupaten
Asahan, dan Kabupaten Batubara di Provinsi Sumatera Utara beserta Kabupaten
Pasaman dan Kabupaten Pasaman Barat di Provinsi Sumatera Barat, dan Kabupaten Rokan Hulu di Provinsi
Riau. Mandailing merupakan kelompok masyarakat yang berbeda dengan suku,
Hal ini terlihat dari perbedaan sistem sosial, asal usul, dan kepercayaan.
Orang Mandailing
didefinisikan sebagai mereka yang bermarga Nasution, Lubis, Pulungan, Batubara,
Rangkuti, Daulae, Parinduri, Dalimunte, dan Matondang sahaja seperti ketetapan
Mahkamah Tertinggi Folks Road Batavia 1926 dan keturunan yang berpecah daripada
sembilan marga tadi (i.e. Mardia daripada Rangkuti).
Orang Mandailing
adalah berbeda dengan orang Batak yang tinggal di Mandailing atau disebut Batak
Mandailing yang terdiri daripada marga seperti Hasibuan, Harahap, dan Siregar.
Mereka berasal dari pedalaman pantai barat Sumatera dan Tapanuli
Selatan di utara Sumatera, Indonesia.
Lingkungan hidup
mereka meliputi gunung-ganang dengan sistem perairan dan dataran rendah
persawahan. Mata pencarian mereka termasuk getah, kulit kayu manis,
kopi dan melombong emas. Mereka terkenal
dengan tradisi persuratan dan sembilan gendang besar yang disebut Gordang
Sambilan.
Meskipun Mandailing sering dikaitkan dengan
Batak, namun
rata-rata orang Mandailing menolak tanggapan ini. hal ini disebabkan karena
perbedaan agama, kerana rata-rata orang Batak menganut agama Kristen sedangkan
orang Mandailing kebanyakan menganut agama islam.
Patung Sangkalon yang menjadi lambang
keadilan dalam masyarakat Mandailing sering disalah anggap oleh masyarakat
luar. Patung yang dipanggil 'si pangan anak si pangan boru' yang bermaksud 'si
pemakan anak lelaki, si pemakan anak perempuan' ini dijadikan tohmahan bahawa
kaum Mandailing adalah kaum pemakan daging manusia. Padahal maksud sebenar
perumpamaan ini ialah setiap keadilan mesti ditegakkan meskipun terpaksa
membunuh anak sendiri
Mandailing
atau Mandahiling diperkirakan berasal
dari kata Mandala dan Holing, yang berarti sebuah wilayah Kerajaan
Kalinga. Kerajaan Kalingga adalah kerajaan Nusantara yang berdiri sebelum
Kerajaan Sriwijaya, dengan raja terakhir Sri Paduka Maharaja Indrawarman yang
mendirikan Kesultanan Dharmasraya setelah di-Islamkan oleh utusan Khalifah
Utsman bin Affan pada abad ke-7 M. Sri Paduka Maharaja Indrawarman adalah putra
dari Ratu Shima. Sri Paduka Maharaja Indrawarman kemudian dibunuh oleh
Syailendra, pendiri Kerajaan Sriwijaya pada abad ke-7 itu juga. Pada abad
ke-10, Kerajaan Chola dari wilayah Tamil, India Selatan, dengan rajanya
Rajendra telah menyerang Kerajaan Sriwijaya dan menduduki wilayah Mandailing,
yang kemudian dikenal dengan nama Ang Chola (baca: Angkola). Ang adalah gelar
kehormatan untuk Rajendra. Kerajaan India tersebut diperkirakan telah membentuk
koloni mereka, yang terbentang dari Portibi hingga Pidoli.[3]
Dalam Bahasa Minangkabau, Mandailing diartikan sebagai
mande hilang yang bermaksud "ibu yang hilang". Oleh karenanya ada
pula anggapan yang mengatakan bahwa masyarakat Mandailing berasal dari Kerajaan Pagaruyung di Minangkabau.
Mandailing ditinjau dari Sejarah Asal Usul Mandailing
bukan Batak berdasarkan kitab tua Mpu Prapanca, Negarakertagama. Patut di
ingat, catatan ini adalah kitab tertua yang pernah ada di Indonesia dan diakui
kebenarannya oleh UNICEF dan dunia ilmiah. Artinya, jika seseorang tidak
percaya kebenarannya, secara intelektual ia akan "masuk neraka".
Dalam kitab
tersebut Mpu Prapanca (Ompung Prapanca: dalam bahasa mandailing) mencatat
banyak hal tentang Majapahit, termasuk negara yang ditaklukkannya. Mpu Prapanca
menyebut belahan timur adalah Melayu, termasuk di dalamnya; Mandailing, Pane
(Panai), Toba, Barus dan lain-lain. Saat itu Toba, Mandailing dan Barus
dikategorikan rumpun Melayu. Tidak ada BATAK pada saat itu. Tidak dijumpai
terminologi Batak dalam kosa kata kuno (Sanskerta)atau bahasa yang dikenal dan
difahami antar bangsa saat itu. Referensi yang paling diterima dan masuk akal
menyebutkan bahwa istilah Batak untuk memanggil satu kaum
baru muncul kemudian oleh orang-orang pesisir yang merasa lebih beradab kepada
penduduk pedalaman. Tepatnya: BATAK adalah istilah untuk suku orang pedalaman.
Sekitar tahun 1365 M, peradaban di pedalaman Sumatera masih sangat primitif, dan kanibalisme masih sangat dimungkinkan terjadi (kanibalisme paling mutakhir dicatat dalam sejarah adalah kanibalisme pada Missionaris, kejadian antara Sibolga dan Tarutung. Baca selengkapnya Batak Makan Orang, kumpulan sejarah kanibalisme yang dicatat sejarah.
Determinasi sejarah: masyarakat tumbuh, berkembang dan berubah. Peradaban manusia di utara bagian Sumatera berpusat di tepian sungai Barumun, dan Sungai Batang Pane. Bayangkan, saat itu kota yang kita kenal bernama Medan masih berupa laut dan rawa, tidak berpenghuni manusia. Toba, Mandailing dan Padang Lawas adalah kawasan segitiga emas pada masa itu dan pusat peradaban dan penyebaran agama ada di Padang Lawas. Itulah logika satu-satunya kenapa banyak terdapat kesamaan bahasa dan budaya.
Dan ada masa dimana Mandailing yang tidak terlalu besar berpusat di Kerajaan Pulungan, atau sebelumnya ada konsentrasi penduduk di tempat yang bernama Mandala Holing tepi Sungai Batang Gadis, atau dimana saja steppa yang luas, tanah yang cocok untuk pertanian yang diakibatkan suburnya tanah yang dibawa Batang Gadis Sungai Barumun dan Batang Pane.
Sekitar tahun 1365 M, peradaban di pedalaman Sumatera masih sangat primitif, dan kanibalisme masih sangat dimungkinkan terjadi (kanibalisme paling mutakhir dicatat dalam sejarah adalah kanibalisme pada Missionaris, kejadian antara Sibolga dan Tarutung. Baca selengkapnya Batak Makan Orang, kumpulan sejarah kanibalisme yang dicatat sejarah.
Determinasi sejarah: masyarakat tumbuh, berkembang dan berubah. Peradaban manusia di utara bagian Sumatera berpusat di tepian sungai Barumun, dan Sungai Batang Pane. Bayangkan, saat itu kota yang kita kenal bernama Medan masih berupa laut dan rawa, tidak berpenghuni manusia. Toba, Mandailing dan Padang Lawas adalah kawasan segitiga emas pada masa itu dan pusat peradaban dan penyebaran agama ada di Padang Lawas. Itulah logika satu-satunya kenapa banyak terdapat kesamaan bahasa dan budaya.
Dan ada masa dimana Mandailing yang tidak terlalu besar berpusat di Kerajaan Pulungan, atau sebelumnya ada konsentrasi penduduk di tempat yang bernama Mandala Holing tepi Sungai Batang Gadis, atau dimana saja steppa yang luas, tanah yang cocok untuk pertanian yang diakibatkan suburnya tanah yang dibawa Batang Gadis Sungai Barumun dan Batang Pane.
Itulah kenapa semua Candi yang ada di Mandailing Godang dibangun di
lapangan terbuka dan tidak jauh dari Sungai-sungai utama. Candi Portibi, Candi
Bahal, Candi yang ada di Siabu dan di Pidoli berada di tempat yang layak untuk
umum.
Nama Batak tidak diketahui asal usulnya, sejelas Sejarah Asal Usul>Toba, Mandailing, Pane dan Barus. Mandailing untuk menyebutkan wilayah cukup luas yang mendiami tepi Sungai Batang Gadis namun terlalu kecil jika dibanding kerajaan Majapahit di abad 13 M. Hal itu disebabkan hampir semua pulau Sumatera pada saat itu masih tertutup hutan belantara berbanding terbalik dengan pulau Jawa bagian utara yang datar, subur dan cocok untuk tempat tinggal dan pertanian, maka orang Mandailing masa silam masih suka berpindah-pindah. Pedagang Arab yang bermukim di Barus terjadi di masa berikutnya dan bubar setelah diserang Kerajaan Sriwijaya.
Kerajaan Pane langsung berhubungan dengan perdagangan internasional dan Pendeta-pendeta dan pusat penyiaran agama Hindu-Budha berada di Kerajaan Pane banyak yang belajar ke Champa dan India. Beberapa bahasa yang masih diwariskan atau terakulturasi pengaruh Hindu hingga kini antara lain: Mangaraja, Ompung (Opung), Debata, aksara (Surat Tulak Tumbaga) adalah impor berasal dari pengaruh Hindu-Budha.
