MAKALAH BEDAH AL-QUR’AN SURAH : AL-FURQAN
MAKALAH
BEDAH
AL-QUR’AN
SURAH
: AL-FURQAN
D
I
S
U
S
U
N
OLEH
:
NAMA :
NANI CHAIRANI LESTARI LUBIS
PEMBIMBING
: MASLIANI BATUBARA S,ag
NIP : 197702272006042015
NIP : 197702272006042015
SMA
NEGERI 1 PLUS MATAULI PANDAN
Kata Pengantar
Puji syukur kehadirat Allah SWT, Tuhan Yang
Maha Esa. Bahwa saya masih diberikan nikmat sehat, sehingga saya dapat
menyelesaikan makalah ini yang membahas tentang “Surah AL-Furqan”
Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah,
selain untuk memenuhi tugas, juga untuk berbagi referensi tentang kandungan
Surah AL-Furqan.
Saya mengucapkan terimakasih kepada semua pihak
yang telah banyak membantu dan membimbing, khususnya kepada guru pembimbing
saya, sehingga saya dapat menyelesaikan makalah ini dengan lancar.
Saya menyadari bahwa,
makalah ini belum sempurna, maka dari itu kritik dan saran yang membangun
sangat saya harapkan untuk perbaikan pembuatan makalah selanjutnya.
Mudah-mudahan makalah sederhana ini bermanfaat bagi para pembaca. Terimaksih
Agustus 2014
Nani Chairani Lestari Lubis
PENDAHULUAN
1.
JUS :18
(1-20) dan 19 (21-77)
2.
JUMLAH
AYAT : 77 Ayat
3.
KATA
PUASA : Nothing~
4.
KATA
SHALAT : Nothing~
5.
KATA
HAJI : Nothing~
Surah Al-Furqan (Arab: الفرقان ,"Pembeda")
adalah surah ke-25 dari al-Qur'an. Surah ini terdiri atas 77 ayat
dan termasuk golongan surah-surah Makkiyah. Dinamai Al-Furqan yang artinya
pembeda, diambil dari kata al-Furqan yang terdapat pada ayat pertama
surah ini. Yang dimaksud dengan Al-Furqan dalam ayat ini ialah Al-Quran (lihat nama lain Al-Qur'an).
Al-Quran dinamakan Al-Furqan karena dia membedakan antara yang haq dengan yang
batil. Maka pada surat ini pun terdapat ayat-ayat yang membedakan antara
kebenaran ke-esaan Allah s.w.t. dengan kebatilan kepercayaan syirik.
BAB I
SURAH
AL-FURQAN
Dalam terjemahan Al-Qur’an bahasa Indonesia, Al-Furqan
diartikan sebagai pembeda; yang membedakan antara hak dan batil. Pada beberapa
buku tafsir dijelaskan bahwa Al-Furqan ini merupakan sifat yang mempunyai
potensi atau kemampuan membedakan sesuatu secara terperinci sehingga ia dapat
mengungkapkan dengan jelas rahasia yang tersembunyi di balik sesuatu itu. Kalau
boleh dikatakan, dia bukan saja mampu membedakan hal yang sudah jelas, misalnya
antara hitam dengan putih, tetapi dia mampu membedakan yang mirip atau samara
bagi ita, karena semuanya sudah terungkap dengan jelas dan terperinci sehingga
tidak ada satu pun yang tertinggal dan terabaikan.
Karena kemampuan yang sangat tinggi untuk memerinci
dan memperjelas inilah, Al-Furqan dijadikan Allah SWT sebagai bagian spesifik dan
tersendiri bagi suatu nubuwwah (kenabian). Dapat dikatakan bahwa Al-Furqan
merupakan senjata khusus para Nabi dan Rasul dalam mengungkap dengan jelas
makna risalah yang dititipkan Allah SWT pada mereka. Lebih khusus lagi, dengan
Al-Furqan ini pula para Nabi bisa mengungkap makna dan rahasia yang terkandung
dalam kitab suci yang diberikan Allah SWT kepada mereka.
Sebagaimana kita ketahui bersama, makna yang paling
benar (hakiki) dari ayat-ayat suatu kitab suci adalah makna yang ditafsirkan
sendiri oleh Rasul-Nya. Keyakinan seperti itu pun masih kita rasakan sekarang
ini ketika kita mencoba memahami ayat-ayat suci Al-Qur’an. Memang ada sebagian
ayat yang mudah dipahami. Begitu ia dibacakan, kita langsung dapat memahami
makna dan tujuan ayat tersebut. Tetapi ada pula ayat-ayat yang untuk
mendapatkan maknanya yang akurat dan pas, diperlukan suatu pemikiran dan
perenungan yang dalam, bahkan kadang-kadang dibantu oleh beberapa disiplin ilmu
tertentu untuk lebih memantapkan makna tersebut. Ada juga ayat-ayat yang memang
sangat sulit dan rumit, sehingga kita sendiri merasa tidak mampu untuk
mengungkapkannya dengan pas. Walaupun maknanya secara umum sudah didapatkan,
kita masih merasa tidak puas dengan makna tersebut, karena dalam hati kecil
kita, kita merasa yakins ekali bahwa ayat itu mempunyai makna yang sangat dalam
dan tidak sekedar apa yang tersurat.
Untuk menghilangkan ketidakpuasan ini, hati kita pun
akan terusik dan bertanya-tanya, bagaimana Rasulullah Saw menafsirkan ayat
tersebut. Semua ini menyadarkan kita bahwa untuk mendapatkan makna yang hakiki
dari suatu kitab suci tidaklah cukup hanya dengan mengandalkan nalar dan
intelektual saja, tetapi lebih dari itu, ia memerlukan perenungan yang sangat
dalam. Perenungan itu tidak bisa dilampaui manusia biasa, sekalipun ia seorang
professor. Manusia yang mampu melampaui perenungan itu adalah orang-orang yang
memiliki maqam yang sudah melampaui batas ambang tertentu., sampai ke tingkat
para Nabi yang memiliki nilai-nilai kesucian spiritual yang sangat tinggi. Merekalah
yang bisa menembus alam tempat para malaikat berkumpul sambil bersujud dan
bertasbih memuji kebesaran Penciptanya.
Dengan nilai spiritual inilah, kemampuan mengungkapkan
rahasia-rahasia kitab suci yang kita sebut Al-Furqan ini dapat dicapai. Al-Qur’an
mengungkapkannya dalam surat Al-Baqarah ayat 53: Dan ketika Kami (Allah)
berikan kepada Musa Al-Kitab dan Al-Furqan, semoga kamu mendapat petunjuk.
Kitab mengetahui bahwa kitab yang diberikan kepada
Nabi Musa as adalah kitab taurat. Dalam ayat ini dijelaskan bahwa kepada Nabi
Musa pun diberikan senjata Al-Furqan untuk mengungkapkan isi Taurat tersebut
secara benar dan dapat kita buktikan dengan melihat akhir ayat ini yang
diakhiri dengan kata semoga kamu dapat petunjuk. Hal ini menunjukkan
bahwa seorang Nabi atau Rasul memerlukan senjata Al-Furqan untuk mengungkapkan
risalahnya (yaitu kitab suci) secara benar dan hakiki.
Dalam ayat lain yang maknanya sejalan dengan ayat ini,
Al-Qur’an menyebutkan: Telah kami (Allah) berikan kepada Musa dan Harun
Al-Furqan. (QS. Al-Anbiya: 48). Kita mengetahui kedua Nabi ini diutus pada
waktu yang bersamaan dan kitab suci yang diturunkan ialah Taurat. Kita tahu
pula bahwa kitab suci itu diturunkan kepada Nabi Musa as, maka untuk itu tidak
perlu diturunkan kitab suci yang khusus bagi Nabi Harun as. Bagi Harun hanya
diberikan senjatanya saja dalam menafsirkan Taurat, yaitu Al-Furqan.
Ayat yang lebih spesifik lagi berkenaan dengan Nabi
Muhammad Saw, yaitu dalam ayat: Dia (Allah) turunkan kiepada engkau
(Muhammad Saw) Al-Kitab (Al-Qur’an) dengan haq yang membenarkan apa yang
terdahulu dan Dia menurunkan Taurat dan Injil sebelumnya sebagai petunjuk bagi
manusia dan Dia menurunkan Al-Furqan. (QS. Ali Imran: 3-4).
Dari penjelasan ayat-ayat ini dapat dilihat bagaimana
tingginya derajat Al-Furqan ini sehingga oleh Allah disejajarkan dengan figure
Nabi maupun nilai kitab suci. Dengan bergabungnya ketiga nilai ini (Nabi, Kitab
Suci, dan Al-Furqan), maka sempurnalah nilai suatu kenabian. Ketiga nilai ini,
kalau mau diperumpamakan, boleh jadi ia merupakan “jembatan” atau transmitterantara
alam manusia dengan alam malakut; alam dunia dengan alam gaib. Sesungguhnya
apabila umat manusia ingin diantarkan untuk mencapai kesempurnaan ibadahnya,
maka jembatan inilah yang akan membawa dengan selamat dalam perjalan kembali
menuju Allah SWT.
Yang menarik untuk didiskusikan lebih lanjut ialah;
ketika kita mengetahui bahwa sekarang kita hidup di zaman yang tidak akan
diutus lagi seorang Nabi pun –karena telah diakhiri masa kenabian Rasulullah
Saw dan tidak ada nubuwwah lagi, sebagaimana ditegaskan dalam Al-Qur’an, surat
Al-Ahzab ayat 40– maka permasalahan yang timbul ialah: Apakah jembatan
penghubung itu pun ikut terputus pula? Dengan perkataan lain, siapakah
nanti yang benar-benar mampu mengungkapkan rahasia di balik risalah terakhir
ini (Islam) atau siapakah yang mampu mengungkapkan makna yang hakiki dari apa
yang terkandung dalam kitab Al-Qur’an? Sebagai ilustrasi, tadi kita telah
menyatakan bahwa tafsiran yang paling benar dari ayat-ayat Al-Qur’an hanyalah
yang diungkapkan sendiri oleh Rasulullah Saw (karena adanya senjata Al-Furqan).
