MAKALAH BEDAH AL-QUR’AN SURAH : AL-FURQAN




MAKALAH
BEDAH AL-QUR’AN
SURAH : AL-FURQAN
D

I

S

U

S

U

N
OLEH :
NAMA : NANI CHAIRANI LESTARI LUBIS
PEMBIMBING : MASLIANI BATUBARA S,ag
NIP : 197702272006042015
SMA NEGERI 1 PLUS MATAULI PANDAN

Kata Pengantar
Puji syukur kehadirat Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa. Bahwa saya masih diberikan nikmat sehat, sehingga saya dapat menyelesaikan makalah ini yang membahas tentang “Surah AL-Furqan”
Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah, selain untuk memenuhi tugas, juga untuk berbagi referensi tentang kandungan Surah AL-Furqan.
Saya mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah banyak membantu dan membimbing, khususnya kepada guru pembimbing saya, sehingga saya dapat menyelesaikan makalah ini dengan lancar.
            Saya menyadari bahwa, makalah ini belum sempurna, maka dari itu kritik dan saran yang membangun sangat saya harapkan untuk perbaikan pembuatan makalah selanjutnya. Mudah-mudahan makalah sederhana ini bermanfaat bagi para pembaca. Terimaksih

Agustus 2014
Nani Chairani Lestari Lubis







































PENDAHULUAN
1.      JUS                                         :18 (1-20) dan 19 (21-77)
2.      JUMLAH AYAT                   : 77 Ayat
3.      KATA PUASA                      : Nothing~
4.      KATA SHALAT                    : Nothing~
5.      KATA HAJI                           : Nothing~

Surah Al-Furqan (Arab: الفرقان ,"Pembeda") adalah surah ke-25 dari al-Qur'an. Surah ini terdiri atas 77 ayat dan termasuk golongan surah-surah Makkiyah. Dinamai Al-Furqan yang artinya pembeda, diambil dari kata al-Furqan yang terdapat pada ayat pertama surah ini. Yang dimaksud dengan Al-Furqan dalam ayat ini ialah Al-Quran (lihat nama lain Al-Qur'an). Al-Quran dinamakan Al-Furqan karena dia membedakan antara yang haq dengan yang batil. Maka pada surat ini pun terdapat ayat-ayat yang membedakan antara kebenaran ke-esaan Allah s.w.t. dengan kebatilan kepercayaan syirik.


BAB I
SURAH AL-FURQAN
Dalam terjemahan Al-Qur’an bahasa Indonesia, Al-Furqan diartikan sebagai pembeda; yang membedakan antara hak dan batil. Pada beberapa buku tafsir dijelaskan bahwa Al-Furqan ini merupakan sifat yang mempunyai potensi atau kemampuan membedakan sesuatu secara terperinci sehingga ia dapat mengungkapkan dengan jelas rahasia yang tersembunyi di balik sesuatu itu. Kalau boleh dikatakan, dia bukan saja mampu membedakan hal yang sudah jelas, misalnya antara hitam dengan putih, tetapi dia mampu membedakan yang mirip atau samara bagi ita, karena semuanya sudah terungkap dengan jelas dan terperinci sehingga tidak ada satu pun yang tertinggal dan terabaikan.
Karena kemampuan yang sangat tinggi untuk memerinci dan memperjelas inilah, Al-Furqan dijadikan Allah SWT sebagai bagian spesifik dan tersendiri bagi suatu nubuwwah (kenabian). Dapat dikatakan bahwa Al-Furqan merupakan senjata khusus para Nabi dan Rasul dalam mengungkap dengan jelas makna risalah yang dititipkan Allah SWT pada mereka. Lebih khusus lagi, dengan Al-Furqan ini pula para Nabi bisa mengungkap makna dan rahasia yang terkandung dalam kitab suci yang diberikan Allah SWT kepada mereka.
Sebagaimana kita ketahui bersama, makna yang paling benar (hakiki) dari ayat-ayat suatu kitab suci adalah makna yang ditafsirkan sendiri oleh Rasul-Nya. Keyakinan seperti itu pun masih kita rasakan sekarang ini ketika kita mencoba memahami ayat-ayat suci Al-Qur’an. Memang ada sebagian ayat yang mudah dipahami. Begitu ia dibacakan, kita langsung dapat memahami makna dan tujuan ayat tersebut. Tetapi ada pula ayat-ayat yang untuk mendapatkan maknanya yang akurat dan pas, diperlukan suatu pemikiran dan perenungan yang dalam, bahkan kadang-kadang dibantu oleh beberapa disiplin ilmu tertentu untuk lebih memantapkan makna tersebut. Ada juga ayat-ayat yang memang sangat sulit dan rumit, sehingga kita sendiri merasa tidak mampu untuk mengungkapkannya dengan pas. Walaupun maknanya secara umum sudah didapatkan, kita masih merasa tidak puas dengan makna tersebut, karena dalam hati kecil kita, kita merasa yakins ekali bahwa ayat itu mempunyai makna yang sangat dalam dan tidak sekedar apa yang tersurat.
Untuk menghilangkan ketidakpuasan ini, hati kita pun akan terusik dan bertanya-tanya, bagaimana Rasulullah Saw menafsirkan ayat tersebut. Semua ini menyadarkan kita bahwa untuk mendapatkan makna yang hakiki dari suatu kitab suci tidaklah cukup hanya dengan mengandalkan nalar dan intelektual saja, tetapi lebih dari itu, ia memerlukan perenungan yang sangat dalam. Perenungan itu tidak bisa dilampaui manusia biasa, sekalipun ia seorang professor. Manusia yang mampu melampaui perenungan itu adalah orang-orang yang memiliki maqam yang sudah melampaui batas ambang tertentu., sampai ke tingkat para Nabi yang memiliki nilai-nilai kesucian spiritual yang sangat tinggi. Merekalah yang bisa menembus alam tempat para malaikat berkumpul sambil bersujud dan bertasbih memuji kebesaran Penciptanya.
Dengan nilai spiritual inilah, kemampuan mengungkapkan rahasia-rahasia kitab suci yang kita sebut Al-Furqan ini dapat dicapai. Al-Qur’an mengungkapkannya dalam surat Al-Baqarah ayat 53: Dan ketika Kami (Allah) berikan kepada Musa Al-Kitab dan Al-Furqan, semoga kamu mendapat petunjuk.
Kitab mengetahui bahwa kitab yang diberikan kepada Nabi Musa as adalah kitab taurat. Dalam ayat ini dijelaskan bahwa kepada Nabi Musa pun diberikan senjata Al-Furqan untuk mengungkapkan isi Taurat tersebut secara benar dan dapat kita buktikan dengan melihat akhir ayat ini yang diakhiri dengan kata semoga kamu dapat petunjuk. Hal ini menunjukkan bahwa seorang Nabi atau Rasul memerlukan senjata Al-Furqan untuk mengungkapkan risalahnya (yaitu kitab suci) secara benar dan hakiki.
Dalam ayat lain yang maknanya sejalan dengan ayat ini, Al-Qur’an menyebutkan: Telah kami (Allah) berikan kepada Musa dan Harun Al-Furqan. (QS. Al-Anbiya: 48). Kita mengetahui kedua Nabi ini diutus pada waktu yang bersamaan dan kitab suci yang diturunkan ialah Taurat. Kita tahu pula bahwa kitab suci itu diturunkan kepada Nabi Musa as, maka untuk itu tidak perlu diturunkan kitab suci yang khusus bagi Nabi Harun as. Bagi Harun hanya diberikan senjatanya saja dalam menafsirkan Taurat, yaitu Al-Furqan.
Ayat yang lebih spesifik lagi berkenaan dengan Nabi Muhammad Saw, yaitu dalam ayat: Dia (Allah) turunkan kiepada engkau (Muhammad Saw) Al-Kitab (Al-Qur’an) dengan haq yang membenarkan apa yang terdahulu dan Dia menurunkan Taurat dan Injil sebelumnya sebagai petunjuk bagi manusia dan Dia menurunkan Al-Furqan. (QS. Ali Imran: 3-4).
Dari penjelasan ayat-ayat ini dapat dilihat bagaimana tingginya derajat Al-Furqan ini sehingga oleh Allah disejajarkan dengan figure Nabi maupun nilai kitab suci. Dengan bergabungnya ketiga nilai ini (Nabi, Kitab Suci, dan Al-Furqan), maka sempurnalah nilai suatu kenabian. Ketiga nilai ini, kalau mau diperumpamakan, boleh jadi ia merupakan “jembatan” atau transmitterantara alam manusia dengan alam malakut; alam dunia dengan alam gaib. Sesungguhnya apabila umat manusia ingin diantarkan untuk mencapai kesempurnaan ibadahnya, maka jembatan inilah yang akan membawa dengan selamat dalam perjalan kembali menuju Allah SWT.
Yang menarik untuk didiskusikan lebih lanjut ialah; ketika kita mengetahui bahwa sekarang kita hidup di zaman yang tidak akan diutus lagi seorang Nabi pun –karena telah diakhiri masa kenabian Rasulullah Saw dan tidak ada nubuwwah lagi, sebagaimana ditegaskan dalam Al-Qur’an, surat Al-Ahzab ayat 40– maka permasalahan yang timbul ialah: Apakah jembatan penghubung itu pun ikut terputus pula? Dengan perkataan lain, siapakah nanti yang benar-benar mampu mengungkapkan rahasia di balik risalah terakhir ini (Islam) atau siapakah yang mampu mengungkapkan makna yang hakiki dari apa yang terkandung dalam kitab Al-Qur’an? Sebagai ilustrasi, tadi kita telah menyatakan bahwa tafsiran yang paling benar dari ayat-ayat Al-Qur’an hanyalah yang diungkapkan sendiri oleh Rasulullah Saw (karena adanya senjata Al-Furqan). Sedangkan persoalannya sekarang ini kita hidup ketika Rasulullah Saw sudah tidak ada lagi.
Dari pembahasan ini dapat disimpulkan bahwa Al-Furqan merupakan kata kunci dalam pengungkapan semua ini. Dapat dikatakan dengan senjata Al-Furqan ini, siapapun dapat mengungkapkan segala rahasia apapun yang terkandung dalam risalah terakhir ini, baik yang terkandung dalam Al-Qur’an maupun sunnah Rasulullah Saw itu sendiri.
Dengan kebijaksanaan Allah SWT dan keadilan-Nya, walaupun tidak ada lagi pengutusan seorang Rasu, Allah tetap menurunkan Al-Furqan ini sampai hari kiamat kepada orang-orang yang dikehendaki. Artinya, tidak sembarang orang mendapatkan keistimewaan ini. Hanya orang-orang tertentu yang maqamnya sudah mencapai tingkat para nabilah yang mampu. Orang-orang ini dikenal dalam Islam dengan manusia-manusia sica atau wali-wali Allah yang disebut dengan manusia “takwa” sebagaimana yang dinyatakan Al-Qur’an: Sesungguhnya wali-wali Allah tidaklah mereka itu merasa takut dan tidak pula mereka itu bersedih, (yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka itu bertakwa. (QS. Yunus: 62-63).
Manusia takwa inilah yang berhak mendapatkan keistimewaan menerima Al-Furqan. Allah menjelaskan dalam Al-Qur’an: Hai orang yang beriman, jikalau kamu bertakwa kepada Allah, (Dia) akan menjadikan untuk kamu Al-Furqan. (QS. Al-Anfa: 29).
BAB II
KANDUNGAN ISI SURAH AL-FURQAN SECARA GARIS BESAR
1.        Tentang Keimanan
Ø  Allah Maha Besar berkah dan kebaikan-Nya
Ø  Hanya Allah saja yang menguasai langit dan bumi
Ø  Allah tidak punya anak dan sekutu
Ø  Al-Quran benar-benar diturunkan dari Allah
Ø  Ilmu Allah meliputi segala sesuatu
Ø  Allah bersemayam di atas Arsy
Ø  Nabi Muhammad adalah hamba Allah yang diutus ke seluruh alam
Ø  Rasul itu adalah manusia biasa yang mendapat wahyu dari Allah
Ø  Pada hari kiamat akan terjadi peristiwa-peristiwa luar biasa seperti terbelahnya langit
Ø  Turunnya malaikat ke bumI
Ø  Orang-orang berdosa dihalau ke neraka dengan berjalan atas muka mereka
.
2.      Tentang Hukum-hukum
Ø  Tidak boleh mengabaikan Al-Quran
Ø  Larangan menafkahkan harta secara boros atau kikir
Ø  Larangan membunuh atau berzina
Ø  Kewajiban memberantas kekafiran dengan mempergunakan alasan Al-Quran
Ø  Larangan memberikan saksi palsu.
Ø  Sifat-sifat  yang wajib dimiliki kaum muslim, tawadhu, selalu mengucapkan kata-kata yang baik, senantiasa shalat sunnah tahajjud setiap malam, takut akan siksa Allah swt, sederhana di dalam berinfaq, tidak syirik, menjauhkan diri dari perbuatan pembunuhan yang diharamkan Allah swt, tidak berzina, tidak bersaksi palsu, senang menerima nasihat baik, senantiasa berdoa dan bermunajat pada Allah swt.