Mandailing dikemudian hari lebih konsentrasi di Penyabungan dan Pidoli (Piu Delhi) karena Patih Gajah Mada dari Majapahit menghancurkan Kerajaan Pane yang terdapat di Barumun-Padang Bolak. Banyak penduduk, tentara dan aliansi Pane migrasi masuk kepedalaman di Penyabungan. Mereka inilah yang mendiami Huta Siantar dan Siladang. Sejatinya penduduk Siladang adalah tentara Sriwijaya yang dikebiri pasukan Gajah Mada dari Padang Lawas. Hal ini bisa dibuktikan dengan banyaknya persamaan bahasa dan adat istiadat Siladang (Aek Banir)dengan penduduk Palembang di pedalaman seperti cenderung mengunci koloni dari masyarakat luar.Ini juga menjadi penjelasan kenapa bahasa Siladang berbeda dengan bahasa Mandailing pada umumnya. Kerajaan Pane adalah sekutu Kerajaan Sriwijaya. Para pendatang dari Pane dan tentara Sriwijaya ini kemudian lebur menjadi orang Mandailing dan mengadopsi marga setempat. Masa inilah Sibaroar, leluhur Nasution dewasa. Sibaroar bisa mendominasi pengaruh Pulungan karena beraliansi dengan para pendatang ini. Belakangan banyak orang Siladang (Aek Banir) menjadi Nasution, demikian mungkin juga orang Pane yang terusir itu.
Sejarah Asal Usul Mandailing pada akhirnya harus diakui bahwa
apa yang dimaksud Mandailing, kini hanya menunjuk pada wilayah saja. Jika seseorang merasa dirinya punya silsilah yang mengakar ke tanah Toba dan tinggal di Mandailing, maka ia boleh mengklaim diri menjadi orang Mandailing. Mandailing tidak hanya di isi oleh "orang mandailing" saja, tetapi patut di ingat, pendeta Hindu yang berkulit hitam itu menetap di Mandailing dan beranak pinak hingga sekarang. Rombongan dari Aceh (Tapak Tuan) menjadi Rangkuti dan beberapa pedagang Cina menjadi Lubis, atau pulungan, tergantung tempat dan situasi dimana bermukim. Menurut salah satu sumber, Marga Lubis aslinya berasal dari Bugis. Ini membuktikan bahwa Mandailing lebih heterogen dan lebih dinamis dari Toba. Jadi jangan heran kenapa tarombo Toba lebih rapi dari tarombo Mandailing.
Apakah Mandailing itu Batak sekarang tergantung dari mana anda melihatnya. Tapi yang pasti Mandailing tidak berasal dari Batak adalah fakta yang harus di akui. Menjadi seorang Batak atau Mandailing adalah dua pilihan buat penduduk yang berasal dari tanah Mandailing. Saya memilih Mandailing karena istilah ini lebih tua dan mendarah daging.
Mengetahui Sejarah Asal Usul Mandailing, maka kita harus ke masa lalu. Asal usul mandailing dan sejarah mandailing natal harus ditulis berdasarkan data empiris. Asal usul mandailingtidak hanya dicatat berdasar penuturan cerita rakyat. Contohnya seperti Kisah Rakyat Asal Usul Batak plesetan ini.
Cerita rakyat yang dituturkan secara turun temurun dibutuhkan sebagai pelengkap data empiris tadi, tetapi bingkai penulisan sejarah asal usul mandailing tetap harus yang realistis, logis dan sistematis. Sejarah mandailing harus dibebaskan dari sentuhan subjektif, seperti fanatisme keyakinan,dan fatalisme silsilah Raja Batak.
Jika kita sudah menyimpulkan suatu hal, "asal usul mandailing dari batak toba". Maka kita telah berhenti untuk berfikir dan menggali pertanyaan: dari mana asal usul mandailing? Dengan vonis, "asal usul mandailing adalah dari batak toba" kita telah membunuh sejarah asal usul mandailing. Siapa yang tahu pasti asal usul mandailing dari batak toba kecuali nenek moyang mandailing itu sendiri. Dan sayangnya mereka yang telah pergi tidak menitipkan surat wasiat dan catatan yang bisa dimengerti dan jelas mereka berasal dari mana. Jadi seseorang yang hidup di zaman ini tidak punya hak memvonis asal usul mandailing dari batak toba atau tidak. Istilah mandailingnya: "Dont punish if you dont know".
Hanya dengan cara ini asal usul mandailing bisa disingkap, jadi tidak pantas hanya karena seseorang berasal dari batak toba dan punya catatan silsilah (tarombo) menggeneralisir, "asal mandailing dari batak toba", sebaliknya, sesorang yang merasa tidak punya pertalian darah mengatakan, "asal usul mandailing adalah dari vietnam". Jadi mari berfikir logis bahwa asal usul mandailing adalah fakta yang terpisah dari kesimpulan siapapun.
Seseorang boleh berpendapat, tentunya berdasarkan logika yang jernih, tentang asal usul mandailing. Sangat bagus membuat diskursus, tesa anti tesa dan sintesa. Ungkapkanlah data dan fakta serta logika, tentu saja akan memperkaya khasanah perbendaharaan asal usul mandailing. Dengan suatu kesadaran, bahwa mandailing bukan milik seseorang, sebaliknya mandailing memiliki orang mandailing. Tulisan ini hanyalah rintisan untuk generasi ini karena masih banyak fakta masih terkubur di perut bumi, menanti untuk disingkap.
Asal usul mandailing tidak dari batak toba karena tidak mungkin Raja Batak atau siapapun nenek moyang orang batak tiba tiba muncul dari perut bumi atau jatuh dari langit di suatu tempat di tanah toba, lalu beranak pinak menjadi suku batak.
Saya banyak mendengar "lelucon" bahwa pada jaman dahulu kala hiduplah seorang Ompu Mula Di Najadi Nabolon, Raja Batak yang memerintah sendirian dan kesepian, karena tidak seorang pun berada selain dirinya dan keluarganya yang berada di puncak gunung itu. Naif sekali jika seperti itu gagasan seseorang tentang Sejarah Asal Usul Mandailing.
Dalam bayangan saya, orang batak yang mendiami toba yang pertama kali adalah sekelompok keluarga yang punya pemimpin dari keluarga itu sendiri. Migrasi massal adalah fakta sejarah yang tercatat di manapun di tanah batak.
Migrasi disebabkan perpecahan di satu klan, dan kelompok yang kalah akan pindah dan menempati suatu daerah yang baru. Jika tempat itu "milik" marga tertentu, mereka yang jadi pendatang kemudian menjadi "anak boru", tidak menjadi raja, mereka harus hormat pada Raja Nidapot (raja yang tempat menumpang). Jika tempat baru itu kosong tanpa otoritas marga apapun, pemimpin mereka itu pun berubah jadi raja. Demikianlah polanya.
Asal usul mandailing karena itu tidak dari batak toba, karena orang batak pertama kali tiba di tanah batak akan menempati sisi terluar dari pulau, dan kemudian seperti pola di atas akan menyebar hingga ke tanah toba dan padang bolak. Penyebaran penduduk bisa dari dua sisi pulau Sumatera, pesisi barat dan timur. Jika demikian, batak toba punya dua kemungkinan: berasal dari pantai timur atau barat.
Nama Batak tidak diketahui asal usulnya, sejelas Sejarah Asal Usul>Toba, Mandailing, Pane dan Barus. Mandailing untuk menyebutkan wilayah cukup luas yang mendiami tepi Sungai Batang Gadis namun terlalu kecil jika dibanding kerajaan Majapahit di abad 13 M. Hal itu disebabkan hampir semua pulau Sumatera pada saat itu masih tertutup hutan belantara berbanding terbalik dengan pulau Jawa bagian utara yang datar, subur dan cocok untuk tempat tinggal dan pertanian, maka orang Mandailing masa silam masih suka berpindah-pindah. Pedagang Arab yang bermukim di Barus terjadi di masa berikutnya dan bubar setelah diserang Kerajaan Sriwijaya.
Kerajaan Pane langsung berhubungan dengan perdagangan internasional dan Pendeta-pendeta dan pusat penyiaran agama Hindu-Budha berada di Kerajaan Pane banyak yang belajar ke Champa dan India. Beberapa bahasa yang masih diwariskan atau terakulturasi pengaruh Hindu hingga kini antara lain: Mangaraja, Ompung (Opung), Debata, aksara (Surat Tulak Tumbaga) adalah impor berasal dari pengaruh Hindu-Budha.
Mandailing dikemudian hari lebih konsentrasi di Penyabungan dan Pidoli (Piu Delhi) karena Patih Gajah Mada dari Majapahit menghancurkan Kerajaan Pane yang terdapat di Barumun-Padang Bolak. Banyak penduduk, tentara dan aliansi Pane migrasi masuk kepedalaman di Penyabungan. Mereka inilah yang mendiami Huta Siantar dan Siladang. Sejatinya penduduk Siladang adalah tentara Sriwijaya yang dikebiri pasukan Gajah Mada dari Padang Lawas. Hal ini bisa dibuktikan dengan banyaknya persamaan bahasa dan adat istiadat Siladang (Aek Banir)dengan penduduk Palembang di pedalaman seperti cenderung mengunci koloni dari masyarakat luar.Ini juga menjadi penjelasan kenapa bahasa Siladang berbeda dengan bahasa Mandailing pada umumnya. Kerajaan Pane adalah sekutu Kerajaan Sriwijaya. Para pendatang dari Pane dan tentara Sriwijaya ini kemudian lebur menjadi orang Mandailing dan mengadopsi marga setempat. Masa inilah Sibaroar, leluhur Nasution dewasa. Sibaroar bisa mendominasi pengaruh Pulungan karena beraliansi dengan para pendatang ini. Belakangan banyak orang Siladang (Aek Banir) menjadi Nasution, demikian mungkin juga orang Pane yang terusir itu.