Sedangkan persoalannya sekarang ini kita hidup ketika Rasulullah Saw sudah
tidak ada lagi.
Dari pembahasan ini dapat disimpulkan bahwa Al-Furqan
merupakan kata kunci dalam pengungkapan semua ini. Dapat dikatakan dengan
senjata Al-Furqan ini, siapapun dapat mengungkapkan segala rahasia apapun yang
terkandung dalam risalah terakhir ini, baik yang terkandung dalam Al-Qur’an
maupun sunnah Rasulullah Saw itu sendiri.
Dengan kebijaksanaan Allah SWT dan keadilan-Nya,
walaupun tidak ada lagi pengutusan seorang Rasu, Allah tetap menurunkan
Al-Furqan ini sampai hari kiamat kepada orang-orang yang dikehendaki. Artinya,
tidak sembarang orang mendapatkan keistimewaan ini. Hanya orang-orang tertentu
yang maqamnya sudah mencapai tingkat para nabilah yang mampu. Orang-orang ini
dikenal dalam Islam dengan manusia-manusia sica atau wali-wali Allah yang
disebut dengan manusia “takwa” sebagaimana yang dinyatakan Al-Qur’an: Sesungguhnya
wali-wali Allah tidaklah mereka itu merasa takut dan tidak pula mereka itu
bersedih, (yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka itu bertakwa. (QS.
Yunus: 62-63).
Manusia takwa inilah yang berhak mendapatkan
keistimewaan menerima Al-Furqan. Allah menjelaskan dalam Al-Qur’an: Hai
orang yang beriman, jikalau kamu bertakwa kepada Allah, (Dia) akan menjadikan
untuk kamu Al-Furqan. (QS. Al-Anfa: 29).
BAB
II
KANDUNGAN
ISI SURAH AL-FURQAN SECARA GARIS BESAR
1. Tentang
Keimanan
Ø Allah
Maha Besar berkah dan kebaikan-Nya
Ø Hanya
Allah saja yang menguasai langit dan bumi
Ø Allah
tidak punya anak dan sekutu
Ø Al-Quran
benar-benar diturunkan dari Allah
Ø Ilmu
Allah meliputi segala sesuatu
Ø Allah
bersemayam di atas Arsy
Ø Nabi
Muhammad
adalah hamba Allah yang diutus ke seluruh alam
Ø Rasul
itu adalah manusia biasa yang mendapat wahyu dari Allah
Ø Pada
hari kiamat akan terjadi peristiwa-peristiwa luar biasa seperti terbelahnya
langit
Ø Turunnya
malaikat
ke bumI
Ø Orang-orang
berdosa dihalau ke neraka dengan berjalan atas muka mereka
.
2. Tentang
Hukum-hukum
Ø Tidak
boleh mengabaikan Al-Quran
Ø Larangan
menafkahkan harta secara boros atau kikir
Ø Larangan
membunuh atau berzina
Ø Kewajiban
memberantas kekafiran dengan mempergunakan alasan Al-Quran
Ø Larangan
memberikan saksi palsu.
Ø Sifat-sifat yang wajib dimiliki kaum muslim, tawadhu,
selalu mengucapkan kata-kata yang baik, senantiasa shalat sunnah tahajjud
setiap malam, takut akan siksa Allah swt, sederhana di dalam berinfaq, tidak
syirik, menjauhkan diri dari perbuatan pembunuhan yang diharamkan Allah swt,
tidak berzina, tidak bersaksi palsu, senang menerima nasihat baik, senantiasa
berdoa dan bermunajat pada Allah swt.
3. Tentang
Kisah-kisah
Ø Kisah
Nabi Musa
Ø Nabi
Nuh
Ø Kisah
kaum Tsamud
dan Kaum Syu'aib.
BAB III
Surah Al-Furqan: 63-70
Terjemahan:
25- 63:
Dan hamba-hamba al-Rahman (Yang Maha Mengasihani) itu (ialah) orang yang
berjalan di atas bumi dengan rendah hati, dan apabila orang jahil menegur
mereka, maka mereka mengucapkan kata-kata “salam”. 25- 64: Dan orang yang bermalam dengan bersujud dan berdiri kepada Rab (Tuhan) mereka.
25- 65: Dan orang yang berkata: "Rabbana (wahai Tuhan kami)! Jauhkanlah azab Jahanam daripada kami, sesungguhnya azabnya sangat mengerikan.”
25- 66: Sesungguhnya ia (Jahanam itu) seburuk-buruk tempat menetap dan tempat kediaman.
25- 67: Dan orang yang apabila membelanjakan, mereka tidak berlebih-lebihan, dan tidak (pula) bakhil, melainkan di tengah-tengah antara yang demikian.
25- 68: Dan orang yang tidak mempertuhankan yang lain beserta Allah, dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah, kecuali dengan hak, dan tidak berzina. Dan sesiapa yang melakukan demikian itu, nescaya dia mendapat dosa.
25- 69: Akan dilipat gandakan azab untuknya pada hari kiamat, dan dia akan kekal dalamnya, dalam keadaan terhina.
25- 70: Kecuali orang yang bertaubat, beriman dan beramal salih; maka mereka itulah akan diganti oleh Allah kejahatannya dengan kebajikan. Dan Allah adalah al-Ghafur (Maha Pengampun), lagi al-Rahim (Maha Mengasihani).
25- 71: Dan sesiapa yang bertaubat dan beramal salih, maka sesungguhnya dia bertaubat kepada Allah dengan taubat yang sebenar-benarnya.
25- 72: Dan orang yang tidak memberikan persaksian palsu, dan apabila mereka melalui perkara yang sia-sia, mereka lalui (sahaja) dengan (sikap yang) mulia.
25- 73: Dan orang yang apabila diberi peringatan dengan ayat-ayat Rab (Tuhan) mereka, tidaklah mereka tunduk kepadanya sebagai orang yang pekak dan buta.
25- 74: Dan orang yang berkata: "Rabbana (wahai Tuhan kami)! Anugerahkanlah kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyejuk mata (kami), dan jadikanlah kami imam (pemimpin) bagi orang yang bertakwa.”
25- 75: Mereka itulah orang yang dibalaskan dengan martabat yang tinggi kerana kesabaran mereka, dan mereka disambut dengan penghormatan dan ucapan “salam” di dalamnya (syurga).
25- 76: Mereka kekal di dalamnya. Itulah sebaik-baik tempat menetap dan tempat kediaman.
25- 77: Katakanlah: "Rab (Tuhan)ku tidak memperdulikan kamu, melainkan jika ada ibadah kamu, (tetapi bagaimana ada ibadah kamu), sedangkan kamu mendustakan? Justeru, pastilah (kamu) kelak (mendapat azab).”
Tafsir AL-Furqon: 63-70
Ayat-ayat ini menjelaskan bahwa ada 11 sifat
yang dimiliki orang yang beriman. Yang mana, bagi orang beriman yang memiliki
11 sifat tersebut akan memperoleh gelar ‘ibadurrahman’ (hamba-hamba yang
mendapatkan rahmat paling besar disisi Allah). Derajat-derajat paling istimewa
yang diperoleh di surga kelak. Dan orang-orang tersebut harus melaksanakan
kewajiban yang diwajibkan oleh Allah, jika tidak maka orang tersebut akan
mendapatkan siksa yang amat pedih dan sebaliknya.
Kesebelas sifat tersebut adalah:
- Sederhana dalam berinfaq
- Tawadhu
- Selalu mengucapkan ucapan yang baik
- Orang yang selalu sholat malam
- Merasa takut siksa Allah
- Menjauh dari sifat syirik
- Menjauhi yang Diharamkan Allah
- Tidak berbuat zina
- Menjauhkan diri dari saksi palsu
- Senang menerima nasehat baik
- Senantiasa berdoa
Pada Surah
Al-Furqan ayat 63-77 menggambarkan, bahwa ada sebelas sifat yang dimiliki oleh
orang-orang yang beriman. Menurut Allah, orang-orang beriman yang memiliki
sebelas sifat tersebut memperoleh gelar ibadurrahman, yaitu hamba-hamba
Allah yang akan mendapatkan rahmat yang paling besar di sisi Allah SWT.
Rahmat-rahmat Allah yang paling besar tersebut yaitu kedudukan atau
derajat-derajat yang paling tinggi yang diperoleh oleh mereka di surga kelak.
Orang-orang
yang beriman itu harus melaksanakan seluruh kewajiban yang diwajibkan oleh
Allah kepada mereka. Apabila mereka melalaikan kewajiban-kewajiban tersebut,
maka mereka akan mendapatkan siksaan yang amat pedih dari Allah SWT.
Sebaliknya, apabila mereka menunaikan kewajiban-kewajiban yang diberikan tersebut,
maka mereka akan mendapatkan ganjaran pahala yang berlipat ganda dari Allah
SWT.
Sifat-sifat
yang dikemukakan di sini adalah sifat-sifat yang dimiliki oleh orang-orang yang
beriman setelah menunaikan berbagai kewajiban yang diwajibkan kepada mereka.
Seperti yang termaktub pada Surah al-Furqaan ayat 63-77, sebelas sifat yang
dimaksud tersebut adalah:
Pertama, sifat tawadhu’.
Tawadhu’ adalah lawan
dari sifat takabbur. Tawadhu’ adalah sifat yang selalu merendah,
merupakan sifat yang sangat disukai oleh Allah. Jika orang yang memiliki sifat
ini adalah orang yang sangat disukai oleh Allah, maka orang yang memiliki sifat
takabbur adalah orang yang sangat dibenci oleh Allah SWT. Di dalam suatu hadits
disebutkan, jika ada seseorang yang di dalam dirinya terdapat sifat sombong
walaupun hanya sebesar biji zarrah (biji sawi), maka Allah akan
mengharamkan surga baginya.