3.      Tentang Kisah-kisah
Ø  Kisah Nabi Musa
Ø  Nabi Nuh
Ø  Kisah kaum Tsamud dan Kaum Syu'aib.

BAB III
Surah Al-Furqan: 63-70
Terjemahan:
25- 63:  Dan hamba-hamba al-Rahman (Yang Maha Mengasihani) itu (ialah) orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati, dan apabila orang jahil menegur mereka, maka mereka mengucapkan kata-kata “salam”.
25- 64:  Dan orang yang bermalam dengan bersujud dan berdiri kepada Rab (Tuhan) mereka. 
25- 65:  Dan orang yang berkata: "Rabbana (wahai Tuhan kami)! Jauhkanlah azab Jahanam daripada kami, sesungguhnya azabnya sangat mengerikan.” 
25- 66:  Sesungguhnya ia (Jahanam itu) seburuk-buruk tempat menetap dan tempat kediaman. 
25- 67:  Dan orang yang apabila membelanjakan, mereka tidak berlebih-lebihan, dan tidak (pula) bakhil, melainkan di tengah-tengah antara yang demikian. 
25- 68:  Dan orang yang tidak mempertuhankan yang lain beserta Allah, dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah, kecuali dengan hak, dan tidak berzina. Dan sesiapa yang melakukan demikian itu, nescaya dia mendapat dosa. 
25- 69:  Akan dilipat gandakan azab untuknya pada hari kiamat, dan dia akan kekal dalamnya, dalam keadaan terhina. 
25- 70:  Kecuali orang yang bertaubat, beriman dan beramal salih; maka mereka itulah akan diganti oleh Allah kejahatannya dengan kebajikan. Dan Allah adalah al-Ghafur (Maha Pengampun), lagi al-Rahim (Maha Mengasihani).
25- 71:  Dan sesiapa yang bertaubat dan beramal salih, maka sesungguhnya dia bertaubat kepada Allah dengan taubat yang sebenar-benarnya. 
25- 72:  Dan orang yang tidak memberikan persaksian palsu, dan apabila mereka melalui perkara yang sia-sia, mereka lalui (sahaja) dengan (sikap yang) mulia.
25- 73:  Dan orang yang apabila diberi peringatan dengan ayat-ayat Rab (Tuhan) mereka, tidaklah mereka tunduk kepadanya sebagai orang yang pekak dan buta.
25- 74:  Dan orang yang berkata: "Rabbana (wahai Tuhan kami)! Anugerahkanlah kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyejuk mata (kami), dan jadikanlah kami imam (pemimpin) bagi orang yang bertakwa.” 
25- 75:  Mereka itulah orang yang dibalaskan dengan martabat yang tinggi kerana kesabaran mereka, dan mereka disambut dengan penghormatan dan ucapan “salam” di dalamnya (syurga). 
25- 76:  Mereka kekal di dalamnya. Itulah sebaik-baik tempat menetap dan tempat kediaman. 
25- 77:  Katakanlah: "Rab (Tuhan)ku tidak memperdulikan kamu, melainkan jika ada ibadah kamu, (tetapi bagaimana ada ibadah kamu), sedangkan kamu mendustakan? Justeru, pastilah (kamu) kelak (mendapat azab).”

Tafsir AL-Furqon: 63-70
Ayat-ayat ini menjelaskan bahwa ada 11 sifat yang dimiliki orang yang beriman. Yang mana, bagi orang beriman yang memiliki 11 sifat tersebut akan memperoleh gelar ‘ibadurrahman’ (hamba-hamba yang mendapatkan rahmat paling besar disisi Allah). Derajat-derajat paling istimewa yang diperoleh di surga kelak. Dan orang-orang tersebut harus melaksanakan kewajiban yang diwajibkan oleh Allah, jika tidak maka orang tersebut akan mendapatkan siksa yang amat pedih dan sebaliknya.