Sejarah Asal Usul Mandailing pada akhirnya harus diakui bahwa
apa yang dimaksud Mandailing, kini hanya menunjuk pada wilayah saja. Jika seseorang merasa dirinya punya silsilah yang mengakar ke tanah Toba dan tinggal di Mandailing, maka ia boleh mengklaim diri menjadi orang Mandailing. Mandailing tidak hanya di isi oleh "orang mandailing" saja, tetapi patut di ingat, pendeta Hindu yang berkulit hitam itu menetap di Mandailing dan beranak pinak hingga sekarang. Rombongan dari Aceh (Tapak Tuan) menjadi Rangkuti dan beberapa pedagang Cina menjadi Lubis, atau pulungan, tergantung tempat dan situasi dimana bermukim. Menurut salah satu sumber, Marga Lubis aslinya berasal dari Bugis. Ini membuktikan bahwa Mandailing lebih heterogen dan lebih dinamis dari Toba. Jadi jangan heran kenapa tarombo Toba lebih rapi dari tarombo Mandailing.
Apakah Mandailing itu Batak sekarang tergantung dari mana anda melihatnya. Tapi yang pasti Mandailing tidak berasal dari Batak adalah fakta yang harus di akui. Menjadi seorang Batak atau Mandailing adalah dua pilihan buat penduduk yang berasal dari tanah Mandailing. Saya memilih Mandailing karena istilah ini lebih tua dan mendarah daging.
Mengetahui Sejarah Asal Usul Mandailing, maka kita harus ke masa lalu. Asal usul mandailing dan sejarah mandailing natal harus ditulis berdasarkan data empiris. Asal usul mandailingtidak hanya dicatat berdasar penuturan cerita rakyat. Contohnya seperti Kisah Rakyat Asal Usul Batak plesetan ini.
Cerita rakyat yang dituturkan secara turun temurun dibutuhkan sebagai pelengkap data empiris tadi, tetapi bingkai penulisan sejarah asal usul mandailing tetap harus yang realistis, logis dan sistematis. Sejarah mandailing harus dibebaskan dari sentuhan subjektif, seperti fanatisme keyakinan,dan fatalisme silsilah Raja Batak.
Jika kita sudah menyimpulkan suatu hal, "asal usul mandailing dari batak toba". Maka kita telah berhenti untuk berfikir dan menggali pertanyaan: dari mana asal usul mandailing? Dengan vonis, "asal usul mandailing adalah dari batak toba" kita telah membunuh sejarah asal usul mandailing. Siapa yang tahu pasti asal usul mandailing dari batak toba kecuali nenek moyang mandailing itu sendiri. Dan sayangnya mereka yang telah pergi tidak menitipkan surat wasiat dan catatan yang bisa dimengerti dan jelas mereka berasal dari mana. Jadi seseorang yang hidup di zaman ini tidak punya hak memvonis asal usul mandailing dari batak toba atau tidak. Istilah mandailingnya: "Dont punish if you dont know".
Hanya dengan cara ini asal usul mandailing bisa disingkap, jadi tidak pantas hanya karena seseorang berasal dari batak toba dan punya catatan silsilah (tarombo) menggeneralisir, "asal mandailing dari batak toba", sebaliknya, sesorang yang merasa tidak punya pertalian darah mengatakan, "asal usul mandailing adalah dari vietnam". Jadi mari berfikir logis bahwa asal usul mandailing adalah fakta yang terpisah dari kesimpulan siapapun.
Seseorang boleh berpendapat, tentunya berdasarkan logika yang jernih, tentang asal usul mandailing. Sangat bagus membuat diskursus, tesa anti tesa dan sintesa. Ungkapkanlah data dan fakta serta logika, tentu saja akan memperkaya khasanah perbendaharaan asal usul mandailing. Dengan suatu kesadaran, bahwa mandailing bukan milik seseorang, sebaliknya mandailing memiliki orang mandailing. Tulisan ini hanyalah rintisan untuk generasi ini karena masih banyak fakta masih terkubur di perut bumi, menanti untuk disingkap.
Asal usul mandailing tidak dari batak toba karena tidak mungkin Raja Batak atau siapapun nenek moyang orang batak tiba tiba muncul dari perut bumi atau jatuh dari langit di suatu tempat di tanah toba, lalu beranak pinak menjadi suku batak.
Saya banyak mendengar "lelucon" bahwa pada jaman dahulu kala hiduplah seorang Ompu Mula Di Najadi Nabolon, Raja Batak yang memerintah sendirian dan kesepian, karena tidak seorang pun berada selain dirinya dan keluarganya yang berada di puncak gunung itu. Naif sekali jika seperti itu gagasan seseorang tentang Sejarah Asal Usul Mandailing.
Dalam bayangan saya, orang batak yang mendiami toba yang pertama kali adalah sekelompok keluarga yang punya pemimpin dari keluarga itu sendiri. Migrasi massal adalah fakta sejarah yang tercatat di manapun di tanah batak.
Migrasi disebabkan perpecahan di satu klan, dan kelompok yang kalah akan pindah dan menempati suatu daerah yang baru. Jika tempat itu "milik" marga tertentu, mereka yang jadi pendatang kemudian menjadi "anak boru", tidak menjadi raja, mereka harus hormat pada Raja Nidapot (raja yang tempat menumpang). Jika tempat baru itu kosong tanpa otoritas marga apapun, pemimpin mereka itu pun berubah jadi raja. Demikianlah polanya.
Asal usul mandailing karena itu tidak dari batak toba, karena orang batak pertama kali tiba di tanah batak akan menempati sisi terluar dari pulau, dan kemudian seperti pola di atas akan menyebar hingga ke tanah toba dan padang bolak. Penyebaran penduduk bisa dari dua sisi pulau Sumatera, pesisi barat dan timur. Jika demikian, batak toba punya dua kemungkinan: berasal dari pantai timur atau barat.
Patut diakui bahwa fakta, banyak suku marga yang berasal dari batak
toba hidup sebagai orang mandailing. Tetapi itu terjadi pada masa berikutnya
dalam kronologi sejarah batak. Patut di ingat, orang mandailing tidak homogen,
tetapi percampuran darah dari radius 1000 kilometer. Sutan Mahmud, yang
leluhurnya berasal dari minangkabau adalah orang mandailing, dan ia telah
menjadi marga lubis. Jimmy yang orang tuanya berasal dari mandailing sekarang
telah menjadi orang sunda. Semua bisa lebur menjadi siapapun dan marga apapun
mengikuti kronologi sejarah.
Karena itu, tidak tepat, karena seorang siregar, harahap atau daulay punya silsilah rinci mereka berasal dari batak toba lalu ia memfonis: "Asal usul mandailing dari batak toba".
Karena itu, tidak tepat, karena seorang siregar, harahap atau daulay punya silsilah rinci mereka berasal dari batak toba lalu ia memfonis: "Asal usul mandailing dari batak toba".
Dalam upacara perkawinan di adat
Mandailing, diperlukan perlengkapan dalam upacara adat.
Berikut ini adalah perlengkapan yang
diperlukan dalam upacara-upacara adat yang dilaksanakan dengan upacara adat
mandailing:
v Sirih (napuran/ burangir)
v Sirih
v Sentang (gambir)
v Tembakau
v Soda
v Pinang
v Tanda Kebesaran (paragat)
v Payung rarangan
v Pedang dan tombak
v Bendera adat (tonggol)
v Langit-langit dengan tabir
v Tempat penyembelihan kerbau
v Alat musik (uning-uningan)
v Momongan (gong)
Terdiri dari: tawak-tawak, gong, doal,
cenang, talempong, tali sasayak
Gordang sambilan (gendang)
v Alat tiup
v Pakaian penganten
v Pakaian penganten laki-laki
v Pakaian penganten perempuan
pakaian penganten Mandailing seperti pada
gambar :
Selama
berabad-abad lamanya dan sampai sekarang masyarakat Mandailing mempercayai
bahawa Namora Pande Bosi adalah nenek moyang orang-orang Mandailing yang
bermarga Lubis.
Menurut legendanya, Namora Pande Bosi
berasal dari Bugis di Sulawesi Selatan. Dalam pengembaraannya dia sampai ke
satu tempat yang bernama Sigalangan di Tapanuli Selatan. Kemudian dia berkahwin
dengan puteri raja di tempat tersebut dan terkenal sebagai pandai besi yang
mulia.
Namora Pande Bosi dan isterinya yang
bergelar Nan Tuan Layan Bolan mendapat dua orang anak lelaki yang diberi nama
Sutan Borayun dan Sutan Bugis. (Dalam tarombo marga Lubis yang disusun oleh
Raja Junjungan pada tahun 1897, ada juga tercatat bahawa nama isteri Namora
Pande Bosi ialah Boru Dalimunte Naparila, artinya puteri Dalimnte yang pemalu).
Pada suatu
ketika Namora Pande Bosi pergi meyumpit burung ke tengah hutan dan di sana dia
bertemu dengan seorang puteri orang bunian dan mengahwininya. Menurut satu cerita,
wanita itu adalah orang Lubu (orang asli). Dari perkahwinannya itu, Namora
Pande Bosi mendapat dua orang anak lelaki kembar yang masing-masing diberi nama
Si Langkitang dan Si Baitang. Ketika kedua anak tersebut masih dalam kandungan,
Namora Pande Bosi meninggalkan isterinya dan kembali ke Hatongga.
Menjelang dewasa
Si Langkitang dan Si Baitang pergi mencari bapa mereka dan menemukannya di
Hatongga. Lalu mereka tinggal bersama keluarga bapa mereka di tempat tersebut.
Tidak beberapa
lama kemudian, terjadilah perselisihan antara anak-anak Namora Pande Bosi itu
dengan anak-anaknya bersama puteri raja Sigalangan.