Takabbur adalah
orang yang menganggap dirinya besar, padahal dia tidak besar. Orang yang
mengaku memiliki banyak hal, tapi sebenarnya ia tidak memiliki apa-apa. Padahal
kata Allah, bahwa apa yang mereka miliki itu tidak ada maknanya sedikitpun.
Karena itulah, mereka menambahkan sifat di dalam dirinya dengan apa yang tidak
mereka miliki. Untuk menjadikan diri kita tawadhu’ adalah dengan berpandangan
bahwa apa yang kita miliki tidak ada arti apa-apa dibandingkan dengan yang
dimiliki oleh Allah SWT.
Sifat sombong
adalah sifat yang merupakan fitrah yang diberikan Allah kepada setiap manusia.
Tidak ada seorangpun yang tidak memiliki sifat sombong. Hanya saja, ada orang
yang membiarkan kesombongannya menjadi subur, dan ada juga yang bisa menahan
kesombongannya, sehingga kesombongannya tidak pernah muncul.
Firman Allah
pada Surah Al-Furqaan ayat 63:
Dan hamba-hamba Tuhan Yang Maha Penyayang itu (ialah)
orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila
orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata yang baik. (Q.S.
Al-Furqaan: 63)
Pada ayat
tersebut dengan jelas menyebutkan, bahwa ‘ibaadurrahman itu adalah
mereka yang berjalan di muka bumi ini dalam keadaan tawadhu’, dalam keadaan
tunduk, dalam keadaan merasa bahwa dirinya adalah makhluk yang sangat kecil,
tak mempunyai kekayaan apapun, tak memiliki ilmu apapun, walaupun orang lain
memandang bahwa dirinya adalah orang yang berilmu, orang yang kaya, ataupun
orang yang memegang jabatan tinggi.
Pertanyaannya,
mampukah kita bersikap tawadhu’? Harus diingat, bahwa sikap takabbur itu
akan muncul kapanpun dan di manapun. Jika kita tidak berhati-hati, maka sikap
tersebut akan menjadi subur, akan berkembang dengan sendirinya karena kondisi
dan keadaan di mana kita hidup. Karena itulah, menurut Rasulullah, sombong
terhadap orang yang sombong itu adalah sebuah kebajikan sedekah. Mengapa?
Karena kalau kita menahan kesombongan seseorang, sebenarnya kita mendekatkan
orang tersebut kepada surga. Karena, jika ada kesombongan di dalam hati
seseorang, maka diharamkan kepadanya untuk mendapatkan surga. Jika kita sombong
terhadap orang yang sombong sehingga orang tersebut menjadi tidak sombong, maka
sebenarnya kita telah menjauhkannya dari neraka dan mendekatkannya kepada
surga.
Kedua, selalu
mengucapkan ucapan-ucapan yang baik (al-kalamuth thayyib).
Maksudnya
adalah, bahwa orang tersebut senantiasa mengucapkan kalimat-kalimat yang baik,
walaupun orang lain selalu mengejeknya dengan kalimat-kalimat yang tidak
mengenakkan. Artinya, bahwa ‘ibaadurrahman adalah orang-orang yang
senantiasa mengeluarkan ucapan-ucapan yang baik, senantiasa bersikap dengan
sikap yang baik, senantiasa menimbulkan kebajikan-kebajiikan walaupun di tengah
orang-orang yang tidak mau berbuat kebajikan kepadanya.
Biasanya, jika
mendengar ada orang yang mengejek kita, maka kita akan membalasnya dengan
ucapan-ucapan yang lebih kasar dibandingkan orang yang mengejek kita tersebut.
Kalau ada yang memaki kita, maka kita akan membalasnya lebih dari satu kali
makian. Jika ada orang yang berbuat jahat kepada kita sebanyak sekali, maka
kita akan membalasnya lebih dari sekali. Itulah fitrah manusia.
Dalam ayat ini
disebutkan, bahwa jika ada orang-orang yang bodoh yang menyapa dia, kalau ada
orang-orang yang mengejek dia dengan kalimat-kalimat yang tidak mengenakkan
baginya, maka dia akan menyampaikan kalimat-kalimat yang baik kepada orang yang
mengejeknya itu. Tapi secara fitri, hal ini tak mudah untuk dilakukan. Malahan
sebaliknya, seringkali perbuatan kebajikan dibalas dengan kejahatan (air susu
dibalas dengan air tuba).
Rasulullah
menyatakan, bahwa orang yang paling baik akhlaknya adalah orang-orang yang
apabila diputuskan hubungan silaturahmi, maka ia tidak akan memutuskan hubungan
tersebut. Misalkan: ada orang yang tidak mau datang ke rumah kita, tapi kita
tetap mendatangi rumah orang tersebut. Hal ini tak mudah untuk dilakukan,
karena biasanya jika ada orang yang tidak mau datang ke rumah kita, maka kita
akan semakin menjauhi orang tersebut.
Rasulullah juga
menyatakan, bahwa orang yang paling baik akhlaknya adalah orang yang suka
memberi kepada orang yang tidak mau memberi kepadanya.
Ketiga, yaitu orang
beriman yang suka tahajjud di malam hari.
Firman Allah
pada Al-Furqaan ayat 64:
Dan orang yang melalui malam hari dengan bersujud dan
berdiri untuk Tuhan mereka.
(Q.S. Al-Furqaan: 64)
Bangun di malam
hari setelah tidur, untuk kemudian melakukan shalat tahajjud bukanlah hal yang
mudah dilakukan. Tetapi apabila kita membiasakan diri, maka secara otomatis
pada saatnya kita akan terbangun, sehingga hal seperti ini mudah saja untuk
dilakukan. Mengapa tahajjud ini penting? Karena jika ibadah dilakukan di tempat
yang sepi, maka konsentrasi kita akan lebih terpusat, dibandingkan ibadah di
tengah keramaian.
Menurut
pandangan para ulama, shalat tahajjud merupakan shalat sunnat muakkad,
yaitu shalat sunnat yang senantiasa dilakukan oleh Rasulullah. Shalat sunnat
tahajjud biasa dilakukan paling tidak dua raka’at, umumnya dilakukan delapan
raka’at, ditambah dengan witir tiga raka’at. Begitu besar pahala yang
didapatkan oleh orang-orang yang senantiasa melaksanakan shalat tahajjud,
karena tidak banyak orang yang mampu melakukan shalat tahajjud itu pada setiap malamnya.
Keempat, yaitu merasa
takut akan siksa Allah SWT.
Firman Allah
pada Al-Furqan ayat 65-66:
(65) Dan orang-orang yang berkata: “Ya Tuhan kami,
jauhkan azab Jahannam dari kami, sesungguhnya azabnya itu adalah kebinasaan
yang kekal“.
(66) Sesungguhnya Jahannam itu seburuk-buruk tempat
menetap dan tempat kediaman.
(Q.S. Al-Furqaan: 65-66)
Orang yang
senantiasa takut terhadap azab Allah, maka akan menyebabkannya selalu mematuhi
dan mentaati perintah-perintah Allah dan senantiasa meninggalkan segala yang
dilarang oleh Allah SWT. Di dalam Al-Qur’an digambarkan, bahwa di saat
menghadapi sakaratul maut, maka bagi mereka yang belum memiliki persiapan
menghadapi alam kubur dan alam akhirat itu lalu meminta kepada Allah untuk
menunda kematiannya, karena mereka belum banyak melakukan ibadah kepada Allah.
Lalu Allah menjawab, “Apabila ajal mendatangi seseorang, maka ajal tersebut tak
bisa diundur dan tidak juga bisa dipercepat.”
Jika kita
selalu mengingat akan azab Allah, maka pada saat itulah keinginan kita akan
muncul untuk melakukan ibadah kepada-Nya. Patut diingat, bahwa azab yang kita
terima tak pernah ada habisnya. Dimulai pada saat kita menjalani sakaratul
maut, kemudian berlanjut ketika berada di dalam kubur. Kemudian terus berlanjut
hingga ketika dibangkitkan dan dikumpulkan di padang mahsyar. Menurut riwayat,
bahwa di padang mahsyar nanti matahari itu sejengkal di atas kepala, dan
manusia pada saat itu kondisinya berbeda-beda. Ada yang selalu merasa dingin
dan sejuk, walaupun matahari berada di atas kepalanya. Ada juga yang merasa
badannya terbakar, karena dibakar oleh matahari.
Pendeknya,
ketika di padang mahsyar, maka manusia sudah merasakan alam atau suasana yang
berbeda sesuai dengan amal kebajikannya. Bagi yang mendapatkan siksaan, maka
siksaan tersebut akan terus berlanjut. Ketika berada di dalam neraka, siksaan
tersebut takkan pernah ada habisnya. Setelah kulitnya terbakar oleh api neraka,
kemudian kulit tersebut diganti lagi dengan yang baru. Setelah itu dibakar
lagi, kemudian diganti lagi, dan begitu seterusnya tak pernah berhenti.
Seorang muslim
yang baik yang akan mendapatkan derajat yang tinggi di akhirat nanti adalah
mereka yang senantiasa ada di dalam dirinya itu rasa takut terhadap siksaan
Allah SWT. Dan karena rasa takut akan siksaan Allah itulah, maka kita akan
menjadi orang yang senantiasa patuh terhadap perintah-Nya.
Kelima, yaitu
sederhana (moderat) di dalam berinfaq.
Firman Allah
pada Al-Furqan ayat 67:
Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta),
mereka tidak berlebih-lebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan
itu) di tengah-tengah antara yang demikian. (Q.S. Al-Furqan: 67)
Pada ayat di
atas dengan jelas menyebutkan, apabila manusia atau orang yang beriman yang
ingin membelanjakan sesuatu, maka ketika membelanjakan tersebut dia tidak boleh
terlalu boros, dan juga tidak boleh terlalu kikir.