Kesebelas sifat tersebut adalah:
  1. Sederhana dalam berinfaq
  2. Tawadhu
  3. Selalu mengucapkan ucapan yang baik
  4. Orang yang selalu sholat malam
  5. Merasa takut siksa Allah
  6. Menjauh dari sifat syirik
  7. Menjauhi yang Diharamkan Allah
  8. Tidak berbuat zina
  9. Menjauhkan diri dari saksi palsu
  10. Senang menerima nasehat baik
  11. Senantiasa berdoa
Pada Surah Al-Furqan ayat 63-77 menggambarkan, bahwa ada sebelas sifat yang dimiliki oleh orang-orang yang beriman. Menurut Allah, orang-orang beriman yang memiliki sebelas sifat tersebut memperoleh gelar ibadurrahman, yaitu hamba-hamba Allah yang akan mendapatkan rahmat yang paling besar di sisi Allah SWT. Rahmat-rahmat Allah yang paling besar tersebut yaitu kedudukan atau derajat-derajat yang paling tinggi yang diperoleh oleh mereka di surga kelak.
Orang-orang yang beriman itu harus melaksanakan seluruh kewajiban yang diwajibkan oleh Allah kepada mereka. Apabila mereka melalaikan kewajiban-kewajiban tersebut, maka mereka akan mendapatkan siksaan yang amat pedih dari Allah SWT. Sebaliknya, apabila mereka menunaikan kewajiban-kewajiban yang diberikan tersebut, maka mereka akan mendapatkan ganjaran pahala yang berlipat ganda dari Allah SWT.
Sifat-sifat yang dikemukakan di sini adalah sifat-sifat yang dimiliki oleh orang-orang yang beriman setelah menunaikan berbagai kewajiban yang diwajibkan kepada mereka. Seperti yang termaktub pada Surah al-Furqaan ayat 63-77, sebelas sifat yang dimaksud tersebut adalah:
Pertama, sifat tawadhu’.
Tawadhu’ adalah lawan dari sifat takabbur. Tawadhu’ adalah sifat yang selalu merendah, merupakan sifat yang sangat disukai oleh Allah. Jika orang yang memiliki sifat ini adalah orang yang sangat disukai oleh Allah, maka orang yang memiliki sifat takabbur adalah orang yang sangat dibenci oleh Allah SWT. Di dalam suatu hadits disebutkan, jika ada seseorang yang di dalam dirinya terdapat sifat sombong walaupun hanya sebesar biji zarrah (biji sawi), maka Allah akan mengharamkan surga baginya.
Takabbur adalah orang yang menganggap dirinya besar, padahal dia tidak besar. Orang yang mengaku memiliki banyak hal, tapi sebenarnya ia tidak memiliki apa-apa. Padahal kata Allah, bahwa apa yang mereka miliki itu tidak ada maknanya sedikitpun. Karena itulah, mereka menambahkan sifat di dalam dirinya dengan apa yang tidak mereka miliki. Untuk menjadikan diri kita tawadhu’ adalah dengan berpandangan bahwa apa yang kita miliki tidak ada arti apa-apa dibandingkan dengan yang dimiliki oleh Allah SWT.
Sifat sombong adalah sifat yang merupakan fitrah yang diberikan Allah kepada setiap manusia. Tidak ada seorangpun yang tidak memiliki sifat sombong. Hanya saja, ada orang yang membiarkan kesombongannya menjadi subur, dan ada juga yang bisa menahan kesombongannya, sehingga kesombongannya tidak pernah muncul.
Firman Allah pada Surah Al-Furqaan ayat 63:
Dan hamba-hamba Tuhan Yang Maha Penyayang itu (ialah) orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata yang baik. (Q.S. Al-Furqaan: 63)
Pada ayat tersebut dengan jelas menyebutkan, bahwa ‘ibaadurrahman itu adalah mereka yang berjalan di muka bumi ini dalam keadaan tawadhu’, dalam keadaan tunduk, dalam keadaan merasa bahwa dirinya adalah makhluk yang sangat kecil, tak mempunyai kekayaan apapun, tak memiliki ilmu apapun, walaupun orang lain memandang bahwa dirinya adalah orang yang berilmu, orang yang kaya, ataupun orang yang memegang jabatan tinggi.
Pertanyaannya, mampukah kita bersikap tawadhu’? Harus diingat, bahwa sikap takabbur itu akan muncul kapanpun dan di manapun. Jika kita tidak berhati-hati, maka sikap tersebut akan menjadi subur, akan berkembang dengan sendirinya karena kondisi dan keadaan di mana kita hidup. Karena itulah, menurut Rasulullah, sombong terhadap orang yang sombong itu adalah sebuah kebajikan sedekah. Mengapa? Karena kalau kita menahan kesombongan seseorang, sebenarnya kita mendekatkan orang tersebut kepada surga. Karena, jika ada kesombongan di dalam hati seseorang, maka diharamkan kepadanya untuk mendapatkan surga. Jika kita sombong terhadap orang yang sombong sehingga orang tersebut menjadi tidak sombong, maka sebenarnya kita telah menjauhkannya dari neraka dan mendekatkannya kepada surga.
Kedua, selalu mengucapkan ucapan-ucapan yang baik (al-kalamuth thayyib).
Maksudnya adalah, bahwa orang tersebut senantiasa mengucapkan kalimat-kalimat yang baik, walaupun orang lain selalu mengejeknya dengan kalimat-kalimat yang tidak mengenakkan. Artinya, bahwa ‘ibaadurrahman adalah orang-orang yang senantiasa mengeluarkan ucapan-ucapan yang baik, senantiasa bersikap dengan sikap yang baik, senantiasa menimbulkan kebajikan-kebajiikan walaupun di tengah orang-orang yang tidak mau berbuat kebajikan kepadanya.
Biasanya, jika mendengar ada orang yang mengejek kita, maka kita akan membalasnya dengan ucapan-ucapan yang lebih kasar dibandingkan orang yang mengejek kita tersebut. Kalau ada yang memaki kita, maka kita akan membalasnya lebih dari satu kali makian. Jika ada orang yang berbuat jahat kepada kita sebanyak sekali, maka kita akan membalasnya lebih dari sekali. Itulah fitrah manusia.
Dalam ayat ini disebutkan, bahwa jika ada orang-orang yang bodoh yang menyapa dia, kalau ada orang-orang yang mengejek dia dengan kalimat-kalimat yang tidak mengenakkan baginya, maka dia akan menyampaikan kalimat-kalimat yang baik kepada orang yang mengejeknya itu. Tapi secara fitri, hal ini tak mudah untuk dilakukan. Malahan sebaliknya, seringkali perbuatan kebajikan dibalas dengan kejahatan (air susu dibalas dengan air tuba).
Rasulullah menyatakan, bahwa orang yang paling baik akhlaknya adalah orang-orang yang apabila diputuskan hubungan silaturahmi, maka ia tidak akan memutuskan hubungan tersebut. Misalkan: ada orang yang tidak mau datang ke rumah kita, tapi kita tetap mendatangi rumah orang tersebut. Hal ini tak mudah untuk dilakukan, karena biasanya jika ada orang yang tidak mau datang ke rumah kita, maka kita akan semakin menjauhi orang tersebut.
Rasulullah juga menyatakan, bahwa orang yang paling baik akhlaknya adalah orang yang suka memberi kepada orang yang tidak mau memberi kepadanya.
Ketiga, yaitu orang beriman yang suka tahajjud di malam hari.
Firman Allah pada Al-Furqaan ayat 64:
Dan orang yang melalui malam hari dengan bersujud dan berdiri untuk Tuhan mereka. (Q.S. Al-Furqaan: 64)
Bangun di malam hari setelah tidur, untuk kemudian melakukan shalat tahajjud bukanlah hal yang mudah dilakukan. Tetapi apabila kita membiasakan diri, maka secara otomatis pada saatnya kita akan terbangun, sehingga hal seperti ini mudah saja untuk dilakukan. Mengapa tahajjud ini penting? Karena jika ibadah dilakukan di tempat yang sepi, maka konsentrasi kita akan lebih terpusat, dibandingkan ibadah di tengah keramaian.
Menurut pandangan para ulama, shalat tahajjud merupakan shalat sunnat muakkad, yaitu shalat sunnat yang senantiasa dilakukan oleh Rasulullah. Shalat sunnat tahajjud biasa dilakukan paling tidak dua raka’at, umumnya dilakukan delapan raka’at, ditambah dengan witir tiga raka’at. Begitu besar pahala yang didapatkan oleh orang-orang yang senantiasa melaksanakan shalat tahajjud, karena tidak banyak orang yang mampu melakukan shalat tahajjud itu pada setiap malamnya.
Keempat, yaitu merasa takut akan siksa Allah SWT.
Firman Allah pada Al-Furqan ayat 65-66:
(65) Dan orang-orang yang berkata: “Ya Tuhan kami, jauhkan azab Jahannam dari kami, sesungguhnya azabnya itu adalah kebinasaan yang kekal“.
(66) Sesungguhnya Jahannam itu seburuk-buruk tempat menetap dan tempat kediaman. (Q.S. Al-Furqaan: 65-66)
Orang yang senantiasa takut terhadap azab Allah, maka akan menyebabkannya selalu mematuhi dan mentaati perintah-perintah Allah dan senantiasa meninggalkan segala yang dilarang oleh Allah SWT. Di dalam Al-Qur’an digambarkan, bahwa di saat menghadapi sakaratul maut, maka bagi mereka yang belum memiliki persiapan menghadapi alam kubur dan alam akhirat itu lalu meminta kepada Allah untuk menunda kematiannya, karena mereka belum banyak melakukan ibadah kepada Allah. Lalu Allah menjawab, “Apabila ajal mendatangi seseorang, maka ajal tersebut tak bisa diundur dan tidak juga bisa dipercepat.”
Jika kita selalu mengingat akan azab Allah, maka pada saat itulah keinginan kita akan muncul untuk melakukan ibadah kepada-Nya. Patut diingat, bahwa azab yang kita terima tak pernah ada habisnya. Dimulai pada saat kita menjalani sakaratul maut, kemudian berlanjut ketika berada di dalam kubur. Kemudian terus berlanjut hingga ketika dibangkitkan dan dikumpulkan di padang mahsyar. Menurut riwayat, bahwa di padang mahsyar nanti matahari itu sejengkal di atas kepala, dan manusia pada saat itu kondisinya berbeda-beda. Ada yang selalu merasa dingin dan sejuk, walaupun matahari berada di atas kepalanya. Ada juga yang merasa badannya terbakar, karena dibakar oleh matahari.
Pendeknya, ketika di padang mahsyar, maka manusia sudah merasakan alam atau suasana yang berbeda sesuai dengan amal kebajikannya. Bagi yang mendapatkan siksaan, maka siksaan tersebut akan terus berlanjut. Ketika berada di dalam neraka, siksaan tersebut takkan pernah ada habisnya. Setelah kulitnya terbakar oleh api neraka, kemudian kulit tersebut diganti lagi dengan yang baru. Setelah itu dibakar lagi, kemudian diganti lagi, dan begitu seterusnya tak pernah berhenti.
Seorang muslim yang baik yang akan mendapatkan derajat yang tinggi di akhirat nanti adalah mereka yang senantiasa ada di dalam dirinya itu rasa takut terhadap siksaan Allah SWT. Dan karena rasa takut akan siksaan Allah itulah, maka kita akan menjadi orang yang senantiasa patuh terhadap perintah-Nya.
Kelima, yaitu sederhana (moderat) di dalam berinfaq.
Firman Allah pada Al-Furqan ayat 67:
Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebih-lebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian. (Q.S. Al-Furqan: 67)
Pada ayat di atas dengan jelas menyebutkan, apabila manusia atau orang yang beriman yang ingin membelanjakan sesuatu, maka ketika membelanjakan tersebut dia tidak boleh terlalu boros, dan juga tidak boleh terlalu kikir.
Di dalam ayat lain Allah menyebutkan:
Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan; dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. (Q.S. Al-Israa': 26)
Jadi, tidak boleh ada sikap boros, dan tidak boleh juga kikir, melainkan berada di tengah-tengah (moderat). Kalau kita berbelanja, maka belanjalah sesuai dengan keperluan. Kalau bersedekah, jangan sampai memberikan sedekah terlalu banyak. Hanya karena bangga dengan pahala bersedekah sehingga kita bersedekah terlalu banyak, sedangkan kita lupa akan kebutuhan kita sendiri.
Allah juga mengingatkan, bahwa orang-orang yang bersifat boros itu adalah saudara-saudaranya syaitan, seperti yang termaktub pada Surah Al-Israa’ ayat 27 berikut ini:
Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan dan syaitan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya. (Q.S. Al-Israa': 27)
Tetapi jangan juga karena mengingat akan kebutuhan kita, lalu kita tidak mau mengeluarkan apa yang kita miliki, hingga zakat sekalipun tidak mau dikeluarkan. Itulah orang yang kikir sebenarnya. Dalam hal ini, kita harus bersikap moderat, tidak kikir dan tidak juga boros, namun berada di antara keduanya (moderat).
Pada Surah Al-Israa’ ayat 29 juga disebutkan:
Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu dan janganlah kamu terlalu mengulurkannya karena itu kamu menjadi tercela dan menyesal. (Q.S. Al-Israa': 29)
Jadi, jangan juga kita membelanjakan sesuatu sampai habis, dan jangan pula kita enggan membelanjakan apa yang ada pada diri kita. Hal ini tak mudah dilaksanakan, karena pada umumnya manusia itu bersifat konsumtif. Sifat konsumtif yang tak bisa ditahan yang kemudian menjadi-jadi, itulah yang disebut pemborosan. Tapi kalau menahannya juga menjadi-jadi, itulah yang dinamakan kikir. Di dalam hadits Nabi juga disebutkan, bahwa: “Urusan yang terbaik adalah urusan yang di tengah-tengah.”
Keenam, menjauhkan diri dari sifat syirik.
(68) Dan orang-orang yang tidak menyembah tuhan yang lain beserta Allah dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan (alasan) yang benar, dan tidak berzina, barangsiapa yang melakukan demikian itu, niscaya dia mendapat (pembalasan) dosa (nya).
(69) (yakni) akan dilipat gandakan azab untuknya pada hari kiamat dan dia akan kekal dalam azab itu, dalam keadaan terhina.
(70) kecuali orang-orang yang bertaubat, beriman dan mengerjakan amal saleh; maka kejahatan mereka diganti Allah dengan kebajikan. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
(71) Dan orang yang bertaubat dan mengerjakan amal saleh, maka sesungguhnya dia bertaubat kepada Allah dengan taubat yang sebenar-benarnya.
(Q.S. Al-Furqan: 68-71)
Syirik itu pada hakikatnya adalah sifat yang senantiasa menyekutukan Allah. Seseorang yang menganggap bahwa selain Allah itu ada tuhan yang lain lagi, maka dapat dikategorikan sebagai syirik. Kalau seseorang melakukan penyembahan terhadap Allah, tapi dalam suasana yang lain dia juga melakukan penyembahan terhadap yang selain Allah, maka itu juga dapat disebut sebagai syirik. Menurut ulama, syirik yang seperti ini dinamakan syirik akbar (syirik besar). Syirik akbar adalah syirik yang berupa menyekutukan Allah SWT dengan sembahan atau penyembahan yang selain dari Allah.
Kemudian ada juga yang dinamakan syirik asghar (syirik kecil). Menurut para ulama, syirik asghar salah satunya adalah riya’. Mengapa? Karena ketika beribadah, yang ia harapkan bukanlah keridhaan Allah, tetapi karena sesuatu yang selain dari Allah. Ibadah yang dilakukannya bukanlah diniatkan untuk Allah, tetapi karena yang selain Allah. Kalau ada seseorang yang melakukan shalat bukan karena Allah, tetapi karena yang lain, maka inilah yang disebut sebagai syirik asghar.
Berkaitan dengan syirik akbar, di dalam Al-Qur’an Allah menyebutkan, bahwa mereka yang syirik itu apabila mati, maka dosa karena syiriknya tersebut tidak akan diampuni oleh Allah SWT. Dosa tersebut takkan pernah diampunkan oleh Allah, jika saat ia meninggal dunia tak pernah memohon ampun kepada Allah atas dosa-dosa syiriknya itu. Karena itu, banyak sekali hal-hal yang menjauhkan seseorang dari surga, salah satu di antaranya adalah syirik.
Di dalam Al-Qur’an disebutkan:
Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar. (Q.S. An-Nisaa: 48)
Ketujuh, menjauhkan diri dari melakukan perbuatan membunuh yang diharamkan oleh Allah SWT.
Seperti yang termaktub pada Surah Al-Furqan ayat 68, bahwa selain syirik, melakukan pembunuhan terhadap orang lain juga merupakan perbuatan dosa besar. Berkaitan dengan ini, ada juga orang yang melakukan pembunuhan, tetapi pembunuhan itu atas perintah hukum. Pembunuhan jenis ini tidak dikategorikan sebagai pembunuhan yang dilarang oleh Allah. Misalnya, ada seseorang yang melakukan pembunuhan terhadap orang lain, lalu dia itu diadili oleh hakim, dan hakim memutuskan bahwa dia akan juga dibunuh dengan hukum qishash. Maka mereka yang melakukan eksekusi hukuman mati terhadap orang yang dikenai hukum qishash tersebut tidaklah dikategorikan dalam rangka membunuh sesuatu yang diharamkan oleh Allah SWT, karena eksekusi hukuman mati tersebut berdasarkan perintah hukum.
Dalam kaitan dengan hukum qishash ini, ada ketentuan-ketentuan tertentu yang berlaku. Misalnya: dalam sebuah negara, jika negara memutuskan berdasarkan keputusan pengadilan bahwa si A akan dihukum qishash, maka itu tidak dianggap sebagai pembunuhan yang dilarang oleh Allah. Tetapi jika ada sekelompok orang di dalam sebuah negara yang mereka (orang-orang itu) memberlakukan hukuman qishash kepada seseorang tanpa adanya keputusan pengadilan yang sah, maka hal ini dikategorikan bukanlah pelaksanaan hukuman qishash yang sesuai dengan tuntunan syari’ah. Karena itu, bagi mereka yang memberlakukan pembunuhan seperti ini, maka mereka telah melakukan pembunuhan terhadap jiwa yang diharamkan oleh Allah untuk dibunuh.
Berkaitan dengan ini, Allah mengingatkan, bahwa barangsiapa yang membunuh seseorang, maka seolah-olah dia itu telah membunuh semua manusia, seperti termaktub pada ayat berikut ini:
Oleh karena itu Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil, bahwa: barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya. Dan sesungguhnya telah datang kepada mereka rasul-rasul Kami dengan (membawa) keterangan-keterangan yang jelas, kemudian banyak di antara mereka sesudah itu sungguh-sungguh melampaui batas dalam berbuat kerusakan di muka bumi. (Q.S. Al-Maidah: 32)
Kedelapan, menjauhkan diri dari perbuatan berzina.
Seperti yang termaktub pada Surah Al-Furqan ayat 68, bahwa selain syirik dan membunuh, melakukan perzinahan juga merupakan perbuatan dosa besar. Karena itu, bagi pelakunya akan diberikan siksaan yang berlipat ganda oleh Allah di akhirat nanti, seperti yang termaktub pada Surah Al-Furqaan ayat 69: (yakni) akan dilipat gandakan azab untuknya pada hari kiamat dan dia akan kekal dalam azab itu, dalam keadaan terhina.
Tetapi pada Surah Al-Furqaan ayat 70 dan 71 memberikan kabar gembira kepada kita: [70] kecuali orang-orang yang bertaubat, beriman dan mengerjakan amal saleh; maka kejahatan mereka diganti Allah dengan kebajikan. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. [71] Dan orang yang bertaubat dan mengerjakan amal saleh, maka sesungguhnya dia bertaubat kepada Allah dengan taubat yang sebenar-benarnya. (Q.S. Al-Furqan: 70-71)
Yang dimaksud pada ayat tersebut, jika sudah pernah terjadi hal-hal yang seperti itu (syirik, pembunuhan, dan zina), maka Allah membukakan pintu taubat, lalu bertaubatlah kepada Allah. Tapi pernyataan ini jangan dipelintir. Kalau begitu syirik dulu, baru kemudian bertaubat, karena Allah pasti akan mengampuni. Kalau begitu membunuh dulu, nantikan Allah akan membukakan pintu taubat. Kalau begitu berzinah dulu, nanti malam shalat lail kemudian berdo’a, minta ampun dan bertaubat, maka Allah akan mengampuni. Tentunya bukan ini sebenarnya yang dimaksud.
Itulah sebabnya, bagi manusia yang bersalah, apabila dia bertaubat, maka kesalahannya itu akan dihapuskan oleh Allah SWT. Setelah dosa dan kesalahannya dihapuskan oleh Allah SWT, maka kalau bertaubat lagi, maka akan ada tumpukan pahala dari taubatnya yang akan diberikan oleh Allah. Jika ia bertaubat lagi, sedangkan dosanya sudah tidak ada lagi, maka pahala bertaubatnya akan ditambahkan lagi oleh Allah SWT. Karena itulah, tindakan bertaubat dan beristighfar itu tidak hanya dilakukan setelah kita melakukan perbuatan-perbuatan dosa, tetapi kalau memungkinkan di sepanjang kehidupan kita selalulah kita bertaubat.
Perbuatan zina adalah perbuatan dosa besar yang menurut Rasulullah, bahwa orang yang berzina itu tidak layak kalau diundang untuk menghadiri sebuah majelis. Ini merupakan siksaan sosial.
Kesembilan, menjauhkan diri dari bersaksi palsu.
Dan orang-orang yang tidak memberikan persaksian palsu, dan apabila mereka bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, mereka lalui (saja) dengan menjaga kehormatan dirinya. (Q.S. Al-Furqaan: 72)
Saksi palsu bisa muncul kapan saja. Hal ini biasanya terjadi apabila dengan menjadi saksi palsu itu maka akan mendapatkan keuntungan. Sekarang ini banyak sekali terjadi orang yang memberikan kesaksian palsu. Misalkan: sebenarnya kasus tersebut seharusnya dimenangkan oleh pihak A, tapi hakim kemudian memberikan kemenangan kepada pihak B, karena semua saksi memberatkan pihak A. Dalam hal ini, mereka yang menjadi saksi palsu itu sudah melakukan dosa besar. Menjadi saksi palsu itu membahayakan kemaslahatan di dalam masyarakat.
Kesepuluh, senang menerima nasehat yang baik.
Dikatakan oleh Al-Qur’an:
Dan orang-orang yang apabila diberi peringatan dengan ayat-ayat Tuhan mereka, mereka tidaklah menghadapinya sebagai orang-orang yang tuli dan buta. (Q.S. Al-Furqaan: 73)
Jadi, orang yang termasuk kategori orang beriman yang mendapat gelar ‘ibaadurrahman itu adalah orang yang senantiasa menerima nasehat-nasehat yang baik yang diberikan oleh orang lain, orang yang senantiasa mendapatkan pengajaran dan pelajaran dari orang-orang yang memberikan pelajaran-pelajaran yang baik. Termasuk di dalam hal ini adalah orang yang senang mencari ilmu adalah orang yang senang menerima nasehat.
Kesebelas, senantiasa berdo’a dan bermunajjat kepada Allah.
Dan orang-orang yang berkata: “Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa. (Q.S. Al-Furqaan: 74)
Bukan hanya berdoa untuk dirinya, juga berdoa untuk keluarganya, untuk anak cucunya agar menjadi orang-orang yang baik dan orang-orang yang shaleh di belakang hari. Orang-orang yang seperti ini dikatakan oleh Al-Qur’an adalah orang-orang yang akan mendapatkan ganjaran yang paling tinggi di surga nanti yang akan diberikan oleh Allah SWT, seperti termaktub pada Surah Al-Furqaan ayat 75-77:
(75) Mereka itulah orang yang dibalasi dengan martabat yang tinggi (dalam surga) karena kesabaran mereka dan mereka disambut dengan penghormatan dan ucapan selamat di dalamnya,
(76) mereka kekal di dalamnya. Surga itu sebaik-baik tempat menetap dan tempat kediaman.
(77) Katakanlah (kepada orang-orang musyrik): “Tuhanku tidak mengindahkan kamu, melainkan kalau ada ibadatmu. (Tetapi bagaimana kamu beribadat kepada-Nya), padahal kamu sungguh telah mendustakan-Nya? karena itu kelak (azab) pasti (menimpamu)”.
(Q.S. Al-Furqaan: 75-77)
Kesebelas hal ini bukanlah hal yang mudah dilakukan. Tetapi marilah kita melatih diri dan membiasakan untuk memiliki kesebelas sifat dan sikap ini, seperti yang diungkapkan Al-Qur’an pada Surah Al-Furqan ayat 63-77 ini.
BAB IV
RINGKASAN KISAH DALAM SURAH AL FURQAN