Maka Namora
Pande Bosi menyuruh anaknya Si Langkitang dan Si Baitang meninggalkan Hatongga.
Mereka disuruhnya pergi ke daerah Mandailing dan jika mereka menemukan tempat
di mana terdapat dua sungai yang mengalir dari dua arah yang tepat bertentangan
(dalam bahasa Mandailing dinamakan muara patontang) di situlah mereka membuka
tempat pemukiman baru.
Setelah lama mengembara
akhirnya Si Langkitang dan Si Baitang menemukan muara patontang, lantas mereka
membuka pemukiman baru di tempat itu.
Tidak lama setelah ditinggalkan anaknya Si
Langkitang dan Si Baitang, Namora Pande Bosi meninggal dunia dan dimakamkan di
Hatongga. Makam tersebutlah yang akan dipugar. Isterinya Nan Tuan Layan Bolon
yang meninggal kemudian dimakamkan di satu tempat yang bernama Hombang Bide,
kurang lebih 2km dari Hatongga. Makamnya masih ada di situ sampai sekarang.
Semua keturunan Si Langkitang dan Si
Baitang yang menyebar di seluruh tanah Mandailing dan di tempat-tempat lain
dikenali sebagai orang-orang Mandailing yang bermarga Lubis.
;Pada tahun
1963, makam Namora Pande Bosi ditemukan di Hatongga, dengan petunjuk dari
keturunan Raja Sigalangan. Makam tokoh legendaris yang sangat terkenal itu
terletak di tengah persawahan penduduk setempat.
Makam tersebut berada kurang lebih 2km
jauhnya dari Jalan Raya Lintas Sumatra yang melalui desa Sigalangan, kurang
lebih 14km jauhnya dari kota Padang Sidimpuan (ibu kota Kabupaten Tapanuli
Selatan).
Atas usaha
sejumlah orang Mandailing bermarga Lubis, kurang lebih 1.6km panjangnya jalan
dari desa Sigalangan ke arah makam Namora Pande Bosi sudah dibangunkan sehingga
dapat ditempuh dengan kenderaan bermotor (kereta). Tetapi jalan menuju ke makam
tersebut, yang panjangnya kurang lebih 232 meter masih harus dibangun supaya
dapat dilalui dengan berjalan kaki atau dengan menggunakan kenderaan.
Jika jalan yang
panjangnya kurang lebih 232 meter tersebut sudah dibangun, maka para penziarah
yang selalu banyak berdatangan mengunjungi Namora Pande Bosi, di antaranya dari
Malaysia, akan mudah mendatangi makam yang dimuliakan itu. Menurut rencana
jalan yang panjangnya 232 meter itu akan dibangun dengan lebar 3 meter.
Berikut ini
diuraikan secara ringkas tiga jenis tari tradisional Mandailig, yaitu Sarama
(Sarama Datu dan Sarama babiat), Moncak, dan Tortor.
1.
Sarama (Sarama Datu Dan Sarama
Babiat
Dalam upacara
ritual seperti paturun sibaso (marsibaso) atau disebut juga pasusur begu,
tarian sarama diiringi oleh ensambel musik Gordang Sambilan, sedangkan
penarinya satu orang yang dinamakan Sibaso, adalah tokoh Shaman dalam religi
lama orang Mandailing yang disebut Si Pelebegu. Di masa lalu, upacara ritual
paturun sibaso diselenggarakan manakala pada suatu huta atau banua terjadi
musibah besar seperti mewabahnya penyakit kolera, dan musim kemarau atau
sebaliknya musim penghujan yang berkepanjangan sehingga mengganggu aktivitas
pertanian penduduk setempat, yang pada akhirnya akan menimbulkan kelaparan
karena habisnya persediaan padi (beras) sebagai makanan pokok mereka Untuk
mengatasi bala na godang (bencana besar) tersebut, mereka meminta pertolongan
begu, yaitu roh-roh leluhur, melalui perantaraan sibaso karena menurut keyakinan
mereka dahulu hanya sibaso inilah yang dapat berkomunikasi dengan begu. Upacara
ritual paturun sibaso dahulu dilaksanakan di alaman bolak (halaman luas) dari
Bagas Godang (istana raja), yang dihadiri oleh Raja, Namora Natoras, Si Tuan
Najaji (penduduk setempat), dan seorang tokoh supranatural bernama Datu yang
sangat besar peranannya, terutama untuk memimpin pelaksanaan upacara-upacara
ritual.
Ketika itu, datu
dipandang sebagai “gudang ilmu” karena ia memiliki berbagai macam kearifan
tradisional (traditional wisdom) yang sangat dibutuhkan untuk kesempurnaan
hidup komunitas huta atau banua.
Dalam upacara
ritual paturun sibaso disediakan makanan khusus untuk sibaso, yaitu parlaslas,
yang diletakkan di atas sebuah nampan antara lain berisi garing (ikan jurung)
yang dibakar dan pege (lengkuas), serta ngiro (air nira) di dalam tanduk ni
orbo (wadah yang terbuat dari tanduk kerbau). Setelah gordang sambilan
dimainkan dengan gondang (repertoar musik) khusus bernama Mamele Begu, sibaso
pun menari-nari dan kemudian mengalami kesurupan (trance). Dalam keadaan
kesurupan ini, Si Baso meminta makan dan minum.
Setelah makan
dan minum, Si Baso kembali menari-nari. Tidak lama kemudian, sang datu
menghampiri sibaso untuk memberitahukan adanya suatu peristiwa bala na godang (musibah
besar) yang sedang melanda penduduk, dan memohon kepada sibaso agar berkenan
menanyakan apa penyebab dan bagaimana solusinya kepada begu karena penduduk
sudah tidak mampu lagi untuk mengatasinya. Setelah itu, sibaso memberitahukan
apa penyebab dan bagaimana caranya mengatasi musibah besar itu kepada sang
datu. Setelah itu, sibaso pun terjatuh, lalu tidak sadarkan diri (pingsan).
Beberapa saat kemudian ia pun sadar kembali seperti semula, yakni keadaannya
sebelum upacara ritual tersebut dimulai.
2.
Moncak

Pencak silat di
Mandailing dinamakan Moncak, namun adakalnya disebut juga dengan istilah Cilek
yang artinya “silat”. Baik di Mandailing Godang maupun Mandailing Julu cukup
banyak perguruan silat. Di daerah Batang Natal (Mandailing Godang) terdapat satu
perguruan silat yang cukup terkenal karena guru dan murid-muridnya pemain silat
yang tangguh dan hebat dengan jurus-jurus yang mematikan. Mereka dilatih oleh
sang guru di suatu tempat bernama Dolok Sigantang. Oleh sebab itulah mereka
disebut Parsigantang dan nama jurus-jurus silatnya dinamakan pula Si Gantang.
Sementara di
Mandailing Julu pun terdapat banyak perguruan silat. Dua diantaranya yang cukup
kesohor adalah perguruan silat yang ada di Saba Garabak (Huta Pungkut Jae) dan
Muara Pungkut. Di samping marmoncak (bermain silat) dengan tangan kosong,
murid-murid yang belajar pencak silat di Saba Garabak juga menggunakan podang
(pedang) dan oris (keris). Sementara perguruan pencak silat yang ada
di Muara Pungkut cukup terkenal pula karena para muridnya diajari
jurus-jurus silat khusus yang disebut Linto (artinya "lintah"),
dimana gerakan-gerakan kaki mereka sewaktu bermain pencak silat mirip seperti
lintah (pacet). Selain itu, murid-murid dari kedua perguruan pencak silat
tersebut juga mempelajari ilmu kebatinan, yaitu “aji-aji” (jampi-jampi)
tertentu, yang "diamalkan" dalam suatu pertandingan atau pertarungan
untuk dapat mengalahkan pihak lawan.
3.
Tortor
Kalau
diperhatikan keadaan alam sekitar kawasan Mandailing, di bagian utara terdapat
dataran rendah yang cukup luas dan dijadikan areal persawahan oleh penduduk
setempat, sedangkan di bagian selatan umumnya daerah perbukitan (dataran
tinggi), adalah bagian dari Bukit Barisan yang ada di sepanjang Pulau Sumatera.
Di sana sebuah bukit dinamakan tor, dan bukit-bukit itu mereka beri nama,
seperti Tor Sijanggut di Huta Pungkut dan Tor Siojo di sebelah barat dari Pasar
Kotanopan. Bagian lembah (dataran rendah) dari Tor Siojo tersebut merupakan
areal persawahan yang cukup luas dan di daerah-daerah tertentu digunakan
sebagai tempat-tempat pemukiman oleh penduduk setempat. Seperti Aek Kapesong,
Ranggasoli, Jambur Tarutung, Sindang Laya dan Sawahan, adalah tempat-tempat
pemikiman yang tergolong banjar.
Berdasarkan luas
dan kepadatan penduduknya, tempat-tempat pemukiman di Mandailing mulai dari
yang terkecil disebut pagaran, lebih besar dari pagaran dinamakan banjar, dan
yang lebih besar dari banjar dinamakan lumban. Kesemua jenis tempat-tempat
pemukiman tersebut terdapat dalam satu kesatuan wilayah yang dinamakan huta
atau banua. Di Mandailing, setiap huta memiliki kesatuan wilayahnya sendiri dan
memiliki sistem pemerintahan sendiri (otonom) di bawah kepemimpinan Namora
Natoras yang dikepalai seorang raja yaitu Raja Pamusuk.
Sedangkan
gabungan dari beberapa huta, yang masing-masing awalnya berasal dari dan
direstui pembentukannya oleh huta induk (mother village) dengan suatu
“persekutuan hukum” (adattrechts gemeenschap, istilah dalam bahasa Mandailing
adalah Janjian). Gabungan dari beberapa huta atau banua (Janjian) ini juga
dipimpin oleh Namora Natoras namun dikepalai seorang raja yang bergelar Raja
Panusunan Bulung. Di masa lalu, gabungan dari beberapa huta yang dikepalai oleh
Raja Panusunan Bulung (Janjian) tersebut, adalah “kerajaan-kerajaan kecil” yang
cukup banyak terdapat di Mandailing, baik di kawasan Mandailing Godang maupun
Mandailing Julu.