Di dalam ayat
lain Allah menyebutkan:
Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat
akan haknya, kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan; dan janganlah
kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros.
(Q.S. Al-Israa': 26)
Jadi, tidak
boleh ada sikap boros, dan tidak boleh juga kikir, melainkan berada di
tengah-tengah (moderat). Kalau kita berbelanja, maka belanjalah sesuai dengan
keperluan. Kalau bersedekah, jangan sampai memberikan sedekah terlalu banyak.
Hanya karena bangga dengan pahala bersedekah sehingga kita bersedekah terlalu
banyak, sedangkan kita lupa akan kebutuhan kita sendiri.
Allah juga
mengingatkan, bahwa orang-orang yang bersifat boros itu adalah
saudara-saudaranya syaitan, seperti yang termaktub pada Surah Al-Israa’ ayat 27
berikut ini:
Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah
saudara-saudara syaitan dan syaitan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya. (Q.S.
Al-Israa': 27)
Tetapi jangan
juga karena mengingat akan kebutuhan kita, lalu kita tidak mau mengeluarkan apa
yang kita miliki, hingga zakat sekalipun tidak mau dikeluarkan. Itulah orang
yang kikir sebenarnya. Dalam hal ini, kita harus bersikap moderat, tidak kikir
dan tidak juga boros, namun berada di antara keduanya (moderat).
Pada Surah
Al-Israa’ ayat 29 juga disebutkan:
Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada
lehermu dan janganlah kamu terlalu mengulurkannya karena itu kamu menjadi
tercela dan menyesal.
(Q.S. Al-Israa': 29)
Jadi, jangan
juga kita membelanjakan sesuatu sampai habis, dan jangan pula kita enggan
membelanjakan apa yang ada pada diri kita. Hal ini tak mudah dilaksanakan,
karena pada umumnya manusia itu bersifat konsumtif. Sifat konsumtif yang tak
bisa ditahan yang kemudian menjadi-jadi, itulah yang disebut pemborosan. Tapi
kalau menahannya juga menjadi-jadi, itulah yang dinamakan kikir. Di dalam
hadits Nabi juga disebutkan, bahwa: “Urusan yang terbaik adalah urusan yang di
tengah-tengah.”
Keenam, menjauhkan
diri dari sifat syirik.
(68) Dan orang-orang yang tidak menyembah tuhan
yang lain beserta Allah dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah
(membunuhnya) kecuali dengan (alasan) yang benar, dan tidak berzina,
barangsiapa yang melakukan demikian itu, niscaya dia mendapat (pembalasan) dosa
(nya).
(69) (yakni) akan dilipat gandakan azab untuknya
pada hari kiamat dan dia akan kekal dalam azab itu, dalam keadaan terhina.
(70) kecuali orang-orang yang bertaubat, beriman
dan mengerjakan amal saleh; maka kejahatan mereka diganti Allah dengan
kebajikan. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
(71) Dan orang yang bertaubat dan mengerjakan amal
saleh, maka sesungguhnya dia bertaubat kepada Allah dengan taubat yang
sebenar-benarnya.
(Q.S. Al-Furqan: 68-71)
Syirik itu pada
hakikatnya adalah sifat yang senantiasa menyekutukan Allah. Seseorang yang
menganggap bahwa selain Allah itu ada tuhan yang lain lagi, maka dapat
dikategorikan sebagai syirik. Kalau seseorang melakukan penyembahan
terhadap Allah, tapi dalam suasana yang lain dia juga melakukan penyembahan
terhadap yang selain Allah, maka itu juga dapat disebut sebagai syirik.
Menurut ulama, syirik yang seperti ini dinamakan syirik akbar
(syirik besar). Syirik akbar adalah syirik yang berupa
menyekutukan Allah SWT dengan sembahan atau penyembahan yang selain dari Allah.
Kemudian ada
juga yang dinamakan syirik asghar (syirik kecil). Menurut para ulama, syirik
asghar salah satunya adalah riya’. Mengapa? Karena ketika beribadah,
yang ia harapkan bukanlah keridhaan Allah, tetapi karena sesuatu yang selain
dari Allah. Ibadah yang dilakukannya bukanlah diniatkan untuk Allah, tetapi
karena yang selain Allah. Kalau ada seseorang yang melakukan shalat bukan
karena Allah, tetapi karena yang lain, maka inilah yang disebut sebagai syirik
asghar.
Berkaitan
dengan syirik akbar, di dalam Al-Qur’an Allah menyebutkan, bahwa mereka
yang syirik itu apabila mati, maka dosa karena syiriknya tersebut tidak akan
diampuni oleh Allah SWT. Dosa tersebut takkan pernah diampunkan oleh Allah,
jika saat ia meninggal dunia tak pernah memohon ampun kepada Allah atas
dosa-dosa syiriknya itu. Karena itu, banyak sekali hal-hal yang menjauhkan
seseorang dari surga, salah satu di antaranya adalah syirik.
Di dalam
Al-Qur’an disebutkan:
Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik,
dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang
dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah
berbuat dosa yang besar. (Q.S. An-Nisaa: 48)
Ketujuh, menjauhkan
diri dari melakukan perbuatan membunuh yang diharamkan oleh Allah SWT.
Seperti yang
termaktub pada Surah Al-Furqan ayat 68, bahwa selain syirik, melakukan
pembunuhan terhadap orang lain juga merupakan perbuatan dosa besar. Berkaitan
dengan ini, ada juga orang yang melakukan pembunuhan, tetapi pembunuhan itu
atas perintah hukum. Pembunuhan jenis ini tidak dikategorikan sebagai
pembunuhan yang dilarang oleh Allah. Misalnya, ada seseorang yang melakukan
pembunuhan terhadap orang lain, lalu dia itu diadili oleh hakim, dan hakim
memutuskan bahwa dia akan juga dibunuh dengan hukum qishash. Maka mereka
yang melakukan eksekusi hukuman mati terhadap orang yang dikenai hukum qishash
tersebut tidaklah dikategorikan dalam rangka membunuh sesuatu yang diharamkan
oleh Allah SWT, karena eksekusi hukuman mati tersebut berdasarkan perintah hukum.
Dalam kaitan
dengan hukum qishash ini, ada ketentuan-ketentuan tertentu yang berlaku.
Misalnya: dalam sebuah negara, jika negara memutuskan berdasarkan keputusan
pengadilan bahwa si A akan dihukum qishash, maka itu tidak dianggap
sebagai pembunuhan yang dilarang oleh Allah. Tetapi jika ada sekelompok orang
di dalam sebuah negara yang mereka (orang-orang itu) memberlakukan hukuman qishash
kepada seseorang tanpa adanya keputusan pengadilan yang sah, maka hal ini
dikategorikan bukanlah pelaksanaan hukuman qishash yang sesuai dengan
tuntunan syari’ah. Karena itu, bagi mereka yang memberlakukan pembunuhan
seperti ini, maka mereka telah melakukan pembunuhan terhadap jiwa yang
diharamkan oleh Allah untuk dibunuh.
Berkaitan
dengan ini, Allah mengingatkan, bahwa barangsiapa yang membunuh seseorang, maka
seolah-olah dia itu telah membunuh semua manusia, seperti termaktub pada ayat
berikut ini:
Oleh karena itu Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani
Israil, bahwa: barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang
itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi,
maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barangsiapa yang
memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara
kehidupan manusia semuanya. Dan sesungguhnya telah datang kepada mereka
rasul-rasul Kami dengan (membawa) keterangan-keterangan yang jelas, kemudian
banyak di antara mereka sesudah itu sungguh-sungguh melampaui batas dalam
berbuat kerusakan di muka bumi. (Q.S. Al-Maidah: 32)
Kedelapan, menjauhkan
diri dari perbuatan berzina.
Seperti yang
termaktub pada Surah Al-Furqan ayat 68, bahwa selain syirik dan membunuh,
melakukan perzinahan juga merupakan perbuatan dosa besar. Karena itu, bagi
pelakunya akan diberikan siksaan yang berlipat ganda oleh Allah di akhirat
nanti, seperti yang termaktub pada Surah Al-Furqaan ayat 69: (yakni) akan
dilipat gandakan azab untuknya pada hari kiamat dan dia akan kekal dalam azab
itu, dalam keadaan terhina.
Tetapi pada
Surah Al-Furqaan ayat 70 dan 71 memberikan kabar gembira kepada kita: [70] kecuali
orang-orang yang bertaubat, beriman dan mengerjakan amal saleh; maka kejahatan
mereka diganti Allah dengan kebajikan. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang. [71] Dan orang
yang bertaubat dan mengerjakan amal saleh, maka sesungguhnya dia bertaubat
kepada Allah dengan taubat yang sebenar-benarnya. (Q.S. Al-Furqan: 70-71)
Yang dimaksud
pada ayat tersebut, jika sudah pernah terjadi hal-hal yang seperti itu (syirik,
pembunuhan, dan zina), maka Allah membukakan pintu taubat, lalu bertaubatlah
kepada Allah. Tapi pernyataan ini jangan dipelintir. Kalau begitu syirik dulu,
baru kemudian bertaubat, karena Allah pasti akan mengampuni. Kalau begitu
membunuh dulu, nantikan Allah akan membukakan pintu taubat. Kalau begitu
berzinah dulu, nanti malam shalat lail kemudian berdo’a, minta ampun dan
bertaubat, maka Allah akan mengampuni. Tentunya bukan ini sebenarnya yang
dimaksud.
Itulah
sebabnya, bagi manusia yang bersalah, apabila dia bertaubat, maka kesalahannya
itu akan dihapuskan oleh Allah SWT. Setelah dosa dan kesalahannya dihapuskan
oleh Allah SWT, maka kalau bertaubat lagi, maka akan ada tumpukan pahala dari
taubatnya yang akan diberikan oleh Allah. Jika ia bertaubat lagi, sedangkan
dosanya sudah tidak ada lagi, maka pahala bertaubatnya akan ditambahkan lagi
oleh Allah SWT. Karena itulah, tindakan bertaubat dan beristighfar itu tidak
hanya dilakukan setelah kita melakukan perbuatan-perbuatan dosa, tetapi kalau
memungkinkan di sepanjang kehidupan kita selalulah kita bertaubat.