1.      KISAH NABI NUH
Nabi Nuh a.s. adalah rasul Allah yang merupakan keturunan kesepuluh dari nabi Adam a.s. Diutus oleh Allah s.w.t. di negri Armenia. Beliau mengajarkan kaumnya untuk menyembah kepada Allah dan melarang kaumnya memperhambakan diri kepada selain Allah. 

Mulai usia Nabi Nuh a.s 40 tahun hingga 950 tahun beliau mengembangkan ajaran-ajaran agama Allah s.w.t. akan tetapi manusia diwaktu itu tidak memperdulikan seruan dan ajaran agama Allah tersebut. Bahkan sebaliknya mereka memperolok dan bahkan membenci kepada Nabi Nuh a.s. sehingga hanya sedikit sekali yang mau beriman kepada Allah s.w.t.

Untuk hal itu Nabi Nuh a.s. menangis karena sedihnya atas keingkaran kaumnya tersebut. Selama ratusan tahun beliau menjalankan tugas kerasulan, hanya sedikit sekali yang mau beriman kepada Allah s.w.t. karena itulah Allah menyuruh Nabi Nuh a.s. untuk membuat perahu, karena Allah bermaksud untuk menenggelamkan kaum yang durhaka itu

Tidak lama setelah selesainya kapal kayu besar Nabi Nuh a.s. berhembuslah angin taufan yang sangat dahsyat. Hujan turun dengan lebat, mata air bersemburan dari mana-mana yang terus menerus tak henti-hentinya selama berhari-hari. Air pun bertambah tinggi dan bumi berubah menjadi lautan yang sangat luas.

Nabi Nuh a.s. melaksanakan perintah Tuhan, naiklah beliau dengan orang-orang yang beriman keatas bahtera sehingga selamatlah mereka dari banjir yang sangat dahsyat. Ditengah kapal sedang berlayar, tampaklah oleh Nabi Nuh a.s. anaknya yang hampir tenggelam. Maka berserulah Nabi Nuh a.s. "Hai anakku! naiklah ke kapal bersama kami, dan janganlah engkau menjadi manusia yang ingkar terhadap Allah!".

Akan tetapi anak Nabi Nuh a.s. menolak seruan bapaknya dan berusaha berenang ke arah gunung. Namun air bah segera menenggelamkannya. Menyaksikan hal itu Nabi Nuh a.s. sangat sedih, begitu sedihnya sehingga Nabi Nuh a.s. menyeru kepada Allah s.w.t. "O, Tuhanku! anak ku telah mati tenggelam, sedangkan ia termasuk keluarga ku, padahal Tuhan telah berjanji akan menyelamatkan kami!"

Allah berfirman :"Hai Nuh! sesungguhnya orang-orang yang durhaka itu bukanlah termasuk keluarga mu!"

Menerima firman Tuhan tersebut, Nabi Nuh a.s. dengan sangat takutnya meminta ampun kepada Allah karena telah berkata dengan tak tahu apa yang dilarang oleh Allah, yaitu meminta agar anaknya diselamatkan, padahal anaknya termasuk golongan orang yang durhaka. Setelah orang kafir ditelan oleh air, tinggallah orang-orang yang beriman yang mulai menempuh hidup baru dibawah bimbingan Nabi Nuh a.s.