Suku-bangsa
Mandailing memiliki sistem sosial yang dinamakan Dalian Na Tolo, yang
menumpukan kehidupannya kepada tiga kelompok kekerabatan yang bersifat
fungsional yaitu mora, kahanggi, dan anakboru. Dalam hal ini, mora adalah
“pihak yang memberikan anak gadis” dan sebaliknya anakboru adalah “pihak yang
menerima anak gadis”, sedangkan kahanggi adalah orang-orang yang bermarga sama
(disebut juga sisolkot) karena berasal dari satu ompu persadaan (nenek moyang)
yang sama. Seperti marga Nasution memiliki ompu parsadaan bernama Si Baroar,
dan Namora Pande Bosi adalah ompu parsadaan dari orang-orang Mandailing yang
bermarga Lubis.
Selain memiliki
sistem kekerabatan yang terpola dengan menganut penarikan garis keturunan
berdasarkan ayah (patrilineal), di dalam masyarakat Mandailing juga terdapat
stratifikasi (pelapisan) sosial yang telah berlangsung secara turun-temurun
dalam tiga lapisan. Pertama, Namora-mora adalah golongan bangsawan. Kedua, alak
na jaji atau si tuan na jaji adalah orang kebanyakan atau rakyat biasa. Ketiga,
hatoban atau partangga bulu adalah hamba sahaya. Mereka yang tergolong hatoban
disebabkan oleh beberapa hal, antara lain karena tidak mampu membayar utang,
sengaja dibeli untuk diperhamba, dan takluk (kalah) dalam peperangan. Namun di
beberapa huta dan janjian terdapat satu lapisan lagi yang disebut
natoras-toras, adalah pemuka-pemuka masyarakat (kaum cerdik-pandai) yang tidak
berstatus sebagai kaum bangsawan (namora-mora), dan bukan pula rakyat biasa
(alak na jaji). Kaum bangsawan di Mandailing mudah dikenali karena mereka
menyandang gelar Raja, Sutan, Mangaraja, atau Baginda. Di samping itu, tempat
tinggal (rumah) mereka disebut bagas na martanduk atau bagas na marbolang
karena dihiasi dengan ornamen-ornamen tradisional yang khas, sehingga tampak
jelas berbeda dengan rumah-rumah penduduk biasa di suatu huta.
Seni tari yang
disebut tortor memiliki keterkaitan yang sangat erat sekali dengan sistem
religi kuno orang Mandailing, yaitu Si Pelebegu. Hal ini ditunjukkan dengan
adanya satu ungkapan tradisional (istilah), yaitu somba do mulo ni tortor, yang
secara harafiah artinya “asal-mula tortor adalah sembah”.
Dalam hal ini,
somba (sembah) atau persembahan ditujukan kepada roh-roh leluhur (begu) yang
dipercayai memiliki kekuatan gaib dan berpengaruh besar terhadap berbagai aspek
kehidupan mereka. Di masa lalu, roh-roh para leluhur (begu) tersebut diyakini
ada yang bersemayam di tempat-tempat tertentu di dalam hutan (naborgo-borgo),
goa (guo), di gunung, perbukitan (tor), pohon-pohon besar (ayu ara), dan
sebagainya. Namun, sistem religi Si Pelebegu ini sekarang tidak banyak lagi
yang diketahui oleh orang-orang Mandailing sendiri, terlebih-lebih lagi
mengingat sebagian besar orang Mandailing sudah sejak lama menganut agama Islam
dan membuang kepercayaan lama tersebut karena bertentangan dengan ajaran-ajaran
agama mereka. Begitupun, kepercayaan kuno tersebut masih meninggalkan
bekas-bekasnya, seperti adanya istilah Si Pelebegu, ungkapan somba do mulo ni
tortor, patung yang terbuat dari batu atau kayu bernama tagor dan sangkalon,
repertoar musik dalam ritus pasusur begu bernama gondang mamele begu, dan
lain-lain.
Mengapa salah
satu tari tradisional mereka ini dinamakan tortor? Jawabanya tidak diketahui
secara pasti. Begitu pula kalau perkataan tortor ditinjau dari segi arti
harafiahnya.
Sementara
perkataan “tortor” pun tidak banyak ditemukan dalam “perbendaharaan kata”
bahasa Mandailing. Namun ada yang mengatakan bahwa istilah “tortor” yang
digunakan sebagai nama dari salah satu tari tradisional itu diduga berasal dari
kata “tor tu tor”, artinya “dari satu bukit ke bukit-bukit yang lainnya”, yang
kemudian berubah (disingkat) menjadi “tortor”. Dalam hal ini, mungkin
dapat ditafsirkan dari sudut pandang lain, bukan berdasarkan arti harafiahnya.
Karena sebagaimana diketahui bahwa di dataran tinggi Mandailing, terutama di
kawasan Mandailing Julu, terdapat banyak tor dan masing-masing memiliki nama
sendiri. Kalau diperhatikan istilah “tor tu tor” tersebut, juga dapat
mengandung pengertian yang melukiskan suatu keadaan atau hal-hal tertentu, di
mana dari bukit yang satu ke bukit-bikit lainnya kelihatan tampak seperti “garis”
yang turun-naik, berbentuk sejumlah “segi-tiga” yang berjejer, yang pada
dasarnya mirip seperti salah satu gerakan dalam tortor. Sewaktu para penari
sedang manortor (menarikan tortor), tubuh mereka tampak seperti “naik-turun”,
dengan cara menekuk kaki untuk mengikuti irama gondang (gendang), dan seirama
pula dengan gerakan dari kedua belah tangan masing-masing seperti orang yang
sedang marsomba (menyembah).
Dalam setiap
kegiatan manortor terdapat dua kelompok yang masing-masing orang berpasangan. Kelompok
pertama berjejer di barisan terdepan, sedangkan kelompok kedua berjejer pula
tepat di belakang kelompok pertama. Kelompok kedua ini disebut “pangayapi” atau
“panyembar”, dan kelompok pertama disebut “na iayapi” atau “na isembar”.
Kelompok pertama yang berada di barisan terdepan ini merupakan orang-orang atau
kelompok kekerabatan yang dihormati oleh orang-orang yang berada di barisan
belakang (kelompok kedua). Sesuai dengan ketentuan adat masyarakat Mandailing,
ada beberapa jenis tortor yang didasarkan kepada status atau kedudukan sosial
dari orang-orang yang manortor yaitu: (1) Tortor Raja Panulusan Bulung; (2)
Tortor Raja-Raja; (3) Tortor Suhut; (4) Tortor Kahanggi Suhut; (5) Tortor Mora;
(6) Tortor Anakboru; (7) Tortor Namorapule; dan (8) Tortor Naposo Nauli Bulung.
Pelaksanaan
Tortor Mora dalam upacara adat perkawinan (Haroan Boru) misalnya, yang manortor
di barisan terdepan (kelompok pertama, na iayapi) adalah orang-orang yang
berstatus sebagai Mora dari pihak yang melaksanakan upacara adat perkawinan
(disebut Suhut), sedangkan di barisan belakang (kelompok kedua, pangayapi)
adalah Suhut yang ketika itu berstatus sebagai Anakboru.
Kalau dalam
Tortor Anakboru, di barisan terdepan (na iayapi) adalah orang-orang yang
berstatus sebagai Anakboru dalam pelaksaanaan ucapara adat perkawinan tersebut,
maka orang-orang yang berada di barisan belakang (pangayapi) adalah “Anakboru
ni Anakboru” (Anakboru dari Anakboru itu sendiri) yang disebut Kijang Jorat.
Dalam pelaksanaan kedua jenis tortor ini, kesemuanya adalah kaum laki-laki.
Namun lain halnya dengan pelaksanaan Tortor Naposo Nauli Bulung, yang di
barisan terdepan (na isembar) adalah para anak gadis yang memiliki marga yang
sama misalnya Nasution, maka di barisan belakang (pangayapi) adalah para pemuda
yang (harus) bermarga lain misalnya Lubis, atau sebaliknya para anak gadis di
barisan depan (na isembar) bermarga Nasution, sedangkan dibarisan belakang
(panyembar) harus bermarga Lubis, atau marga-marga lain seperti Rangkuti,
Pulungan, Matondang, Daulae, dan Batubara. Pokoknya para pemuda dan pemudi
yang manortor secara berpasang-pasangan tersebut tidak boleh memiliki marga
(clan) yang sama. Idealnya, nauli bulung (anak gadis) sebagai pasangan naposo
bulung (pemuda) adalah boru tulang yaitu anak gadis dari mora (calon mertua) si
pemuda.