Perbuatan zina
adalah perbuatan dosa besar yang menurut Rasulullah, bahwa orang yang berzina
itu tidak layak kalau diundang untuk menghadiri sebuah majelis. Ini merupakan
siksaan sosial.
Kesembilan, menjauhkan
diri dari bersaksi palsu.
Dan orang-orang yang tidak memberikan persaksian
palsu, dan apabila mereka bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan
perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, mereka lalui (saja) dengan menjaga
kehormatan dirinya. (Q.S. Al-Furqaan: 72)
Saksi palsu
bisa muncul kapan saja. Hal ini biasanya terjadi apabila dengan menjadi saksi
palsu itu maka akan mendapatkan keuntungan. Sekarang ini banyak sekali terjadi
orang yang memberikan kesaksian palsu. Misalkan: sebenarnya kasus tersebut
seharusnya dimenangkan oleh pihak A, tapi hakim kemudian memberikan kemenangan
kepada pihak B, karena semua saksi memberatkan pihak A. Dalam hal ini, mereka
yang menjadi saksi palsu itu sudah melakukan dosa besar. Menjadi saksi palsu
itu membahayakan kemaslahatan di dalam masyarakat.
Kesepuluh, senang
menerima nasehat yang baik.
Dikatakan oleh
Al-Qur’an:
Dan orang-orang yang apabila diberi peringatan dengan
ayat-ayat Tuhan mereka, mereka tidaklah menghadapinya sebagai orang-orang yang
tuli dan buta. (Q.S. Al-Furqaan: 73)
Jadi, orang
yang termasuk kategori orang beriman yang mendapat gelar ‘ibaadurrahman
itu adalah orang yang senantiasa menerima nasehat-nasehat yang baik yang
diberikan oleh orang lain, orang yang senantiasa mendapatkan pengajaran dan
pelajaran dari orang-orang yang memberikan pelajaran-pelajaran yang baik.
Termasuk di dalam hal ini adalah orang yang senang mencari ilmu adalah orang
yang senang menerima nasehat.
Kesebelas, senantiasa
berdo’a dan bermunajjat kepada Allah.
Dan orang-orang yang berkata: “Ya Tuhan kami,
anugerahkanlah kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai
penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa. (Q.S. Al-Furqaan: 74)
Bukan hanya
berdoa untuk dirinya, juga berdoa untuk keluarganya, untuk anak cucunya agar
menjadi orang-orang yang baik dan orang-orang yang shaleh di belakang hari.
Orang-orang yang seperti ini dikatakan oleh Al-Qur’an adalah orang-orang yang
akan mendapatkan ganjaran yang paling tinggi di surga nanti yang akan diberikan
oleh Allah SWT, seperti termaktub pada Surah Al-Furqaan ayat 75-77:
(75) Mereka itulah orang yang dibalasi dengan
martabat yang tinggi (dalam surga) karena kesabaran mereka dan mereka disambut
dengan penghormatan dan ucapan selamat di dalamnya,
(76) mereka kekal di dalamnya. Surga itu
sebaik-baik tempat menetap dan tempat kediaman.
(77) Katakanlah (kepada orang-orang musyrik):
“Tuhanku tidak mengindahkan kamu, melainkan kalau ada ibadatmu. (Tetapi
bagaimana kamu beribadat kepada-Nya), padahal kamu sungguh telah mendustakan-Nya?
karena itu kelak (azab) pasti (menimpamu)”.
(Q.S. Al-Furqaan: 75-77)
Kesebelas hal
ini bukanlah hal yang mudah dilakukan. Tetapi marilah kita melatih diri dan
membiasakan untuk memiliki kesebelas sifat dan sikap ini, seperti yang
diungkapkan Al-Qur’an pada Surah Al-Furqan ayat 63-77 ini.
BAB IV
RINGKASAN KISAH DALAM SURAH AL FURQAN
1. KISAH
NABI NUH
Nabi Nuh a.s. adalah rasul Allah yang merupakan keturunan kesepuluh
dari nabi Adam a.s. Diutus oleh Allah s.w.t. di negri Armenia. Beliau mengajarkan
kaumnya untuk menyembah kepada Allah dan melarang kaumnya memperhambakan diri
kepada selain Allah.
Mulai usia Nabi Nuh a.s 40 tahun hingga 950 tahun beliau mengembangkan
ajaran-ajaran agama Allah s.w.t. akan tetapi manusia diwaktu itu tidak
memperdulikan seruan dan ajaran agama Allah tersebut. Bahkan sebaliknya mereka
memperolok dan bahkan membenci kepada Nabi Nuh a.s. sehingga hanya sedikit
sekali yang mau beriman kepada Allah s.w.t.
Untuk hal itu Nabi Nuh a.s. menangis karena sedihnya atas keingkaran
kaumnya tersebut. Selama ratusan tahun beliau menjalankan tugas kerasulan,
hanya sedikit sekali yang mau beriman kepada Allah s.w.t. karena itulah Allah
menyuruh Nabi Nuh a.s. untuk membuat perahu, karena Allah bermaksud untuk
menenggelamkan kaum yang durhaka itu
Tidak lama setelah selesainya kapal kayu besar Nabi Nuh a.s. berhembuslah
angin taufan yang sangat dahsyat. Hujan turun dengan lebat, mata air
bersemburan dari mana-mana yang terus menerus tak henti-hentinya selama
berhari-hari. Air pun bertambah tinggi dan bumi berubah menjadi lautan yang
sangat luas.
Nabi Nuh a.s. melaksanakan perintah Tuhan, naiklah beliau dengan
orang-orang yang beriman keatas bahtera sehingga selamatlah mereka dari banjir
yang sangat dahsyat. Ditengah kapal sedang berlayar, tampaklah oleh Nabi Nuh
a.s. anaknya yang hampir tenggelam. Maka berserulah Nabi Nuh a.s. "Hai
anakku! naiklah ke kapal bersama kami, dan janganlah engkau menjadi manusia
yang ingkar terhadap Allah!".
Akan tetapi anak Nabi Nuh a.s. menolak seruan bapaknya dan berusaha
berenang ke arah gunung. Namun air bah segera menenggelamkannya. Menyaksikan
hal itu Nabi Nuh a.s. sangat sedih, begitu sedihnya sehingga Nabi Nuh a.s.
menyeru kepada Allah s.w.t. "O, Tuhanku! anak ku telah mati tenggelam,
sedangkan ia termasuk keluarga ku, padahal Tuhan telah berjanji akan
menyelamatkan kami!"
Allah berfirman :"Hai Nuh! sesungguhnya orang-orang yang durhaka
itu bukanlah termasuk keluarga mu!"
Menerima firman Tuhan tersebut, Nabi Nuh a.s. dengan sangat takutnya
meminta ampun kepada Allah karena telah berkata dengan tak tahu apa yang
dilarang oleh Allah, yaitu meminta agar anaknya diselamatkan, padahal anaknya
termasuk golongan orang yang durhaka. Setelah orang kafir ditelan oleh air,
tinggallah orang-orang yang beriman yang mulai menempuh hidup baru dibawah
bimbingan Nabi Nuh a.s.
Nabi Nuh a.s. wafat pada usia 950 tahun, akan tetapi selama beliau
melaksanakan tugas kerasulannya hanya sedikit sekali yang mau beriman
2.
KISAH KAUM
TSAMUD
Sebagaimana
disebutkan dalam Al Quran, kaum Tsamud menolak peringatan-peringatan dari Allah
sebagaimana dilakukan kaum ‘Ad, dan sebagai konsekuensinya mereka pun
dihancurkan. Kini, dari hasil studi arkeologi dan sejarah, banyak hal yang
tidak diketahui sebelumnya telah ditemukan, misalnya lokasi tempat tinggal kaum
Tsamud, rumah-rumah yang mereka buat, dan gaya hidup mereka. Kaum Tsamud yang
disebutkan dalam Al Quran merupakan fakta sejarah yang dibenarkan oleh banyak
temuan arkeologis saat ini.
Sebelum
lebih jauh melihat temuan arkeologis yang berkaitan dengan kaum Tsamud,
sangatlah bermanfaat untuk mempelajari cerita di dalam Al Quran serta mengamati
pertarungan kaum ini dengan nabi mereka. Karena Al Quran adalah kitab yang
diperuntukkan untuk sepanjang massa, pengingkaran kaum Tsamud atas
peringatan-per-ingatan yang datang kepada mereka adalah sebuah peristiwa yang
merupakan sebuah peringatan kepada semua orang di sepanjang masa.
Penyampaian Risalah Nabi Shalih
Di
dalam Al Quran disebutkan bahwa Nabi Shalih diutus untuk memperingatkan mereka.
Shalih adalah orang yang terpandang di ka-langan masyarakat Tsamud. Kaumnya,
yang tidak menduga ia akan mengumumkan agama kebenaran, terkejut dengan
seruannya untuk me-ninggalkan penyimpangan mereka. Reaksi pertama adalah
menghujat dan mengutuknya:
“Dan kepada Tsamud (Kami utus) saudara mereka
Shalih. Shalih berkata: ”Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada
bagimu Tuhan selain Dia. Dia telah menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan
menjadikan kamu pemakmurnya, karena itu mohonlah ampunan-Nya. Sesungguhnya
Tuhanku amatlah dekat (Rahmat-Nya) lagi memperkenankan (doa hamba-Nya). Kaum
Tsamud berka-ta: ”Hai Shalih, sesungguhnya kamu sebelum ini adalah seorang di
antara kami yang kami harapkan, apakah kamu melarang kami un-tuk menyembah apa
yang disembah oleh bapak-bapak kami? Dan se-sungguhnya kamu betul-betul berada
dalam keraguan yang mengge-lisahkan terhadap agama yang kamu serukan kepada
kami.” (QS. Huud, 11: 61-62) !