Nabi Nuh a.s. wafat pada usia 950 tahun, akan tetapi selama beliau melaksanakan tugas kerasulannya hanya sedikit sekali yang mau beriman

2.      KISAH KAUM TSAMUD
Sebagaimana disebutkan dalam Al Quran, kaum Tsamud menolak peringatan-peringatan dari Allah sebagaimana dilakukan kaum ‘Ad, dan sebagai konsekuensinya mereka pun dihancurkan. Kini, dari hasil studi arkeologi dan sejarah, banyak hal yang tidak diketahui sebelumnya telah ditemukan, misalnya lokasi tempat tinggal kaum Tsamud, rumah-rumah yang mereka buat, dan gaya hidup mereka. Kaum Tsamud yang disebutkan dalam Al Quran merupakan fakta sejarah yang dibenarkan oleh banyak temuan arkeologis saat ini.
Sebelum lebih jauh melihat temuan arkeologis yang berkaitan dengan kaum Tsamud, sangatlah bermanfaat untuk mempelajari cerita di dalam Al Quran serta mengamati pertarungan kaum ini dengan nabi mereka. Karena Al Quran adalah kitab yang diperuntukkan untuk sepanjang massa, pengingkaran kaum Tsamud atas peringatan-per-ingatan yang datang kepada mereka adalah sebuah peristiwa yang merupakan sebuah peringatan kepada semua orang di sepanjang masa.

Penyampaian Risalah Nabi Shalih

Di dalam Al Quran disebutkan bahwa Nabi Shalih diutus untuk memperingatkan mereka. Shalih adalah orang yang terpandang di ka-langan masyarakat Tsamud. Kaumnya, yang tidak menduga ia akan mengumumkan agama kebenaran, terkejut dengan seruannya untuk me-ninggalkan penyimpangan mereka. Reaksi pertama adalah menghujat dan mengutuknya:
“Dan kepada Tsamud (Kami utus) saudara mereka Shalih. Shalih berkata: ”Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada bagimu Tuhan selain Dia. Dia telah menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan menjadikan kamu pemakmurnya, karena itu mohonlah ampunan-Nya. Sesungguhnya Tuhanku amatlah dekat (Rahmat-Nya) lagi memperkenankan (doa hamba-Nya). Kaum Tsamud berka-ta: ”Hai Shalih, sesungguhnya kamu sebelum ini adalah seorang di antara kami yang kami harapkan, apakah kamu melarang kami un-tuk menyembah apa yang disembah oleh bapak-bapak kami? Dan se-sungguhnya kamu betul-betul berada dalam keraguan yang mengge-lisahkan terhadap agama yang kamu serukan kepada kami.” (QS. Huud, 11: 61-62) !
Segolongan kecil kaum Tsamud memenuhi panggilan Nabi Shalih, namun kebanyakan mereka tidak menerima apa yang dikatakannya. Para pemimpin kaum tersebut, khususnya, menolak dan menentang Shalih. Mereka mencoba menghalang-halangi dan menekan kaum yang beriman kepada Nabi Shalih. Mereka sangat murka kepada Shalih, karena ia mengajak mereka menyembah Allah. Kemarahan ini tidak khusus hanya pada kaum Tsamud; mereka hanya mengulangi kesalahan yang dibuat kaum Nuh dan kaum ‘Ad yang hidup sebelum mereka. Karena itulah Al Quran menyebutkan ketiga kaum ini sebagai berikut:
“Belumkah sampai kepadamu berita orang-orang sebelum kamu (ya-itu) kaum Nuh, ‘Ad, Tsamud, dan orang-orang sesudah mereka. Tidak ada yang mengetahui mereka selain Allah. Telah datang kepada me-reka rasul-rasul (membawa) bukti-bukti yang nyata lalu mereka me-nutupkan tangannya ke mulutnya (karena kebencian) dan berkata: ”Sesungguhnya kami mengingkari apa yang kamu disuruh menyam-paikannya (kepada kami), dan sesungguhnya kami benar-benar dalam keraguan yang menggelisahkan terhadap apa yang kamu ajak kami kepadanya”. (QS. Ibrahim, 14: 9) !
Tanpa mengindahkan peringatan-peringatan Nabi Shalih, orang-orang membiarkan kesangsian menguasai mereka. Namun masih ada sekelompok kecil yang percaya terhadap kenabian Shalih dan merekalah orang-orang yang diselamatkan bersamanya ketika bencana besar da-tang. Para pemuka masyarakat tersebut berupaya menekan kelompok yang mempercayai Shalih:
“Pemuka-pemuka yang menyombongkan diri di antara kaumnya berkata kepada orang-orang yang dianggap lemah yang telah ber-iman di antara mereka: “Tahukah kamu bahwa Shalih diutus (menja-di rasul) oleh Tuhannya?” Mereka menjawab: “Sesungguhnya kami beriman kepada wahyu yang Shalih diutus untuk menyampaikan-nya”. Orang-orang yang menyombongkan diri berkata: ”Sesungguh-nya kami adalah orang yang tidak percaya kepada apa yang kamu imani itu.” (QS. Al A’raaf, 7: 75-76)
Kaum Tsamud terus menyangsikan Allah dan kenabian Shalih. Lebih jauh, kelompok tertentu secara terang-terangan menyangkalnya. Seke-lompok di antara mereka yang menolak keimanan — menurut dugaan, dengan nama Allah — merencanakan untuk membunuh Shalih:
‘Mereka menjawab; “Kami mendapat nasib yang malang, disebabkan kamu dan orang-orang yang bersama kamu”. Shalih berkata: “Nasib-mu ada pada sisi Allah (bukan kami yang menjadi sebab), tetapi ka-mu yang diuji”. Dan adalah di kota itu sembilan orang laki-laki yang membuat kerusakan di muka bumi, dan mereka tidak berbuat kebaik-an. Mereka berkata: “Bersumpahlah kamu dengan nama Allah, bah-wa kita sungguh-sungguh akan menyerangnya dengan tiba-tiba ber-sama keluarganya di malam hari, kemudian kita katakan kepada warisnya (bahwa) kita tidak menyaksikan kematian keluarganya itu, dan sesungguhnya kita adalah orang-orang yang benar”. Dan mereka pun merencanakan makar dengan sesungguh-sungguhnya dan Kami merencanakan makar (pula), sedang mereka tidak menya-dari.” (QS. An-Naml, 27: 47-50) !
Untuk mengetahui apakah kaumnya akan mematuhi perintah Allah atau tidak, Shalih menunjukkan kepada mereka seekor unta betina sebagai ujian. Untuk mengetahui apakah mereka akan mematuhinya atau tidak, Shalih menyuruh kaumnya untuk berbagi air dengan unta betina tersebut dan tidak menyakitinya. Kaumnya menjawab dengan membunuh unta betina tersebut. Dalam surat Asy-Syu’araa’ kejadian tersebut disebutkan sebagai berikut:
 Tsamudd telah mendustakan rasul-rasul.
Ketika saudara mereka Shalih, berkata kepada mereka: “Mengapa kamu tidak bertakwa?
Sesungguhnya aku adalah seorang rasul kepercayaan (yang diutus) kepadamu,
maka bertakwalah kepada Allah dan taatlah kepadaku.
Dan aku sekali-kali tidak minta upah kepadamu atas ajakan itu, upahku tidak lain hanyalah dari Tuhan semesta alam.
Adakah kamu akan dibiarkan tinggal di sini (di negeri ini) dengan aman, di dalam kebun-kebun serta mata air,
dan tanaman-tanaman dan pohon-pohon kurma yang mayangnya lembut.
Dan kamu pahat sebagian dari gunung-gunung untuk dijadikan ru-mah-rumah dengan rajin;
maka bertakwalah kepada Allah dan taatlah kepadaku;
dan janganlah kamu menaati perintah orang-orang yang melewati batas,
yang membuat kerusakan di muka bumi dan tidak mengadakan perbaikan”.
Mereka berkata: ”Sesungguhnya kamu adalah seorang dari orang-orang yang terkena sihir;
kamu tidak lain melainkan seorang manusia seperti kami; maka da-tangkanlah sesuatu mukjizat jika kamu memang termasuk orang-orang yang benar”.
Shalih menjawab: ”Ini seekor unta betina, ia mempunyai giliran un-tuk mendapatkan air dan kamu mempunyai giliran pula untuk men-dapatkan air di hari tertentu.
Dan janganlah kamu sentuh unta betina itu dengan sesuatu keja-hatan, yang menyebabkan kamu akan ditimpa oleh azab hari yang besar.
Kemudian mereka membunuhnya, lalu mereka menyesal, maka me-reka ditimpakan azab.
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat bukti yang nyata. Dan adalah kebanyakan mereka tidak beriman.” (QS. Asy-Syu’araa’ , 26: 141-158) !
Perjuangan Nabi Shalih terhadap kaumnya dikisahkan sebagai beri-kut:
“Kaum Tsamud pun telah mendustakan ancaman-ancaman (itu).
Maka mereka berkata: “Bagaimana kita akan mengikuti saja, se-orang manusia (biasa) di antara kita? Sesungguhnya kalau kita begi-tu, benar-benar berada dalam keadaan sesat dan gila. Apakah wahyu itu diturunkan kepadanya di antara kita? Sebenarnya dia adalah seorang yang amat pendusta lagi sombong.“
Kelak mereka akan mengetahui siapakah sebenarnya yang amat pen-dusta lagi sombong. Sesungguhnya Kami akan mengirimkan unta betina sebagai cobaan bagi mereka, maka tunggulah (tindakan) mere-ka dan bersabarlah.
Dan beritakanlah kepada mereka bahwa sesungguhnya air itu terba-gi antara mereka (dengan unta betina itu); tiap-tiap giliran minum dihadiri (oleh yang punya gilirannya).
Maka mereka memanggil kawannya, lalu kawannya menangkap (unta itu) dan membunuhnya.” (QS. Al Qamar, 54: 23-29) !
Kenyataan bahwa mereka tidak dilaknat pada saat itu juga, semakin meningkatkan keangkaramurkaan kaum ini. Mereka menyerang Shalih, mengkritik, dan menuduhnya sebagai pendusta :
“Kemudian mereka sembelih unta betina itu, dan mereka berlaku angkuh terhadap perintah Tuhan. Dan mereka berkata: ”Wahai Sha-lih, datangkanlah apa yang kamu ancamkan itu kepada kami, jika (betul) kamu termasuk orang-orang yang diutus (Allah).” (QS. Al A’raaf, 7: 77) !
Allah melemahkan rencana dan tipu daya mereka, dan menyelamat-kan Shalih dari tangan-tangan yang ingin mencelakakannya. Setelah ke-jadian ini, karena Shalih merasa telah menyampaikan seruan kepada kaumnya dengan berbagai cara, dan tetap tak ada seorang pun yang mengindahkan nasihatnya, Shalih berkata kepada kaumnya bahwa mereka akan dihancurkan dalam waktu tiga hari:
“Mereka membunuh unta itu, maka berkatalah Shalih: ”Bersukaria kamu sekalian di rumahmu selama tiga hari, itu adalah janji yang tidak dapat didustakan.” (QS. Huud, 11: 65) !
Begitulah, tiga hari kemudian ancaman Shalih menjadi kenyataan dan kaum Tsamud dihancurkan.
“Dan satu suara yang keras yang mengguntur menimpa orang-orang yang zalim itu, lalu mereka mati bergelimpangan di tempat tinggal mereka, seolah-olah mereka belum pernah berdiam di tempat itu. Ingatlah, sesungguhnya kaum Tsamud mengingkari Tuhan mereka. Ingatlah, kebinasaan bagi kaum Tsamud.” (QS. Huud, 11: 67-68) !