Gerakan kaki
antara kelompok kedua (pangayapi) dan kelompok pertama (na iayapi) tampak
sangat jelas berbeda ketika manortor. Kelompok pertama (barisan terdepan)
bergerak ke arah kanan atau kiri dengan menggerakkan ujung jari-jari kaki yang
disebut manyerser, sedangkan kelompok kedua (barisan belakang) bergerak dengan
cara melangkah yang disebut mangalangka. Kalau kelompok pertama (na isembar)
bersikap seperti orang yang sedang menyembah (marsomba) ketika manortor,
sementara masing-masing orang dari kelompok kedua (panyembar) bersikap seperti
alihi (burung elang) yang seakan-akan sedang “melindungi” (memuliakan)
pasangannya yang bergerak ke arah samping kiri ataupun kanan, di mana kedua
belah tangannya “terbuka di depan dada” yang tingginya di bawah bahu, yang
terkadang “oleng” ke kiri dan ke kanan untuk mengikuti arah gerakan kelompok
pertama (na isembar). Dalam kegiatan manortor ini, para panortor terlebih
dahulu manortor di tempat dengan menghadap ke arah depan. Setelah itu, mereka
bergerak ke arah samping kanan, lalu kembali manortor ke arah depan. Kemudian
bergerak ke arah samping kiri, dan kembali lagi ke formasi awal, yaitu manortor
di tempat dengan menghadap ke arah depan. Biasanya, gerakan manortor ke arah
kanan dan kiri tersebut dilakukan sebanyak tiga kali, dan setelah itu mereka
kemudian membentuk formasi baru yaitu “melingkar” dan beberapa saat kemudian
kembali lagi ke formasi semula, lalu bergerak lagi ke arah samping kanan dan
kiri. Selanjutnya kembali lagi ke formasi awal, dan akhirnya kegiatan manortor
pun usai.
Kegiatan manortor dalam Orja Siriaon
(upacara adat perkawinan) dan Orja Siluluton (upacara adat kematian)
menggunakan dua jenis gondang (repertoar musik) yang berbeda, yaitu gondang
sabe-sabe yang bertempo cepat (isar) digunakan sebagai “pembuka” kegiatan
manortor, dan gondang tortor yang bertempo lambat (erer) digunakan untuk
mengiringi kegiatan manortor selanjutnya. Ketika gondang sabe-sabe dimainkan,
di galanggang panortoran (tempat khusus untuk manortor) hadir seorang laki-laki
dengan gerakan sarama (manyarama) mendekati para panortor dengan membawa
sehelai “kait adat” (Abit Sende atau Patani) yang direntangkan pada kedua belah
tangannya. Setelah berada di dekat panortor, barulah “kain adat” tersebut
diletakkannya pada bagian pundak dari salah seorang panortor. Hal ini
dilakukannya kepada semua orang yang akan manortor. Setelah selesai untuk itu,
barulah gondang tortor dimainkan, dan tindak lama kemudian kegiatan manortor
pun dimulai.
Sewaktu manortor
ini berlangsung, seorang laki-laki yang bertindak sebagai Panjeir menyanyikan
sebuah lagu khusus untuk tortor, yaitu Jeir. Dan pada akhir kegiatan
manortor, para panortor selalu meneriakkan kata Horas, yang kemudian disambut
pula oleh orang-orang yang hadir berkumpul di situ dengan teriakan kata yang
sama.
BAB V
ETNIS PESISIR
Etnis Batak
Pesisir disebut juga sebagai etnis Pasisi atau etnis Pesisi, adalah salah satu
etnis yang terdapat di kota Sibolga dan Tapanuli Tengah. Masyarakat etnis
Batak Pesisir ini, hidup di sepanjang pesisir pantai sebelah barat Sibolga dan
Tapanuli Tengah.
Etnis Batak Pesisir ini sebenarnya berawal dari suku Batak Toba, Mandailing dan Angkola yang telah menetap di Sibolga dan Tapanuli Tengah, sejak beratus-ratus tahun yang lalu. Setelah sekian lama terjadi pembauran dari ketiga suku Batak ini, maka datanglah imigran lain yang berasal dari Minangkabau dan Melayu dari pesisir Timur Sumatra, lalu terjadi perkawinan-campur di antara ke 5 suku bangsa ini. Dari percampuran ke 5 suku bangsa ini lah terbentuk suatu komunitas yang disebut sebagai suku Pesisir. Pada awalnya mereka berbicara menggunakan bahasa Batak, tetapi setelah berabad-abad tercampur dengan budaya Minang dan Melayu, maka akhirnya bahasa merekapun berubah dan berganti menjadi bahasa Pesisir, seperti yang mereka ucapkan sehari-hari saat ini.
Etnis Batak Pesisir ini sebenarnya berawal dari suku Batak Toba, Mandailing dan Angkola yang telah menetap di Sibolga dan Tapanuli Tengah, sejak beratus-ratus tahun yang lalu. Setelah sekian lama terjadi pembauran dari ketiga suku Batak ini, maka datanglah imigran lain yang berasal dari Minangkabau dan Melayu dari pesisir Timur Sumatra, lalu terjadi perkawinan-campur di antara ke 5 suku bangsa ini. Dari percampuran ke 5 suku bangsa ini lah terbentuk suatu komunitas yang disebut sebagai suku Pesisir. Pada awalnya mereka berbicara menggunakan bahasa Batak, tetapi setelah berabad-abad tercampur dengan budaya Minang dan Melayu, maka akhirnya bahasa merekapun berubah dan berganti menjadi bahasa Pesisir, seperti yang mereka ucapkan sehari-hari saat ini.
Adat dan
kebudayaan yang diamalkan oleh suku Batak Pesisir ini, lebih banyak dipengaruh
budaya Melayu. Pada awalnya suku Batak Pesisir ini lebih suka kalau
disebut sebagai orang Melayu Pesisir saja, tetapi belakangan ini, tidak sedikit
dari mereka yang tidak menolak disebut sebagai suku Batak Pesisir. Bahkan
belakangan ini sebagian dari masyarakat suku Pesisir ini mulai mencantumkan
kembali marga-marga lamanya seperti Pohan, Siregar, Sitompul, Tanjung, Pasaribu
dan lain-lain. (salah satu putra dari suku Batak Pesisir ini adalah Pak Akbar
Tanjung).
Bahasa
Pesisir adalah bahasa yang dipergunakan masyarakat Batak Pesisir di
Tapanuli Tengah dan Sibolga, yang menjadi bahasa percakapan dalam pergaulan
sehari-hari. Bahasa Pesisir ini agak unik, karena bahasa Pesisir ini adalah
hasil gabungan dari 3 bahasa, yaitu dari bahasa Batak Mandailing, Minangkabau
dan Melayu. Jadi suku Pesisir ini sebenarnya adalah orang Batak yang
berbahasa Melayu. Hal ini mirip seperti masyarakat Batak di Rokan Hulu provinsi
Riau atau masyarakat Rao di kabupaten Pasaman Sumatra Barat.
Keberadaan suku Pesisir ini, mungkin belum
banyak dikenal oleh masyarakat lain di pulau Jawa
atau daerah-daerah lain di luar provinsi
Sumatra Utara. Tetapi sebenarnya, suku Pesisir ini telah eksis selama
beratus-ratus tahun di wilayah Sibolga dan Tapanuli Tengah, dan berdiri sejajar
dengan etnis-etnis lain seperti suku Toba, Mandailing, Angkola, Minangkabau dan
Melayu.
Kehidupan masyarakat Pesisir pada umumnya adalah sebagai nelayan. Tetapi tidak sedikit yang telah bekerja di sektor pemerintahan dan swasta. Selain itu pada sektor pendidikan juga banyak yang telah berhasil mencapai Universitas. Kehidupan lain yang dijalani oleh masyarakat suku Pesisir ini, adalah sebagai guru, pedagang, wiraswasta dan lain-lain.
Kehidupan masyarakat Pesisir pada umumnya adalah sebagai nelayan. Tetapi tidak sedikit yang telah bekerja di sektor pemerintahan dan swasta. Selain itu pada sektor pendidikan juga banyak yang telah berhasil mencapai Universitas. Kehidupan lain yang dijalani oleh masyarakat suku Pesisir ini, adalah sebagai guru, pedagang, wiraswasta dan lain-lain.
Berikut beberapa etnis Melayu Pesisir Timur.
- Etnis Melayu
Pesisir Langkat,
berbaur dengan suku Karo, Malaysia dan Aceh. Kebanyakan suku ini terdapat di kecamatan Stabat dan Tanjung Pura di kabupaten Langkat.
Saat ini suku ini tergabung dalam kelompok suku Melayu Langkat.
Berbicara menggunakan bahasa Melayu dialek "e" - Etnis
Melayu Pesisir Deli,
berbaur dengan suku Karo, Toba, Arab, Malaysia. Kebanyakan suku ini terdapat di kabupaten Deli Serdang.
Saat ini suku ini tergabung dalam kelompok suku Melayu Deli.
Berbicara menggunakan bahasa Melayu, yang mirip dengan bahasa Indonesia, hanya lebih cepat dan singkat. - Etnis
Melayu Pesisir Serdang,
berbaur dengan suku Toba dan Minang. Kebanyakan suku ini terdapat di kecamatan Perbaungan dan Pantai Cermin.
Berbicara menggunakan bahasa Melayu dialek "o". - Etnis
Melayu Pesisir Tebing Tinggi,
berbaur dengan suku Simalungun, Karo, Toba dan Minang, kebanyakan berada di wilayah Tebing Tinggi.
Berbicara menggunakan bahasa Melayu dialek "o" - Etnis
Melayu Pesisir Asahan,
berbaur dengan suku-suku Toba, Mandailing, Minang. Kebanyakan suku ini terdapat di kotamadya Tanjung Balai, Kisaran, desa Simpang Tiga kecamatan Labuhan Ruku, desa Lima Laras dan desa Ujung Kubu kecamatan Tanjung Tiram.
Berbicara menggunakan bahasa Melayu dialek "o". - Etnis
Melayu Pesisir Labuhan Batu,
berbaur dengan suku-suku Toba, Mandailing, Lubu, Rao, Minang dan Riau. Kebanyakan suku ini terdapat di daerah Rantau Prapat, Tanjung Medan, Kota Pinang dan Negeri Lama kecamatan Bilah.
Berbicara menggunakan bahasa Melayu dialek "o", tapi dengan ragam bahasa yang agak berbeda.