Segolongan
kecil kaum Tsamud memenuhi panggilan Nabi Shalih, namun kebanyakan mereka tidak
menerima apa yang dikatakannya. Para pemimpin kaum tersebut, khususnya, menolak
dan menentang Shalih. Mereka mencoba menghalang-halangi dan menekan kaum yang
beriman kepada Nabi Shalih. Mereka sangat murka kepada Shalih, karena ia
mengajak mereka menyembah Allah. Kemarahan ini tidak khusus hanya pada kaum
Tsamud; mereka hanya mengulangi kesalahan yang dibuat kaum Nuh dan kaum ‘Ad
yang hidup sebelum mereka. Karena itulah Al Quran menyebutkan ketiga kaum ini
sebagai berikut:
“Belumkah sampai kepadamu berita orang-orang sebelum
kamu (ya-itu) kaum Nuh, ‘Ad, Tsamud, dan orang-orang sesudah mereka. Tidak ada
yang mengetahui mereka selain Allah. Telah datang kepada me-reka rasul-rasul
(membawa) bukti-bukti yang nyata lalu mereka me-nutupkan tangannya ke mulutnya
(karena kebencian) dan berkata: ”Sesungguhnya kami mengingkari apa yang kamu
disuruh menyam-paikannya (kepada kami), dan sesungguhnya kami benar-benar dalam
keraguan yang menggelisahkan terhadap apa yang kamu ajak kami kepadanya”. (QS.
Ibrahim, 14: 9) !
Tanpa
mengindahkan peringatan-peringatan Nabi Shalih, orang-orang membiarkan
kesangsian menguasai mereka. Namun masih ada sekelompok kecil yang percaya
terhadap kenabian Shalih dan merekalah orang-orang yang diselamatkan bersamanya
ketika bencana besar da-tang. Para pemuka masyarakat tersebut berupaya menekan
kelompok yang mempercayai Shalih:
“Pemuka-pemuka yang menyombongkan diri di antara
kaumnya berkata kepada orang-orang yang dianggap lemah yang telah ber-iman di
antara mereka: “Tahukah kamu bahwa Shalih diutus (menja-di rasul) oleh
Tuhannya?” Mereka menjawab: “Sesungguhnya kami beriman kepada wahyu yang Shalih
diutus untuk menyampaikan-nya”. Orang-orang yang menyombongkan diri berkata:
”Sesungguh-nya kami adalah orang yang tidak percaya kepada apa yang kamu imani
itu.” (QS. Al A’raaf, 7: 75-76)
Kaum
Tsamud terus menyangsikan Allah dan kenabian Shalih. Lebih jauh, kelompok
tertentu secara terang-terangan menyangkalnya. Seke-lompok di antara mereka
yang menolak keimanan — menurut dugaan, dengan nama Allah — merencanakan untuk
membunuh Shalih:
‘Mereka menjawab; “Kami mendapat nasib yang malang,
disebabkan kamu dan orang-orang yang bersama kamu”. Shalih berkata: “Nasib-mu
ada pada sisi Allah (bukan kami yang menjadi sebab), tetapi ka-mu yang diuji”.
Dan adalah di kota itu sembilan orang laki-laki yang membuat kerusakan di muka
bumi, dan mereka tidak berbuat kebaik-an. Mereka berkata: “Bersumpahlah kamu
dengan nama Allah, bah-wa kita sungguh-sungguh akan menyerangnya dengan
tiba-tiba ber-sama keluarganya di malam hari, kemudian kita katakan kepada
warisnya (bahwa) kita tidak menyaksikan kematian keluarganya itu, dan
sesungguhnya kita adalah orang-orang yang benar”. Dan mereka pun merencanakan
makar dengan sesungguh-sungguhnya dan Kami merencanakan makar (pula), sedang
mereka tidak menya-dari.” (QS. An-Naml, 27: 47-50) !
Untuk mengetahui apakah kaumnya akan mematuhi
perintah Allah atau tidak, Shalih menunjukkan kepada mereka seekor unta betina
sebagai ujian. Untuk mengetahui apakah mereka akan mematuhinya atau tidak,
Shalih menyuruh kaumnya untuk berbagi air dengan unta betina tersebut dan tidak
menyakitinya. Kaumnya menjawab dengan membunuh unta betina tersebut. Dalam
surat Asy-Syu’araa’ kejadian tersebut disebutkan sebagai berikut:
Tsamudd
telah mendustakan rasul-rasul.
Ketika saudara mereka
Shalih, berkata kepada mereka: “Mengapa kamu tidak bertakwa?
Sesungguhnya aku adalah
seorang rasul kepercayaan (yang diutus) kepadamu,
maka bertakwalah kepada
Allah dan taatlah kepadaku.
Dan aku sekali-kali
tidak minta upah kepadamu atas ajakan itu, upahku tidak lain hanyalah dari
Tuhan semesta alam.
Adakah kamu akan
dibiarkan tinggal di sini (di negeri ini) dengan aman, di dalam kebun-kebun
serta mata air,
dan tanaman-tanaman dan
pohon-pohon kurma yang mayangnya lembut.
Dan kamu pahat sebagian
dari gunung-gunung untuk dijadikan ru-mah-rumah dengan rajin;
maka bertakwalah kepada
Allah dan taatlah kepadaku;
dan janganlah kamu
menaati perintah orang-orang yang melewati batas,
yang membuat kerusakan
di muka bumi dan tidak mengadakan perbaikan”.
Mereka berkata:
”Sesungguhnya kamu adalah seorang dari orang-orang yang terkena sihir;
kamu tidak lain
melainkan seorang manusia seperti kami; maka da-tangkanlah sesuatu mukjizat
jika kamu memang termasuk orang-orang yang benar”.
Shalih menjawab: ”Ini
seekor unta betina, ia mempunyai giliran un-tuk mendapatkan air dan kamu
mempunyai giliran pula untuk men-dapatkan air di hari tertentu.
Dan janganlah kamu
sentuh unta betina itu dengan sesuatu keja-hatan, yang menyebabkan kamu akan
ditimpa oleh azab hari yang besar.
Kemudian mereka
membunuhnya, lalu mereka menyesal, maka me-reka ditimpakan azab.
Sesungguhnya pada yang
demikian itu benar-benar terdapat bukti yang nyata. Dan adalah kebanyakan
mereka tidak beriman.” (QS. Asy-Syu’araa’ , 26: 141-158) !
Perjuangan
Nabi Shalih terhadap kaumnya dikisahkan sebagai beri-kut:
“Kaum Tsamud pun telah
mendustakan ancaman-ancaman (itu).
Maka mereka berkata: “Bagaimana
kita akan mengikuti saja, se-orang manusia (biasa) di antara kita? Sesungguhnya
kalau kita begi-tu, benar-benar berada dalam keadaan sesat dan gila. Apakah
wahyu itu diturunkan kepadanya di antara kita? Sebenarnya dia adalah seorang
yang amat pendusta lagi sombong.“
Kelak mereka akan
mengetahui siapakah sebenarnya yang amat pen-dusta lagi sombong. Sesungguhnya
Kami akan mengirimkan unta betina sebagai cobaan bagi mereka, maka tunggulah
(tindakan) mere-ka dan bersabarlah.
Dan beritakanlah kepada
mereka bahwa sesungguhnya air itu terba-gi antara mereka (dengan unta betina
itu); tiap-tiap giliran minum dihadiri (oleh yang punya gilirannya).
Maka mereka memanggil kawannya, lalu kawannya
menangkap (unta itu) dan membunuhnya.” (QS. Al Qamar, 54: 23-29) !
Kenyataan
bahwa mereka tidak dilaknat pada saat itu juga, semakin meningkatkan
keangkaramurkaan kaum ini. Mereka menyerang Shalih, mengkritik, dan menuduhnya
sebagai pendusta :
“Kemudian mereka sembelih unta betina itu, dan
mereka berlaku angkuh terhadap perintah Tuhan. Dan mereka berkata: ”Wahai
Sha-lih, datangkanlah apa yang kamu ancamkan itu kepada kami, jika (betul) kamu
termasuk orang-orang yang diutus (Allah).” (QS. Al A’raaf, 7: 77) !
Allah
melemahkan rencana dan tipu daya mereka, dan menyelamat-kan Shalih dari
tangan-tangan yang ingin mencelakakannya. Setelah ke-jadian ini, karena Shalih
merasa telah menyampaikan seruan kepada kaumnya dengan berbagai cara, dan tetap
tak ada seorang pun yang mengindahkan nasihatnya, Shalih berkata kepada kaumnya
bahwa mereka akan dihancurkan dalam waktu tiga hari:
“Mereka membunuh unta itu, maka berkatalah Shalih:
”Bersukaria kamu sekalian di rumahmu selama tiga hari, itu adalah janji yang
tidak dapat didustakan.” (QS. Huud, 11: 65) !
Begitulah,
tiga hari kemudian ancaman Shalih menjadi kenyataan dan kaum Tsamud
dihancurkan.
“Dan satu suara yang keras yang mengguntur menimpa
orang-orang yang zalim itu, lalu mereka mati bergelimpangan di tempat tinggal
mereka, seolah-olah mereka belum pernah berdiam di tempat itu. Ingatlah,
sesungguhnya kaum Tsamud mengingkari Tuhan mereka. Ingatlah, kebinasaan bagi
kaum Tsamud.” (QS. Huud, 11: 67-68) !
Temuan Arkeologis dari Kaum Tsamud
Dari
berbagai kaum yang disebutkan dalam Al Quran, Tsamud ada-lah kaum yang saat ini
telah banyak diketahui keberadaannya. Sumber-sumber sejarah mengungkapkan bahwa
sekelompok orang yang disebut dengan kaum Tsamud benar-benar pernah ada.