Temuan Arkeologis dari Kaum Tsamud

Dari berbagai kaum yang disebutkan dalam Al Quran, Tsamud ada-lah kaum yang saat ini telah banyak diketahui keberadaannya. Sumber-sumber sejarah mengungkapkan bahwa sekelompok orang yang disebut dengan kaum Tsamud benar-benar pernah ada.
Penduduk Al Hijr yang disebutkan dalam Al Quran diperkirakan adalah orang-orang yang sama dengan kaum Tsamud. Nama lain dari Tsamud adalah Ashab Al Hijr. Jadi kata “Tsamud” merupakan nama kaum, sementara kota Al Hijr adalah salah satu dari beberapa kota yang dibangun oleh kaum tersebut.
Ahli geografi Yunani, Pliny sepakat dengan ini. Pliny menulis bahwa Domatha dan Hegra adalah lokasi tempat kaum Tsamud berada, dan kota Al Hegra inilah yang menjadi kota Al Hijr saat ini.29
Sumber tertua yang diketahui berkaitan dengan kaum Tsamud adalah tarikh kemenangan Raja Babilonia Sargon II (abad ke-8 SM) yang mengalahkan kaum ini dalam sebuah pertempuran di Arabia Selatan. Bangsa Yunani juga menyebut kaum ini sebagai “Tamudaei”, yakni, “Tsamud”, dalam tulisan Aristoteles, Ptolemeus, dan Pliny.30 Sebelum zaman Nabi Muhammad SAW, sekitar tahun 400-600 M , mereka benar-benar punah.
Dalam Al Quran, kaum ‘Ad dan Tsamud selalu disebutkan bersama-an. Lebih jauh lagi, ayat-ayat tersebut menasihati kaum Tsamud untuk mengambil pelajaran dari penghancuran kaum ‘Ad. Ini menunjukkan bahwa kaum Tsamud memiliki informasi detail tentang kaum ‘Ad.
“Dan (Kami telah mengutus) kepada kaum Tsamud saudara mereka Shalih. Ia berkata; ”Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tiada Tuhan bagimu selain-Nya. Sesungguhnya telah datang bukti yang nyata kepadamu dari Tuhanmu. Unta betina Allah ini menjadi tanda bagimu, maka biarkanlah ia makan di bumi Allah, dan janganlah kamu mengganggunya, dengan gangguan apa pun, maka kamu ditimpa siksaan yang pedih.
Dan ingatlah olehmu di waktu Tuhan menjadikan kamu peng-ganti-pengganti (yang berkuasa) sesudah kaum ‘Ad dan memberi-kan tempat bagimu di bumi. Kamu dirikan istana-istana di tanah-tanahnya yang datar dan kamu pahat gunung-gunungnya untuk dijadikan rumah, maka ingatlah nikmat-nikmat Allah dan jangan-lah kamu merajalela di muka bu-mi membuat kerusakan.” (QS. Al A’raaf, 7: 73-74) !
Sebagaimana dapat dipahami dari ayat ini, terdapat hubungan antara kaum ‘Ad dan kaum Tsamud, bahkan mungkin kaum ‘Ad pernah menjadi bagian dari sejarah dan budaya kaum Tsamud. Nabi Shalih memerintahkan untuk mengingat kejadian kaum ‘Ad dan mengambil peringatan dari me-reka.
Kaum ‘Ad ditunjukkan kepada contoh dari kaum Nabi Nuh yang per-nah hidup sebelum mereka. Sebagaimana kaum ‘Ad mempunyai kaitan penting untuk sejarah kaum Tsamud, kaum Nabi Nuh juga mempunyai kaitan penting untuk sejarah kaum ‘Ad. Kaum-kaum ini saling mengenal dan kemungkinan berasal dari garis keturunan yang sama.
Dari sini dapat disusun urutan kejadian yang diceritakan dalam Al Quran. Jika kita perkirakan kaum Tsamud muncul paling dulu di abad 8 SM, maka dapat ditarik sebuah kronologi. Yang terlebih dahulu dihan-curkan setelah kaum Nuh adalah kaum Luth, kemudian dalam masa Nabi Musa terjadi penenggelaman Fir’aun (kemungkinan besar Ramses II) dan tentaranya di Laut Merah. Berikutnya adalah dikirimkannya angin badai yang menghancurkan kaum ‘Ad dan terakhir adalah penghancuran ka-um Tsamud. Hukuman terhadap kaum Nabi Nuh adalah yang pertama terjadi. Bila urut-urutan ini dapat dipertimbangkan, maka tabelnya adalah sebagai berikut :
Tentu saja urut-urutan ini tidak bisa dikatakan sangat tepat, namun hal ini menghasilkan sebuah urutan, baik menurut penggambaran dalam Al Quran dan data-data sejarah.
Kita telah menyebutkan bahwa Al Quran menceritakan tentang ada-nya hubungan antara kaum ‘Ad dan Tsamud. Kaum Tsamud diingatkan untuk mengingat kejadian kaum ‘Ad serta mengambil pelajaran dari penghancuran mereka. Meskipun secara geografis kaum ‘Ad dan Tsa-mud sangat berjauhan dan sepertinya tidak berhubungan, namun dalam ayat yang ditujukan kepada kaum Tsamud dikatakan untuk mengingat kaum ‘Ad.
Jawabannya muncul setelah penyelidikan singkat dari berbagai sum-ber, bahwa memang terdapat hubungan yang sangat kuat antara kaum Tsamud dan kaum ‘Ad. Kaum Tsamud mengenal kaum ‘Ad karena ke-dua kaum ini sepertinya berasal dari asal usul yang sama. Britannica Micropaedia menuliskan tentang orang-orang ini dalam sebuah tulisan berjudul “Tsamud”:
Di Arabia Kuno, suku atau kelompok suku tampaknya telah memiliki keung-gulan sejak sekitar abad 4 SM sampai pertengahan awal abad 7 M. Meskipun kaum Tsamud mungkin berasal dari Arabia Selatan, sekelompok besar tam-paknya pindah ke utara pada masa-masa awal, secara tradisional berdiam di lereng gunung (jabal) Athlab. Penelitian arkeologi terakhir mengungkapkan sejumlah besar tulisan dan gambar-gambar batu tentang kaum Tsamud, tidak hanya di Jabal Athlab, tetapi juga di seluruh Arabia Tengah.31
Tulisan yang secara grafis mirip dengan abjad Smaitis (yang disebut Tsamudis) telah diketemukan mulai dari Arabia Selatan hingga ke Hijaz.32 Tulisan itu, yang pertama ditemukan di daerah Utara Yaman Tengah yang dikenal sebagai Tsamud, dibawa ke Utara dekat Rub’al Khali, ke selatan dekat Hadhramaut serta ke Barat dekat Shabwah.
Sebelumnya kita telah memahami bahwa kaum ‘Ad adalah seke-lompok orang yang hidup di Arabia Selatan. Ada kenyataan penting bah-wa banyak peninggalan kaum Tsamud ditemukan di daerah tempat ka-um ‘Ad pernah hidup, khususnya sekitar bangsa Hadhram, anak cucu ‘Ad, mendirikan ibu kotanya. Keadaan ini menjelaskan hubungan kaum ‘Ad dan Tsamud yang disebutkan dalam Al Quran. Hubungan tersebut diterangkan dalam perkataan Nabi Shalih ketika mengatakan bahwa kaum Tsamud datang untuk menggantikan kaum ‘Ad :
“Dan (Kami telah mengutus) kepada kaum Tsamud saudara mereka Shalih. Ia berkata; ”Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tiada Tuhan bagimu selain-Nya…. Dan ingatlah olehmu di waktu Tuhan menjadikan kamu pengganti-pengganti (yang berkuasa) sesudah kaum ‘Ad dan memberikan tempat bagimu di bumi.” (QS. Al A’raaf, 7: 73-74) !
Singkatnya, kaum Tsamud telah mendapat ganjaran atas pembang-kangan terhadap nabi mereka, dan dihancurkan. Bangunan-bangunan yang telah mereka bangun dan karya seni yang telah mereka buat tidak dapat melindungi mereka dari azab. Kaum Tsamud dihancurkan dengan azab yang mengerikan seperti halnya umat-umat lainnya yang meng-ingkari kebenaran, yang terdahulu maupun yang terkemudian.
Dari Al Quran diketahui bahwa kaum Tsamud adalah anak cucu dari kaum ‘Ad. Bersesuaian dengan ini, temuan-temuan arkeologis memperlihatkan bahwa akar dari kaum Tsamud yang hidup di utara Semenanjung Arabia, berasal dari selatan Arabia di mana kaum ‘Ad pernah hidup.
Dua ribu tahun silam, kaum Tsamud telah mendirikan sebuah kerajaan bersama bangsa Arab yang lain, yaitu kaum Nabatea. Saat ini di Lembah Rum yang juga disebut dengan Lembah Petra di Yordania, dapat dilihat berbagai contoh terbaik karya pahat batu kaum ini. Sebagaimana disebutkan dalam Al Quran, keunggulan kaum Tsamud adalah dalam pertukangan.
BAB V
KEJADIAN ALAMIYAH SEBAGAI BUKTI KEKUASAAN ALLAH SWT