Etnis Batak Pesisir ini memiliki beberapa kesenian budaya yang cukup
populer di kalangan masyarakat di Sumatra Utara, yaitu:
- Dampeng
- Tari Payung


BAB VI
ETNIS SIMALUNGUN
Etnis Simalungun
adalah salah etnis yang berada di provinsi Sumatera
Utara, Indonesia,
yang menetap di Kabupaten Simalungun dan sekitarnya. Beberapa
sumber menyatakan bahwa leluhur etnis ini berasal dari daerah India Selatan.
Sepanjang sejarah etnis ini terbagi ke dalam beberapa kerajaan. Marga asli
penduduk Simalungun adalah Damanik, dan 3 marga pendatang yaitu, Saragih,
Sinaga, dan Purba. Kemudian marga
marga (nama keluarga) tersebut menjadi 4 marga besar di Simalungun.
Orang Batak menyebut suku
ini sebagai suku "Si Balungu" dari legenda hantu yang menimbulkan
wabah penyakit di daerah tersebut, sedangkan orang Karo
menyebutnya Timur karena bertempat di sebelah timur mereka
Asal-usul
Terdapat
berbagai sumber mengenai asal usul Etnis Simalungun, tetapi sebagian besar menceritakan
bahwa nenek moyang etnis Simalungun berasal dari luar Indonesia.
Kedatangan ini terbagi dalam 2 gelombang :
Kedatangan ini terbagi dalam 2 gelombang :
1.
Gelombang pertama (Simalungun
Proto ), diperkirakan datang dari Nagore (India Selatan) dan pegunungan Assam
(India Timur) di sekitar abad ke-5, menyusuri Myanmar, ke Siam dan Malaka
untuk selanjutnya menyeberang ke Sumatera Timur dan mendirikan kerajaan Nagur
dari Raja dinasti Damanik.
2.
Gelombang kedua (Simalungun
Deutero), datang dari suku-suku di sekitar Simalungun yang bertetangga dengan suku asli
Simalungun.
Pada gelombang Proto Simalungun di atas,
Tuan Taralamsyah Saragih menceritakan bahwa rombongan yang terdiri dari
keturunan dari 4 Raja-raja besar dari Siam dan India ini bergerak dari Sumatera
Timur ke daerah Aceh,
Langkat,
daerah Bangun Purba, hingga ke Bandar Kalifah sampai Batubara.
Kemudian mereka
didesak oleh suku setempat hingga bergerak ke daerah pinggiran danau Toba
dan Samosir.
Pustaha Parpandanan Na Bolag (pustaka
Simalungun kuno) mengisahkan bahwa Parpandanan Na Bolag (cikal bakal daerah
Simalungun) merupakan kerajaan tertua di Sumatera Timur yang wilayahnya bermula
dari Jayu (pesisir Selat Malaka) hingga ke Toba. Sebagian sumber lain
menyebutkan bahwa wilayahnya meliputi Gayo dan Alas di Aceh hingga
perbatasan sungai Rokan di Riau.
Kini, di
Kabupaten Simalungun sendiri, Akibat derasnya imigrasi, suku Simalungun hanya
menjadi mayoritas di daerah Simalungun Atas.
Sistem mata
pencaharian orang Simalungun yaitu bercocok tanam dengan padi dan jagung, karena padi
adalah makanan pokok sehari-hari dan jagung adalah makanan tambahan jika hasil
padi tidak mencukupi. Jual-beli diadakan dengan barter, bahasa yang dipakai
adalah bahasa dialek. "Marga" memegang peranan penting dalam soal adat Simalungun. Jika
dibandingkan dengan keadaan Simalungun dengan suku Batak yang lainnya sudah
jauh berbeda.
A. Kesenian/Kebudayaan
Toping-toping
dan tangis tangis adalah jenis tarian tradisional dari suku Batak Simalungun
yang dilaksanakan pada acara duka cita di kalangan keluarga Kerajaan.
Toping-toping atau huda-huda ini terdiri dari 3 (tiga)m bagian, bagian pertama
yaitu huda-huda yang dibuat dari kain dan memiliki paruh burung enggang yang
menyerupai kepala burung enggang yang konon menurut cerita orang tua bahwa
burung enggang inilah yang akan membawa roh yang telah meninggal untuk
menghadap yang kuasa, bagian yang kedua adalah manusia memakai topeng yang
disebut topeng dalahi dan topeng ini dipakai oleh kaum laki-laki dan wajah
topeng juga menyerupai wajah laki-laki dan kemudia topeng daboru dan yang
memakai topeng ini adalh perempuan karena topeng ini menyerupai wajah perempuan
(daboru). Pada tanggal 06 s/d 08 Agustus 2009 tepatnya di Kota Perdagangan
Pematang Siantar diadakan acara yang disebut dengan Pasta Rondang Bintang,
acara ini dilaksanakan secara rutin setiap tahunnya. Dalam acara ini digelar
berbagai kegiatan seni dan budaya diantaranya berbagai jenias tari daerah
Simalungun, Festival Lagu daerah, permainan tradisional (Jelengkat atau
enggrang) dan Festival Toping-toping dan tangis-tangis.
Festival
toping-toping dan tangis-tangis ini diadakan pada acara Pesta Rondang Bintang
dengan tujuan untuk mengangkat dan mengembangkan kembali peranan toping-toping
atau tangis-tangis yang biasanya dilaksanakan pada saat acara duka cita di
daerah Simalungun. Pada Zaman dahulu penampilan huda-huda atau toping-toping
dan tangis-tangis hanya dilaksanakan dikalangan keluarga kerajaan saja dan
karena sekarang keberadaannya sudah tidak ada lagi, maka akan diaktifkan kembali
dalam kehidupan sehari hari. Dari sekian lama Pesta Rondang Bintang
dilaksanakan baru kali ini diadakan festival toping-toping dan tangis-tangis
karena dari pengamatan dan pantauan dilapangan sudah sangat jarang dan biasanya
acara ini juga dilaksanakan jika orang yang punya hajatan adalah orang yang
sudah saur matua atau orang yang sudah lengkap anak, cucu dari masa tuanya.
Dengan keragaman
budaya yang ada di Indonesia, tentanya kebudayaan ini sangatlah penting arti
dan manfaatnya dimasa mendatang, oleh sebab itu diharapkan hendaklah kita dapat
melestarikan budaya peninggalan nenek moyang kita yang diwariskan kepada kita
dan anak cucu kita. Kalau ditinjau dari segi jenis tarian dan kebudayaan, tari
toping-toping dan tangis-tangis ini tidak dapat kita jumpai dimanapun
terkecuali di daerah Simalungun dan ini akan menjadi aset atau kekayaan budaya
daerah Simalungun khususnya dan Sumatera Utara juga Indonesia pada umumnya,
oleh sebab itu marilah kita menjaga dan mengembangkan kekayaan budaya yang kita
miliki.




BAB VII
ETNIS NIAS
Etnis Nias
adalah kelompok masyarakat yang hidup di pulau Nias.
Dalam bahasa aslinya, orang Nias menamakan diri mereka "Ono Niha"
(Ono = anak/keturunan; Niha = manusia) dan pulau Nias sebagai "Tanö
Niha" (Tanö = tanah).
Masyarakat Nias
adalah masyarakat yang hidup dalam lingkungan adat dan kebudayaan yang masih
tinggi. Hukum adat Nias secara umum disebut fondrakö yang mengatur segala segi
kehidupan mulai dari kelahiran sampai kematian. Masyarakat Nias kuno hidup
dalam budaya megalitik dibuktikan oleh peninggalan sejarah berupa ukiran pada
batu-batu besar yang masih ditemukan di wilayah pedalaman pulau ini sampai
sekarang. Kasta : Suku Nias mengenal sistem kasta(12 tingkatan Kasta).
Dimana tingkatan kasta yang tertinggi adalah "Balugu". Untuk mencapai
tingkatan ini seseorang harus mampu melakukan pesta besar dengan mengundang
ribuan orang dan menyembelih ribuan ekor.
Makanan Khas
- Gowi Nihandro (Gowi Nitutu ; Ubi tumbuk)
- Harinake (daging babi cincang dengan cacahan yang tipis dan kecil-kecil)
- Godo-godo (ubi / singkong yang diparut, dibentuk bulat-bulat kemudian direbus setelah matang di taburi dengan kelapa yang sudah di parut)
- Köfö-köfö(daging ikan yang dihancurkan, dibentuk bulat dan dijemur/dikeringkan/diasap)
- Ni'owuru (daging babi yang sengaja diasinkan agar bisa bertahan lama)
- Rakigae (pisang goreng)
- Tamböyö (ketupat)
- löma (beras ketan yang dimasak dengan menggunakan buku bambu)
- gae nibogö (pisang bakar)
- Kazimone (terbuat dari sagu)
- Wawayasö (nasi pulut)
- Gulo-Gulo Farö (manisan dari hasil sulingan santan kelapa)
- Bato (daging kepiting yang dipadatkan dalam bentuk bulat agar dapat bertahan lama; terdapat di Kepulauan Hinako)
- Nami (telur kepiting dapat berupa nami segar atau yang telah diasinkan agar awet, dapat bertahan hingga berbulan-bulan tergantung kadar garam yang ditambahkan)
Peralatan Rumah Tangga di Nias
- Bowoa tanö - periuk dari tanah liat, alat masak tradisional
- Figa lae - daun pisang yang dipakai untuk menjadi alas makanan
- Halu (alat menumbuk padi) - Alu
- Lösu - lesung
- Gala - dari kayu seperti talam
- Sole mbanio - tempat minum dari tempurung
- Katidi - anyaman dari bambu
- Niru (Alat untuk menapik beras untuk memisahkan dedak)
Amaedola Nias
- Hulö ni femanga mao, ihene zinga (Bagaikan kucing yang sedang makan di mulai dari pinggiran) Artinya: Dalam melakukan sesuatu hal, di mulai dengan hal yang mudah ke yang sulit.
- Hulö la'ewa nidanö ba ifuli fahalö-halö (Bagaikan air di potong-potong tetap bersatu kembali) Artinya: Sesuatu yang tidak bisa untuk di pisahkan.
- Abakha zokho safuria moroi ba zi oföna (Lebih dalam luka terakhir dari pada luka yang pertama) Artinya: Sesuatu tindakan akan sangat terasa pada akhirnya.
Minuman
- Tuo nifarö (tuak) adalah minuman yang berasal dari air sadapan pohon nira (dalam bahasa Nias "Pohon Nira" = "töla nakhe" dan pohon kelapa (dalam bahasa Nias "Pohon Kelapa" = "töla nohi") yang telah diolah dengan cara penyulingan. Umumnya Tuo nifarö mempunyai beberapa tingkatan (bisa sampai 3 (tiga) tingkatan kadar alkohol). Dimana Tuo nifarö No. 1 bisa mencapai kadar alkohol 43%.
- Tuo mbanua (minuman tuak mentah yang berasal dari air sadapan pohon kelapa atau pohon nira yang telah diberi 'laru' berupa akar-akar tumbuhan tertentu untuk memberikan kadar alkohol)
Budaya Nias
·
Fahombo (Lompat
Batu)
·
Fatele/Foluaya(Tari
Perang)
·
Maena (Tari berkoelompok)
·
Tari Moyo (Tari Elang)
·
Fangowai (Tari sekapur
sirih/penyambutan tamu)
·
Fame Ono nihalõ
(Pernikahan)
·
Omo Hada (Rumah Adat)
Fame'e Tõi Nono Nihalõ
(Pemberian nama bagi perempuan yang sudah menikah)
Fasösö Lewuö (Menggunakan adu
bambu untuk menguji kekuatan pemuda Nias)
Dalam budaya Ono Niha (Nias) terdapat
cita-cita atau tujuan rohani hidup bersama yang termakna dalam salam “Ya’ahowu”
(dalam terjemahan bebas bahasa Indonesia “semoga diberkati”). Dari arti
Ya’ahowu tersebut terkandung makna: memperhatikan kebahagiaan orang lain dan
diharapkan diberkati oleh Yang Lebih Kuasa. Dengan kata lain Ya’ahowu
menampilkan sikap-sikap: perhatian, tanggungjawab, rasa hormat, dan pengetahuan.
Jika seseorang bersikap demikian, berarti orang tersebut memperhatikan
perkembangan dan kebahagiaan orang lain : tidak hanya menonton, tanggap,
dan bertanggungjawab akan kebutuhan orang lain (yang diucapkan : Selamat –
Ya’ahowu), termasuk yang tidak terungkap, serta menghormatinya sebagai sesama
manusia sebagaimana adanya. Jadi makna yang terkandung dalam “Ya’ahowu” tidak
lain adalah persaudaraan (dalam damai) yang sungguh dibutuhkan sebagai wahana
kebersamaan dalam pembangunan untuk pengembangan hidup bersama.
Bab VIII
Etnis Karo
Karo mendiami
Dataran Tinggi Karo, Sumatera
Utara, Indonesia.
Etnis ini merupakan salah satu etnis terbesar dalam Sumatera Utara. Nama etnis
ini dijadikan salah satu nama Kabupaten di salah satu wilayah yang mereka diami
(dataran tinggi Karo) yaitu Tanah Karo. Suku ini memiliki bahasa sendiri yang
disebut Bahasa
Karo atau Cakap Karo. Pakaian adat etnis Karo didominasi dengan warna merah serta hitam dan penuh
dengan perhiasan emas.
Karo dianggap sebagai bagian dari
suku kekerabatan Batak, seperti kekerabatan Batak Toba, Batak Mandailing, Batak
Simalungun, Batak Pak-Pak atau Dairi, dan Batak Karo. Namun kebanyakan
masyarakat suku Karo menggap bahwa mereka bukanlah bagian dari kekerabatan
Batak tersebut, tetapi Karo adalah suku yang berdiri sendiri.
Marga
Suku Karo memiliki sistem kemasyarakatan atau adat yang dikenal dengan nama merga silima, tutur siwaluh, dan rakut sitelu. Masyarakat Karo mempunyai sistem marga (klan). Marga atau dalam bahasa Karo disebut merga tersebut disebut untuk laki-laki, sedangkan untuk perempuan yang disebut beru. Merga atau beru ini disandang di belakang nama seseorang. Merga dalam masyarakat Karo terdiri dari lima kelompok, yang disebut dengan merga silima, yang berarti marga yang lima. Kelima merga tersebut adalah:
1. Karo-karo
2. Tarigan
3. Ginting
4. Sembiring
5. Perangin-angin
Kelima merga ini masih mempunyai submerga masing-masing. Setiap orang Karo mempunyai salah satu dari merga tersebut. Merga diperoleh secara otomatis dari ayah. Merga ayah juga merga anak. Orang yang mempunyai merga atau beru yang sama, dianggap bersaudara dalam arti mempunyai nenek moyang yang sama. Kalau laki-laki bermarga sama, maka mereka disebut (b)ersenina, demikian juga antara perempuan dengan perempuan yang mempunyai beru sama, maka mereka disebut juga (b)ersenina. Namun antara seorang laki-laki dengan perempuan yang bermerga sama, mereka disebut erturang, sehingga dilarang melakukan perkawinan, kecuali pada merga Sembiring dan Peranginangin ada yang dapat menikah diantara mereka.
Suku Karo memiliki sistem kemasyarakatan atau adat yang dikenal dengan nama merga silima, tutur siwaluh, dan rakut sitelu. Masyarakat Karo mempunyai sistem marga (klan). Marga atau dalam bahasa Karo disebut merga tersebut disebut untuk laki-laki, sedangkan untuk perempuan yang disebut beru. Merga atau beru ini disandang di belakang nama seseorang. Merga dalam masyarakat Karo terdiri dari lima kelompok, yang disebut dengan merga silima, yang berarti marga yang lima. Kelima merga tersebut adalah:
1. Karo-karo
2. Tarigan
3. Ginting
4. Sembiring
5. Perangin-angin
Kelima merga ini masih mempunyai submerga masing-masing. Setiap orang Karo mempunyai salah satu dari merga tersebut. Merga diperoleh secara otomatis dari ayah. Merga ayah juga merga anak. Orang yang mempunyai merga atau beru yang sama, dianggap bersaudara dalam arti mempunyai nenek moyang yang sama. Kalau laki-laki bermarga sama, maka mereka disebut (b)ersenina, demikian juga antara perempuan dengan perempuan yang mempunyai beru sama, maka mereka disebut juga (b)ersenina. Namun antara seorang laki-laki dengan perempuan yang bermerga sama, mereka disebut erturang, sehingga dilarang melakukan perkawinan, kecuali pada merga Sembiring dan Peranginangin ada yang dapat menikah diantara mereka.
Aksara Karo
Aksara Karo ini adalah aksara kuno yang dipergunakan oleh masyarakat Karo, akan tetapi pada saat ini penggunaannya sangat terbatas sekali bahkan hampir tidak pernah digunakan lagi.guna melengkapi cara penulisan perlu dilengkapi dengan anak huruf seperti o= ketolongen, x= sikurun, ketelengen dan pemantek
Tari tradisional
Suku Karo mempunyai beberapa tari tradisional, di antaranya:
• Piso Surit
• Lima Serangkai
• Terang Bulan
Kegiatan Budaya
• Merdang merdem = "kerja tahun" yang disertai "Gendang guro-guro aron".
• Mahpah = "kerja tahun" yang disertai "Gendang guro-guro aron".
• Mengket Rumah Mbaru - Pesta memasuki rumah (adat - ibadat) baru.
• Mbesur-mbesuri - "Ngerires" - membuat lemang waktu padi mulai bunting.
• Ndilo Udan - memanggil hujan.
Aksara Karo ini adalah aksara kuno yang dipergunakan oleh masyarakat Karo, akan tetapi pada saat ini penggunaannya sangat terbatas sekali bahkan hampir tidak pernah digunakan lagi.guna melengkapi cara penulisan perlu dilengkapi dengan anak huruf seperti o= ketolongen, x= sikurun, ketelengen dan pemantek
Tari tradisional
Suku Karo mempunyai beberapa tari tradisional, di antaranya:
• Piso Surit
• Lima Serangkai
• Terang Bulan
Kegiatan Budaya
• Merdang merdem = "kerja tahun" yang disertai "Gendang guro-guro aron".
• Mahpah = "kerja tahun" yang disertai "Gendang guro-guro aron".
• Mengket Rumah Mbaru - Pesta memasuki rumah (adat - ibadat) baru.
• Mbesur-mbesuri - "Ngerires" - membuat lemang waktu padi mulai bunting.
• Ndilo Udan - memanggil hujan.
• Rebu-rebu - mirip pesta "kerja tahun".
• Ngumbung - hari jeda "aron" (kumpulan pekerja di desa).
• Erpangir Ku Lau - Buang Sial.
• Raleng Tendi - "Ngicik Tendi" = memanggil jiwa setelah seseorang kurang tenang karena terkejut secara suatu kejadian yang tidak disangka-sangka.
• Motong Rambai - Pesta kecil keluarga - handai taulan untuk memanggkas habis rambut bayi (balita) yang terjalin dan tidak rapi.
• Ngaloken Cincin Upah Tendi - Upacara keluarga pemberian cincin permintaan dari keponakan (dari Mama ke Bere-bere atau dari Bibi ke Permain).
• Ngaloken Rawit - Upacara keluarga pemberian pisau (tumbuk lada) atau belati atau celurit kecil yang berupa permintaan dari keponakan (dari Mama ke Bere-bere) - keponakan laki-laki.

Komentar
Posting Komentar