Penduduk
Al Hijr yang disebutkan dalam Al Quran diperkirakan adalah orang-orang yang
sama dengan kaum Tsamud. Nama lain dari Tsamud adalah Ashab Al Hijr. Jadi kata
“Tsamud” merupakan nama kaum, sementara kota Al Hijr adalah salah satu dari
beberapa kota yang dibangun oleh kaum tersebut.
Ahli
geografi Yunani, Pliny sepakat dengan ini. Pliny menulis bahwa Domatha dan
Hegra adalah lokasi tempat kaum Tsamud berada, dan kota Al Hegra inilah yang
menjadi kota Al Hijr saat ini.29
Sumber
tertua yang diketahui berkaitan dengan kaum Tsamud adalah tarikh kemenangan
Raja Babilonia Sargon II (abad ke-8 SM) yang mengalahkan kaum ini dalam sebuah
pertempuran di Arabia Selatan. Bangsa Yunani juga menyebut kaum ini sebagai
“Tamudaei”, yakni, “Tsamud”, dalam tulisan Aristoteles, Ptolemeus, dan Pliny.30 Sebelum zaman Nabi Muhammad SAW,
sekitar tahun 400-600 M , mereka benar-benar punah.
Dalam
Al Quran, kaum ‘Ad dan Tsamud selalu disebutkan bersama-an. Lebih jauh lagi,
ayat-ayat tersebut menasihati kaum Tsamud untuk mengambil pelajaran dari
penghancuran kaum ‘Ad. Ini menunjukkan bahwa kaum Tsamud memiliki informasi
detail tentang kaum ‘Ad.
“Dan (Kami telah
mengutus) kepada kaum Tsamud saudara mereka Shalih. Ia berkata; ”Hai kaumku,
sembahlah Allah, sekali-kali tiada Tuhan bagimu selain-Nya. Sesungguhnya telah
datang bukti yang nyata kepadamu dari Tuhanmu. Unta betina Allah ini menjadi tanda
bagimu, maka biarkanlah ia makan di bumi Allah, dan janganlah kamu
mengganggunya, dengan gangguan apa pun, maka kamu ditimpa siksaan yang pedih.
Dan ingatlah olehmu di
waktu Tuhan menjadikan kamu peng-ganti-pengganti (yang berkuasa) sesudah kaum
‘Ad dan memberi-kan tempat bagimu di bumi. Kamu dirikan istana-istana di
tanah-tanahnya yang datar dan kamu pahat gunung-gunungnya untuk dijadikan
rumah, maka ingatlah nikmat-nikmat Allah dan jangan-lah kamu merajalela di muka
bu-mi membuat kerusakan.” (QS. Al A’raaf, 7: 73-74) !
Sebagaimana dapat dipahami dari ayat ini, terdapat
hubungan antara kaum ‘Ad dan kaum Tsamud, bahkan mungkin kaum ‘Ad pernah
menjadi bagian dari sejarah dan budaya kaum Tsamud. Nabi Shalih memerintahkan
untuk mengingat kejadian kaum ‘Ad dan mengambil peringatan dari me-reka.
Kaum
‘Ad ditunjukkan kepada contoh dari kaum Nabi Nuh yang per-nah hidup sebelum
mereka. Sebagaimana kaum ‘Ad mempunyai kaitan penting untuk sejarah kaum
Tsamud, kaum Nabi Nuh juga mempunyai kaitan penting untuk sejarah kaum ‘Ad.
Kaum-kaum ini saling mengenal dan kemungkinan berasal dari garis keturunan yang
sama.
Dari
sini dapat disusun urutan kejadian yang diceritakan dalam Al Quran. Jika kita
perkirakan kaum Tsamud muncul paling dulu di abad 8 SM, maka dapat ditarik
sebuah kronologi. Yang terlebih dahulu dihan-curkan setelah kaum Nuh adalah
kaum Luth, kemudian dalam masa Nabi Musa terjadi penenggelaman Fir’aun
(kemungkinan besar Ramses II) dan tentaranya di Laut Merah. Berikutnya adalah
dikirimkannya angin badai yang menghancurkan kaum ‘Ad dan terakhir adalah
penghancuran ka-um Tsamud. Hukuman terhadap kaum Nabi Nuh adalah yang pertama
terjadi. Bila urut-urutan ini dapat dipertimbangkan, maka tabelnya adalah
sebagai berikut :
Tentu
saja urut-urutan ini tidak bisa dikatakan sangat tepat, namun hal ini
menghasilkan sebuah urutan, baik menurut penggambaran dalam Al Quran dan
data-data sejarah.
Kita
telah menyebutkan bahwa Al Quran menceritakan tentang ada-nya hubungan antara
kaum ‘Ad dan Tsamud. Kaum Tsamud diingatkan untuk mengingat kejadian kaum ‘Ad
serta mengambil pelajaran dari penghancuran mereka. Meskipun secara geografis
kaum ‘Ad dan Tsa-mud sangat berjauhan dan sepertinya tidak berhubungan, namun
dalam ayat yang ditujukan kepada kaum Tsamud dikatakan untuk mengingat kaum
‘Ad.
Jawabannya
muncul setelah penyelidikan singkat dari berbagai sum-ber, bahwa memang
terdapat hubungan yang sangat kuat antara kaum Tsamud dan kaum ‘Ad. Kaum Tsamud
mengenal kaum ‘Ad karena ke-dua kaum ini sepertinya berasal dari asal usul yang
sama. Britannica Micropaedia menuliskan tentang orang-orang ini dalam sebuah
tulisan berjudul “Tsamud”:
Di
Arabia Kuno, suku atau kelompok suku tampaknya telah memiliki keung-gulan sejak
sekitar abad 4 SM sampai pertengahan awal abad 7 M. Meskipun kaum Tsamud
mungkin berasal dari Arabia Selatan, sekelompok besar tam-paknya pindah ke
utara pada masa-masa awal, secara tradisional berdiam di lereng gunung (jabal)
Athlab. Penelitian arkeologi terakhir mengungkapkan sejumlah besar tulisan dan
gambar-gambar batu tentang kaum Tsamud, tidak hanya di Jabal Athlab, tetapi
juga di seluruh Arabia Tengah.31
Tulisan
yang secara grafis mirip dengan abjad Smaitis (yang disebut Tsamudis) telah
diketemukan mulai dari Arabia Selatan hingga ke Hijaz.32
Tulisan itu, yang pertama ditemukan di daerah Utara Yaman Tengah yang dikenal
sebagai Tsamud, dibawa ke Utara dekat Rub’al Khali, ke selatan dekat Hadhramaut
serta ke Barat dekat Shabwah.
Sebelumnya
kita telah memahami bahwa kaum ‘Ad adalah seke-lompok orang yang hidup di
Arabia Selatan. Ada kenyataan penting bah-wa banyak peninggalan kaum Tsamud
ditemukan di daerah tempat ka-um ‘Ad pernah hidup, khususnya sekitar bangsa
Hadhram, anak cucu ‘Ad, mendirikan ibu kotanya. Keadaan ini menjelaskan
hubungan kaum ‘Ad dan Tsamud yang disebutkan dalam Al Quran. Hubungan tersebut
diterangkan dalam perkataan Nabi Shalih ketika mengatakan bahwa kaum Tsamud
datang untuk menggantikan kaum ‘Ad :
“Dan (Kami telah mengutus) kepada kaum Tsamud
saudara mereka Shalih. Ia berkata; ”Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali
tiada Tuhan bagimu selain-Nya…. Dan ingatlah olehmu di waktu Tuhan menjadikan
kamu pengganti-pengganti (yang berkuasa) sesudah kaum ‘Ad dan memberikan tempat
bagimu di bumi.” (QS. Al A’raaf, 7: 73-74) !
Singkatnya,
kaum Tsamud telah mendapat ganjaran atas pembang-kangan terhadap nabi mereka,
dan dihancurkan. Bangunan-bangunan yang telah mereka bangun dan karya seni yang
telah mereka buat tidak dapat melindungi mereka dari azab. Kaum Tsamud
dihancurkan dengan azab yang mengerikan seperti halnya umat-umat lainnya yang
meng-ingkari kebenaran, yang terdahulu maupun yang terkemudian.
Dari
Al Quran diketahui bahwa kaum Tsamud adalah anak cucu dari kaum ‘Ad.
Bersesuaian dengan ini, temuan-temuan arkeologis memperlihatkan bahwa akar dari
kaum Tsamud yang hidup di utara Semenanjung Arabia, berasal dari selatan Arabia
di mana kaum ‘Ad pernah hidup.
Dua
ribu tahun silam, kaum Tsamud telah mendirikan sebuah kerajaan bersama bangsa
Arab yang lain, yaitu kaum Nabatea. Saat ini di Lembah Rum yang juga disebut
dengan Lembah Petra di Yordania, dapat dilihat berbagai contoh terbaik karya
pahat batu kaum ini. Sebagaimana disebutkan dalam Al Quran, keunggulan kaum
Tsamud adalah dalam pertukangan.
BAB V
KEJADIAN
ALAMIYAH SEBAGAI BUKTI KEKUASAAN ALLAH SWT
Tafsir surah Al-Furqan :53
"Dan Dialah yang membiarkan dua laut mengalir (berdampingan) ; yang ini tawar lagi segar dan yang lain masin lagi pahit; dan Dia jadikan antara keduanya dinding dan batas yang menghalangi." (Q.S Al Furqan:53)
Jika Anda termasuk orang yang gemar menonton rancangan TV
`Discovery' pasti kenal Mr.Jacques Yves Costeau, ia seorang ahli oceanografer dan ahli selam terkemuka dari Perancis. Orang tua yang berambut putih ini sepanjang hidupnya menyelam ke perbagai dasar samudera di seantero dunia dan membuat filem dokumentari tentang keindahan alam dasar laut untuk ditonton di seluruh dunia.
Pada suatu hari ketika sedang melakukan eksplorasi di bawah laut, tiba-tiba ia menemui beberapa kumpulan mata air tawar-segar yang sangat sedap rasanya kerana tidak bercampur/tidak melebur dengan air laut yang masin di sekelilingnya, seolah-olah ada dinding atau membran yang membatasi keduanya.
Fenomena ganjil itu memeningkan Mr. Costeau dan mendorongnya untuk mencari penyebab terpisahnya air tawar dari air masin di tengah-tengah lautan. Ia mulai berfikir, jangan-jangan itu hanya halusinansi atau khalayan sewaktu menyelam. Waktu pun terus berlalu setelah kejadian tersebut, namun ia tak kunjung mendapatkan jawapan yang memuaskan tentang fenomena ganjil tersebut.
Sampai pada suatu hari ia bertemu dengan seorang profesor muslim, kemudian ia pun menceritakan fenomena ganjil itu. Profesor itu teringat pada ayat Al Quran tentang bertemunya dua lautan ( surat Ar-Rahman ayat 19-20) yang sering diidentikkan dengan Terusan Suez . Ayat itu berbunyi "Marajal bahraini yaltaqiyaan, bainahumaa barzakhun laa yabghiyaan.. ."Artinya: "Dia biarkan dua lautan bertemu, di antara keduanya ada batas yang tidak boleh ditembus." Kemudian dibacakan surat Al Furqan ayat 53 di atas.
Selain itu, dalam beberapa kitab tafsir, ayat tentang bertemunya dua lautan tapi tak bercampur airnya diertikan sebagai lokasi muara sungai, di mana terjadi pertemuan antara air tawar dari sungai dan air masin dari laut. Namun tafsir itu tidak menjelaskan ayat berikutnya dari surat Ar-Rahman ayat 22 yang berbunyi "Yakhruju minhuma lu'lu`u wal marjaan" ertinya "Keluar dari keduanya mutiara dan marjan." Padahal di muara sungai tidak
ditemukan mutiara.
Terpesonalah Mr. Costeau mendengar ayat-ayat Al Qur'an itu, melebihi kekagumannya melihat keajaiban pemandangan yang pernah dilihatnya di lautan yang dalam. Al Qur'an ini mustahil disusun oleh Muhammad yang hidup di abad ke tujuh, suatu zaman saat belum ada peralatan selam yang canggih untuk mencapai lokasi yang jauh terpencil di kedalaman samudera. Benar-benar suatu mukjizat, berita tentang fenomena ganjil 14 abad yang silam
akhirnya terbukti pada abad 20. Mr. Costeau pun berkata bahawa Al Qur'an memang sesungguhnya kitab suci yang berisi firman Allah, yang seluruh kandungannyamutlak benar. Dengan seketika dia pun memeluk Islam.
Allahu Akbar...! Mr. Costeau mendapat hidayah melalui fenomena teknologi kelautan. Maha Benar Allah yang Maha Agung. Shadaqallahu Al `Azhim.Rasulullah s.a.w. bersabda: "Sesungguhnya hati manusia akan berkarat sebagaimana besi yang dikaratkan oleh air." Bila seorang bertanya, "Apakah caranya untuk menjadikan hati-hati ini bersih kembali?" Rasulullah s.a.w. bersabda, "Selalulah ingat mati dan membaca Al Quran."
Jika anda seorang penyelam, maka anda harus mengunjungi Cenote Angelita, Mexico. Disana ada sebuah gua. Jika anda menyelam sampai kedalaman 30 meter, airnya air segar (tawar), namun jika anda menyelam sampai kedalaman lebih dari 60 meter, airnya menjadi air asin, lalu anda dapat melihat sebuah "sungai" di dasarnya, lengkap dengan pohon dan daun daunan.
Setengah pengkaji mengatakan, itu bukanlah sungai biasa, itu adalah lapisan hidrogen sulfida, nampak seperti sungai... luar biasa bukan? Lihatlah betapa hebatnya ciptaan Allah SWT
"Dan Dialah yang membiarkan dua laut mengalir (berdampingan) ; yang ini tawar lagi segar dan yang lain masin lagi pahit; dan Dia jadikan antara keduanya dinding dan batas yang menghalangi." (Q.S Al Furqan:53)
Jika Anda termasuk orang yang gemar menonton rancangan TV
`Discovery' pasti kenal Mr.Jacques Yves Costeau, ia seorang ahli oceanografer dan ahli selam terkemuka dari Perancis. Orang tua yang berambut putih ini sepanjang hidupnya menyelam ke perbagai dasar samudera di seantero dunia dan membuat filem dokumentari tentang keindahan alam dasar laut untuk ditonton di seluruh dunia.
Pada suatu hari ketika sedang melakukan eksplorasi di bawah laut, tiba-tiba ia menemui beberapa kumpulan mata air tawar-segar yang sangat sedap rasanya kerana tidak bercampur/tidak melebur dengan air laut yang masin di sekelilingnya, seolah-olah ada dinding atau membran yang membatasi keduanya.
Fenomena ganjil itu memeningkan Mr. Costeau dan mendorongnya untuk mencari penyebab terpisahnya air tawar dari air masin di tengah-tengah lautan. Ia mulai berfikir, jangan-jangan itu hanya halusinansi atau khalayan sewaktu menyelam. Waktu pun terus berlalu setelah kejadian tersebut, namun ia tak kunjung mendapatkan jawapan yang memuaskan tentang fenomena ganjil tersebut.
Sampai pada suatu hari ia bertemu dengan seorang profesor muslim, kemudian ia pun menceritakan fenomena ganjil itu. Profesor itu teringat pada ayat Al Quran tentang bertemunya dua lautan ( surat Ar-Rahman ayat 19-20) yang sering diidentikkan dengan Terusan Suez . Ayat itu berbunyi "Marajal bahraini yaltaqiyaan, bainahumaa barzakhun laa yabghiyaan.. ."Artinya: "Dia biarkan dua lautan bertemu, di antara keduanya ada batas yang tidak boleh ditembus." Kemudian dibacakan surat Al Furqan ayat 53 di atas.
Selain itu, dalam beberapa kitab tafsir, ayat tentang bertemunya dua lautan tapi tak bercampur airnya diertikan sebagai lokasi muara sungai, di mana terjadi pertemuan antara air tawar dari sungai dan air masin dari laut. Namun tafsir itu tidak menjelaskan ayat berikutnya dari surat Ar-Rahman ayat 22 yang berbunyi "Yakhruju minhuma lu'lu`u wal marjaan" ertinya "Keluar dari keduanya mutiara dan marjan." Padahal di muara sungai tidak
ditemukan mutiara.
Terpesonalah Mr. Costeau mendengar ayat-ayat Al Qur'an itu, melebihi kekagumannya melihat keajaiban pemandangan yang pernah dilihatnya di lautan yang dalam. Al Qur'an ini mustahil disusun oleh Muhammad yang hidup di abad ke tujuh, suatu zaman saat belum ada peralatan selam yang canggih untuk mencapai lokasi yang jauh terpencil di kedalaman samudera. Benar-benar suatu mukjizat, berita tentang fenomena ganjil 14 abad yang silam
akhirnya terbukti pada abad 20. Mr. Costeau pun berkata bahawa Al Qur'an memang sesungguhnya kitab suci yang berisi firman Allah, yang seluruh kandungannyamutlak benar. Dengan seketika dia pun memeluk Islam.
Allahu Akbar...! Mr. Costeau mendapat hidayah melalui fenomena teknologi kelautan. Maha Benar Allah yang Maha Agung. Shadaqallahu Al `Azhim.Rasulullah s.a.w. bersabda: "Sesungguhnya hati manusia akan berkarat sebagaimana besi yang dikaratkan oleh air." Bila seorang bertanya, "Apakah caranya untuk menjadikan hati-hati ini bersih kembali?" Rasulullah s.a.w. bersabda, "Selalulah ingat mati dan membaca Al Quran."
Jika anda seorang penyelam, maka anda harus mengunjungi Cenote Angelita, Mexico. Disana ada sebuah gua. Jika anda menyelam sampai kedalaman 30 meter, airnya air segar (tawar), namun jika anda menyelam sampai kedalaman lebih dari 60 meter, airnya menjadi air asin, lalu anda dapat melihat sebuah "sungai" di dasarnya, lengkap dengan pohon dan daun daunan.
Setengah pengkaji mengatakan, itu bukanlah sungai biasa, itu adalah lapisan hidrogen sulfida, nampak seperti sungai... luar biasa bukan? Lihatlah betapa hebatnya ciptaan Allah SWT
BAB
VI
BONUS :D
Langkah-langkah bedah AL-Quran secara intensif :
- Membaca ayat demi ayat secara tartil, fasih dan sesuai dengan ilmu qira’ah dan atau ilmu tajwid.
- Memahami arti kata per kata dan makna secara utuh setiap ayat yang dibaca.
- Mengetahui sebab-sebab turun ayat (asbabun nuzul), jika ayat tersebut ada latar belakang turunnya.
- Menafsirkan ayat-ayat tersebut dengan mengkaji maksud yang terkandung di dalamnya.
- Mencari korelasi ayat yang sedang dibahas dengan ayat yang lain.
- Mencari hadits-hadist Rasulullah untuk mendapatkan keterangan atau penjelasan yang lebih detil tentang ayat yang dibahas.
- Menghayati dan meresapi makna, hikmah, hukum atau pesan-pesan (mau’idhah) yang terkandung di dalamnya.
- Mengamalkan pesan-pesan ayat al-Qur’an dalam kehidupan individu, keluarga, dan kehidupan sosial.
Kalau kedelapan langkah di atas dapat kita terapkan dalam mengkaji
al-Qur’an, maka kita akan mampu meraih predikat insan Qur’ani, yaitu
manusia yang menjadikan al-Qur’an sebagai pedoman, sistem, dan hukum dalam
setiap aspek kehidupan.
Komentar
Posting Komentar