Tafsir surah Al-Furqan :53
"Dan Dialah yang membiarkan dua laut mengalir (berdampingan) ; yang ini tawar lagi segar dan yang lain masin lagi pahit; dan Dia jadikan antara keduanya dinding dan batas yang menghalangi." (Q.S Al Furqan:53)

Jika Anda termasuk orang yang gemar menonton rancangan TV
`Discovery' pasti kenal Mr.Jacques Yves Costeau, ia seorang ahli oceanografer dan ahli selam terkemuka dari Perancis. Orang tua yang berambut putih ini sepanjang hidupnya menyelam ke perbagai dasar samudera di seantero dunia dan membuat filem dokumentari tentang keindahan alam dasar laut untuk ditonton di seluruh dunia.

Pada suatu hari ketika sedang melakukan eksplorasi di bawah laut, tiba-tiba ia menemui beberapa kumpulan mata air tawar-segar yang sangat sedap rasanya kerana tidak bercampur/tidak melebur dengan air laut yang masin di sekelilingnya, seolah-olah ada dinding atau membran yang membatasi keduanya.

Fenomena ganjil itu memeningkan Mr. Costeau dan mendorongnya untuk mencari penyebab terpisahnya air tawar dari air masin di tengah-tengah lautan. Ia mulai berfikir, jangan-jangan itu hanya halusinansi atau khalayan sewaktu menyelam. Waktu pun terus berlalu setelah kejadian tersebut, namun ia tak kunjung mendapatkan jawapan yang memuaskan tentang fenomena ganjil tersebut.

Sampai pada suatu hari ia bertemu dengan seorang profesor muslim, kemudian ia pun menceritakan fenomena ganjil itu. Profesor itu teringat pada ayat Al Quran tentang bertemunya dua lautan ( surat Ar-Rahman ayat 19-20) yang sering diidentikkan dengan Terusan Suez . Ayat itu berbunyi "Marajal bahraini yaltaqiyaan, bainahumaa barzakhun laa yabghiyaan.. ."Artinya: "Dia biarkan dua lautan bertemu, di antara keduanya ada batas yang tidak boleh ditembus." Kemudian dibacakan surat Al Furqan ayat 53 di atas.

Selain itu, dalam beberapa kitab tafsir, ayat tentang bertemunya dua lautan tapi tak bercampur airnya diertikan sebagai lokasi muara sungai, di mana terjadi pertemuan antara air tawar dari sungai dan air masin dari laut. Namun tafsir itu tidak menjelaskan ayat berikutnya dari surat Ar-Rahman ayat 22 yang berbunyi "Yakhruju minhuma lu'lu`u wal marjaan" ertinya "Keluar dari keduanya mutiara dan marjan." Padahal di muara sungai tidak
ditemukan mutiara.

Terpesonalah Mr. Costeau mendengar ayat-ayat Al Qur'an itu, melebihi kekagumannya melihat keajaiban pemandangan yang pernah dilihatnya di lautan yang dalam. Al Qur'an ini mustahil disusun oleh Muhammad yang hidup di abad ke tujuh, suatu zaman saat belum ada peralatan selam yang canggih untuk mencapai lokasi yang jauh terpencil di kedalaman samudera. Benar-benar suatu mukjizat, berita tentang fenomena ganjil 14 abad yang silam
akhirnya terbukti pada abad 20. Mr. Costeau pun berkata bahawa Al Qur'an memang sesungguhnya kitab suci yang berisi firman Allah, yang seluruh kandungannyamutlak benar. Dengan seketika dia pun memeluk Islam.

Allahu Akbar...! Mr. Costeau mendapat hidayah melalui fenomena teknologi kelautan. Maha Benar Allah yang Maha Agung. Shadaqallahu Al `Azhim.Rasulullah s.a.w. bersabda: "Sesungguhnya hati manusia akan berkarat sebagaimana besi yang dikaratkan oleh air." Bila seorang bertanya, "Apakah caranya untuk menjadikan hati-hati ini bersih kembali?" Rasulullah s.a.w. bersabda, "Selalulah ingat mati dan membaca Al Quran."

Jika anda seorang penyelam, maka anda harus mengunjungi  Cenote Angelita, Mexico. Disana ada sebuah gua. Jika anda menyelam sampai kedalaman 30 meter, airnya air segar (tawar), namun jika anda menyelam sampai kedalaman lebih dari 60 meter, airnya menjadi air asin, lalu anda dapat melihat sebuah "sungai" di dasarnya, lengkap dengan pohon dan daun daunan.
Setengah pengkaji mengatakan, itu bukanlah sungai biasa, itu adalah lapisan hidrogen sulfida, nampak seperti sungai... luar biasa bukan? Lihatlah betapa hebatnya ciptaan Allah SWT


















 BAB VI
BONUS :D
Langkah-langkah bedah AL-Quran secara intensif :
  • Membaca ayat demi ayat secara tartil, fasih dan sesuai dengan ilmu qira’ah dan atau ilmu tajwid.
  • Memahami arti kata per kata dan makna secara utuh setiap ayat yang dibaca.
  • Mengetahui sebab-sebab turun ayat (asbabun nuzul), jika ayat tersebut ada latar belakang turunnya.
  • Menafsirkan ayat-ayat tersebut dengan mengkaji maksud yang terkandung di dalamnya.
  • Mencari korelasi ayat yang sedang dibahas dengan ayat yang lain.
  • Mencari hadits-hadist Rasulullah untuk mendapatkan keterangan atau penjelasan yang lebih detil tentang ayat yang dibahas.
  • Menghayati dan meresapi makna, hikmah, hukum atau pesan-pesan (mau’idhah) yang terkandung di dalamnya.
  • Mengamalkan pesan-pesan ayat al-Qur’an dalam kehidupan individu, keluarga, dan kehidupan sosial.
Kalau kedelapan langkah di atas dapat kita terapkan dalam mengkaji al-Qur’an, maka kita akan mampu meraih predikat insan Qur’ani, yaitu manusia yang menjadikan al-Qur’an sebagai pedoman, sistem, dan hukum dalam setiap aspek kehidupan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

KUMPULAN JUDUL NOVEL DARI BERBAGAI ANGKATAN (20AN-2013)

Makalah Senam Lantai

Pidato Ketua Osis Dalam Peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW